“Abang janji akan kembali ‘kan? Berkumpul lagi bersama kami?” tanya Meutia Siddiq, menatap sendu netra suaminya.
“Iya. Abang janji!” ucapnya yakin, tapi kenyataannya ....
Setelah kabar kematian sang suami, Meutia Siddiq menjadi depresi, hidup dalam kenangan, selalu terbayang sosok yang dia cintai. Terlebih, raga suaminya tidak ditemukan dan dinyatakan hilang, berakhir dianggap sudah meninggal dunia.
Seluruh keluarga, dan para sahabat juga ikut merasakan kehilangan mendalam.
Intan serta Sabiya, putri dari Meutia dan Ikram – kedua gadis kecil itu dipaksa dewasa sebelum waktunya. Bahkan berpura-pura tetap menjalani hari dimana sang ayah masih disisi mereka, agar ibunya tidak terus menerus terpuruk, serta nekat mau bunuh diri, berakhir calon adik mereka pun terancam meninggal dalam kandungan.
Dapatkah Meutia beserta buah hatinya melewati badai kehidupan?
Bagaimana mereka menjalani hari-hari berat itu ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16 ~ Mencari nama
“Sabiya kenapa, Nak?!” dia panik saat gadis kecil yang biasanya tenang, jarang menunjukkan isi hatinya tiba-tiba meraung-raung.
“Biya kenapa, Dek?!” Intan menggoyang paha adiknya.
Sabiya yang duduk ditepi ranjang rawat sang ibu, sibuk mengelap air matanya menggunakan hijab yang dikenakan, kala merasa buliran bening itu tak kunjung berhenti, ditariknya ujung lengan baju panjang, lalu menyeka seluruh wajah sampai memerah.
“Biya rindu Ayah. Ini kan hari ulang tahun Ayah – biasanya kita sholat tahajud bersama-sama, lalu Mamak masak makanan kesukaan Ayah. Habis itu berbagi rezeki ke orang lain yang membutuhkan sebagai bentuk rasa syukur. Sekarang Ayah sudah tak ada, Mamak sakit sehingga tidak bisa masak, terus _ terus ….” Dia membenamkan wajahnya pada paha sang ibu tertutup selimut tipis.
Intan turun dari kasur lalu menepuk-nepuk punggung adiknya yang menangis sesenggukan. “Sekali-kali beda kan tak apa, Biya. Siapa tahu tahun berikutnya kita bisa merayakan lebih meriah lagi dan bertambah rasa bahagianya … Aamiin.”
“Aamiin,” suaranya teredam isak tangis dan selimut. Perasannya kian menyedihkan seakan semua orang melupakan hari spesial ayahnya. Tak ada yang menyinggung tentang hari ini, semua bungkam.
Sesungguhnya, baik Meutia, Intan dan lainnya sama-sama menjaga lisan, agar kadar kesedihan mereka tidak bertambah menggunung berakhir menyakiti perasaan lebih dalam lagi. Semua ingat hari istimewa ini tanpa terkecuali.
Namun Sabiya belum begitu paham, dia cuma ingin tetap merasakan hal serupa walaupun sosok pahlawannya telah tiada.
Meutia mendongak menatap plafon berusaha sekuat mungkin agar tidak menangis lagi didepan kedua putrinya. Kedua tangannya termasuk yang diinfus – mengusap punggung dan kepala Intan serta Sabiya. Dirinya tidak berani membuka mulut, yakin pasti suaranya bergetar.
Ruangan sunyi itu bertambah senyap, cuma terdengar suara tangisan Sabiya dan kini Intan pun menumpahkan air mata. Mereka sangat merindukan sosok yang biasanya selalu ada – memenuhi setiap keinginan selagi hal itu baik, mendengar semua cerita meskipun baru saja pulang kerja.
Ayah mereka tidak pernah marah, begitu penyabar. Tidak pernah mengeluh walaupun sedang lelah. Selalu bertanya apa hari ini menyenangkan? tidak malu meminta kritik sekiranya sikapnya kurang berkenan di hati kedua putrinya.
Kedua putri Ikram Rasyid – sudah cukup mendapatkan limpahan kasih sayang dari ayahnya, sehingga mereka tidak lagi mencoba mencari perhatian kepada para paman apalagi orang lain.
Namun kini sumber bahagia mereka telah tiada. Kemana harus dicari sosok nyaris sempurna seperti itu? dan tentunya mereka tidak menginginkan adanya pengganti.
“Sabiya, Intan … mau tak bantu Mamak?” akhirnya dia bisa melontarkan kata-kata setelah beberapa menit terdiam larut dalam tangis buah hatinya.
Intan melepaskan dekapannya memeluk punggung Sabiya, dia berdiri di sisi ranjang – meraih lalu menggenggam tangan ibunya. “Mau, Mak.”
Sabiya mendongak, lalu duduk menyamping dengan benar, helaian rambutnya keluar dari hijab, ia tersenyum manis sekali ketika ibunya membenarkan penutup kepalanya.
Sabiya Rasyid.
“Adek bayi kan belum ada namanya. Ingat tidak dulu saat masih ada Ayah, kita berencana mencarikan nama kalau adik bayi sudah lahir,” hatinya kembali teriris mengingat rencana yang tinggal kenangan tak bisa terwujud.
