Arjuna dikenal sebagai sosok yang dingin dan datar, hampir seperti seseorang yang alergi terhadap wanita. la jarang tersenyum, jarang berbicara, dan selalu menjaga jarak dengan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, saat bertemu dengan Anna, gadis periang yang penuh canda tawa, sikap Arjuna berubah secara drastis.
Kehangatan dan keceriaan Anna seolah mencairkan es dalam hatinya yang selama ini tertutup rapat. Tak disangka, di balik pertemuan mereka yang tampak kebetulan itu, ternyata kedua orangtua mereka telah mengatur perjodohan sejak lama. Perjalanan mereka pun dimulai, dipenuhi oleh kejutan, tawa, dan konflik yang menguji ikatan yang baru saja mulai tumbuh itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ivan witami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Mengawasi
“Foto prewednya bagus-bagus, Na,” ujar Tiara sambil menggeser layar ponselnya memperbesar sebuah gambar.
Anna duduk di pojok ruangan butik kecil miliknya menatap ke luar jendela sambil menganggukkan kepala pelan, “Iya, terima kasih,” balasnya dengan nada yang sangat datar.
Tiara mengernyit. “Kamu kenapa, Na? Kayak gak semangat dan biasa aja sama foto kamu.”
Anna menghela napas panjang dan memejamkan matanya. “Gak apa-apa. Aku cuma lagi kecapean aja,” katanya pelan, tapi Tiara tahu ada yang tak benar.
Butik kecil di sudut jalan itu penuh dengan warna-warna lembut dan cantik, dihiasi bunga-bunga segar yang mengisi ruangan harum semerbak bunga di mejanya, terlihat album foto prewedding Anna dan Juna yang sudah dibingkai rapi, menunggu hari besar yang akan segera tiba. Tapi di dalam hati Anna, ada keraguan dan ketidaknyamanan yang tak kunjung hilang.
Tiara berdiri, lalu duduk tepat di depan Anna, menatap matanya penuh perhatian, “Na, aku tahu kamu lelah, tapi aku juga tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Kamu nggak harus menyimpan semuanya sendiri.”
Anna membuka matanya, menatap Tiara dalam-dalam. “Aku takut, Tiara. Inii bukan cuma soal lelah. Aku takut kalau yang aku rasakan ini memang benar dan aku nggak mau membohongi diriku sendiri,” suaranya mulai bergetar.
“Takut apa, Na?”
Anna mengusap rambutnya yang mulai acak-acakan, “Aku… aku nggak nyaman dengan Nuri, sahabatnya Juna. Dia itu selalu ada di sekitar Juna, terlalu dekat dan terlalu sering. Aku curiga, dia lebih dari sekadar sahabat bagi Juna.”
Mata Tiara melebar. “Kamu serius? Tapi pak Juna kan bilang, mereka cuma sahabat dari kuliah.”
Anna mengangguk pelan, “Aku tahu, tapi ada sesuatu yang aneh. Waktu aku dan Juna foto prewed kemarin, Nuri muncul juga. Aku perhatikan dia terus-terusan menatap Juna dengan cara yang berbeda. Aku jadi merasa seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Kata papaku, tidak ada persahabatan antara laki-laki dan perempuan, pasti salah satunya ada rasa ingin lebih.”
Tiara menyandarkan punggung, terlihat berpikir. “Kalau begitu, kamu sudah coba bicara sama Juna tentang perasaanmu kalau ada Nuri?”
Anna menggeleng, “Belum. Aku takut malah merusak hubungan kami. Aku khawatir dia akan marah atau malah menjauhiku.”
“Na, kalau kamu diam dan menahan semua ini, kamu sendiri yang akan terluka,” kata Tiara tegas.
“Aku bisa bantu kamu, kita cari tahu sama-sama.”
Anna menghela nafas panjang, melihat sekeliling butiknya yang sudah lama terbengkalai. Butik yang ia dapat dari sang mama saat ulang tahun yang ke tujuh belas tahun. Sisa barang jualannya juga masih ada beberapa, seperti gelang, kalung manik-manik, topi dan lain-lain.
“Tidak usah, Tiara. Biarkan saja dulu, aku mau lihat sampai mana iman calon suami yang dipilih orang tuaku itu. Lebih baik aku buka lagi butik accesories-ku ini. Barang-barang lama mau aku obral aja,” ujar Anna sedikit bersemangat.
“Terus urusan kantor bagaimana?”
“Gampang, aku buka di jam kerja sama hari libur saja. Atau aku cari karyawan saja buat jaga butikku ini.” Anna menatap Tiara penuh semangat.
“Ide bagus, tapi ini bukan butik sih, lebih ke toko accessories.” Tiara bangkit dari duduknya, melihat sekeliling butik Anna.
“Terserahlah apa namanya, mau toko mau butik, yang penting jadi uang.” keduanya tertawa.
“Na, kamu gak kepikiran gitu buka toko khusus baju buatan kamu?” tanya Tiara.
“Gak, ah. Aku gak mau saingan sama mamaku. Mamaku udah punya butik. Lagipula target market aku kan anak sekolah dan remaja yang suka sama accesories, seperti gelang, kalung manik-manik, topi, jam tangan, bandana, ikat rambut. Yah, sejenis itu lah. Kalau seperti mamaku, butuh modal besar.”
“Huh, kamu bisa saja. Kapan cepet kayanya kalau cuma jualan begini.” Tiara menunjuk gelang manik-manik.
Ann tertawa kecil.“Aku sudah kaya dari sebelum embrio, Tiara.”
Keduanya tertawa, Tiara tidak menganggap Anna sedang menyombongkan diri, tetapi Anna memang anak orang kaya dan cucu orang kaya.
***
Malam itu, setelah pulang dari butik, Anna duduk di balkon rumahnya. Angin malam yang dingin mengelus wajahnya, seolah membisikan sesuatu. Ia membuka pesan terakhir yang dikirim Juna. Hanya tulisan singkat, “Malam ini aku tidak jadi datang ke rumah ya. ada acara teman kuliah, reunian di tempat karaoke.” begitulah pesan dari Juna.
Anna yang tengah gelisah dalam kamar tidurnya, teleponnya bergetar. Nama “Juna” terpampang di layar. Anna menekan tombol untuk menerima, suaranya bergetar, “Halo?”
“Anna,” suara Juna terdengar serius.
Hati Anna berdebar kencang. “Apa, Jun. Ngomong yang jelas, kamu kenapa, kok kayak sesak nafas.”
“Aku… tolong aku.” sambungan ponsel itu tiba-tiba mati, membuat Anna gelisah.
Tanpa pikir panjang, Anna berlari turun dari lantai atas sambil berteriak memanggil sang papa.“ Papa!”
Pak Reza yang sedang duduk santai bersama sang istri terkejut, melihat kearah Anna yang berlari menuruni anak tangga.
“Ada apa? Kok kelihatan panik?” tanya sang papa sambil masih merangkul bu Bianca.
“Itu, Pa. Juna. Tadi telpon minta tolong. Katanya, ‘ Tolong’, terus nada bicaranya kayak sesak nafas, aku takut dia kenapa-kenapa?”
Pak Reza menghela nafas panjang, seolah tahu apa yang dilakukan Juna.“ Dia lagi sama teman-temannya kan? Lagi reunian, mungkin lagi mabuk atau lagi dikerjain teman-temannya,” balas pak Reza santai.
“Ah… Papa … kok tahu sih, Pa. Juna lagi mabuk Anna duduk disamping Bianca dengan wajah cemberut bercampur khawatir.
Pak Reza tertawa kecil mengusap rambut Anna.“ Sudah, jangan dipikirkan. Biasa itu anak muda. Kamu sana tidur,” ujar pak Reza mencoba menenangkan hati Anna.
Anna melirik bu Bianca yang sedang bersandar di dada pak Reza. Bu Bianca hanya mengisyaratkan Anna agar menyusul Juna dengan menggunakan bahasa isyarat mata.
Anna menghela nafas panjang, mengerti maksud sang mama. Anna bangkit dari duduknya berjalan keluar sambil meraih kunci motor besar milik sang kakak.
“Na, mau kemana?” tanya pak Reza.
“Nyusul Juna, Pa.” Anna berlari kecil menuju garasi.
Pak Reza hendak bangkit tetapi ditahan oleh Bu Bianca.“Sudah, biarkan. Aku sudah minta orang buat awasi Anna,” ucapnya.
“Siapa?”
“Kakaknya.”
“Rafi bukannya lagi di rumah sakit? Mana bisa jaga adeknya.” Pak Reza hendak bangkit, tetapi ditahan lagi oleh bu Bianca.
“Kakaknya memang satu, si Rafi. Tapi kakak sepupunya kan banyak. Tenang ada Arya disana?”
Pak Reza terdiam menghela nafas panjang. Rasa khawatir sedikit terobati sudah ada yang menjaga Anna nanti di tempat karaoke. Tetapi ia juga heran mengapa keponakan itu berada di tempat karoke.
“Tapi, kenapa Arya disana?” tanya pak Reza.
“Biasalah, anak muda, kebetulan tadi dia ngajak aku, tapi aku gak mau. Jadi aku tahu dia lagi disana, aku juga tahu Juna lagi disana dari seseorang. Memangnya kamu, jaman mudamu cuma buat jagain aku sampai punya anak dua.” Bu Bianca terkekeh mengingat jaman dulu saat pak Reza masih menjadi bodyguard pribadinya hingga mereka jatuh cinta dan menikah.
“Ya kan, jagain jodoh sendiri, Sayang.” Pak Reza tersenyum memandangi bu Bianca, mengenang masa lalu.
Memang, Bu Bianca diam-diam terus mengawasi calon menantunya itu. Apakah calon menantunya itu orang yang bisa dipercaya dan seperti yang diceritakan calon besannya. Ia tidak ingin putrinya terluka.