Meutia menarik napas panjang, menyuguhkan senyum dibalut kesedihan yang coba disembunyikan. “Macam mana kalau sekarang kita cari nama bermakna baik untuk adik bayi, mau tidak Nak?”
Intan langsung mengangguk, dalam hati mencoba untuk tabah. ‘Ayah maaf ya, kami memutuskan sesuatu tanpa melibatkan Ayah.’
“Harus ada nama Rasyid nya ya, Mak. Biar sama seperti Biya dan kak Intan.”
“Baiklah gadis cantiknya Mamak.”
"Bagaimana kalau Gauzan, Mak?” seru Intan.
“Artinya apa itu kak Intan?” tanya Sabiya.
Ekspresi wajah Intan menghangat, senyum manisnya menambah kadar cantik. Anak perempuan yang tak lama lagi remaja memandang sayang ibu dan adiknya. “Maknanya … Berwawasan luas. Sama seperti Ayah yang pintar, bisa menjawab semua pertanyaan Intan maupun Biya. Semoga kelak Gauzan pun seperti ayah – akhlak nya baik, penyayang, penyabar, yang paling penting – selalu takut akan Tuhan, sholatnya tak bolong-bolong.”
Intan Rasyid.
‘Bang lihatlah putri-putri kita, kau tak ada diantara kami. Namun sosokmu telah merajai hati mereka – engkau berhasil mengukir nama, mengukuhkan diri, membuat Biya serta Intan menjadikan dirimu panutan mereka.’
“Bagus sekali makna namanya. Apa Biya setuju?” ia tetap ingin melibatkan kedua buah hatinya. Sama seperti yang dilakukan oleh sang suami – apapun itu selagi memang pantas bagi anak-anak, Ikram akan selalu meminta pendapat Intan serta Sabiya setelah mendapatkan persetujuannya terlebih dahulu.
“Biya suka namanya.”
Gauzan Rasyid – nama yang dipilih oleh sang kakak. Bayi prematur itu lahir tepat di hari kelahiran ayahnya.
Entah sebuah kebetulan atau memang skenario takdir. Hadirnya benar-benar memberikan dua warna kehidupan – suka cita dan kesedihan.
Perihal ekonomi, Meutia tidak kekurangan. Dia dan Ikram dari keluarga berada, memiliki beberapa investasi warisan dari orang tua. Pun, kekayaan mereka pribadi juga banyak, berupa dua rumah, tiga ruko yang disewakan di kota kecamatan, tabungan perhiasan dan juga uang dengan jumlah fantastis.
Akan tetapi, kini Meutia akan menghadapi tantangan tak kalah berat dari kekurangan ekonomi yakni, melewati hari tanpa kekasih hati. Membesarkan buah hati seorang diri, belajar menerima kenyataan tanpa membenci takdir kehidupan.
.
.
“Kau yakin ingin tinggal di kota kecamatan ini, Tia?” Wahyuni kurang setuju keputusan adiknya.
Meutia tersenyum tipis, menatap sayang kakak perempuannya. Keluarga besarnya datang semua menjenguk dirinya di pagi hari. Membawa rantang berisi menu olahan tangan kakak ipar yang memiliki usaha katering dan Wedding Organizer (WO).
“Kalau Tia pulang ke kampung, perlu waktu lama sampai rumah sakit. Hal tersebut bukan jalan efektif, mengingat Gauzan Rasyid membutuhkan nutrisi Asi eksklusif dariku, Kak. Kalian tenang saja, di rumah singgah juga ada bibik yang bantu-bantu,” terangnya.
“Nyak ikut tinggal dengan Tia ya, Nak?” Nyak Zainab tidak tega membiarkan putrinya seorang diri merawat kedua putrinya dan harus bolak-balik ke rumah sakit.
“Meutia bahagia sekali memiliki ibu yang sangat perhatian macam, Nyak. Namun kali ini, biarkan Tia bertanggung jawab penuh pada mereka, Nyak. Berikan diri ini kesempatan! Meutia sanggup menjadi ibu sekaligus ayah buat Intan, Sabiya, serta Gauzan.” Seperti ada benda tak terlihat tengah meremat hatinya kala mengatakan sekaligus menjadi ayah.
Nyak Zainab menoleh ke arah lain menyembunyikan rasa sesak.
Agam Siddiq tak bisa berbuat banyak, tapi bukan berarti dia tega membiarkan adik kesayangannya melewati hari-hari yang pasti tak mudah. “Abang setuju, tapi dengan satu syarat – Makcik dan kakak dikampung harus ikut kau tinggal di kota, biar mereka membantu meringankan tugasmu merawat anak-anak.”
“Bang, tolong _”
“Abang yang ingin meminta tolong kepadamu, Dek. Jangan sok kuat padahal hatimu masih hancur lebur, bingung harus memulai dari mana sedangkan kau sendiri masih belum sepenuhnya mempercayai bila dia sudah pergi untuk selamanya. Meutia, terlihat lemah bukanlah sebuah kejahatan! Namun …?”
.
.
Bersambung.