Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Bu Ratna Marah
Malam itu di apartemen Rizal di Jakarta, suasana sunyi hanya ditemani suara AC yang berhembus lembut. Nadia baru selesai menata beberapa hadiah pernikahan ketika ponselnya bergetar. Nama Allysa muncul di layar. Hatinya langsung mengecil—dia tahu, ini pasti tentang Roy.
Nadia mengangkat panggilan itu dengan ragu.
"Halo, Sa.”
Di seberang, suara Allysa terdengar pelan, seperti sudah melalui hari yang panjang.
"Nad, Roy tahu kalau lu dah merit, dia bilang liat di TL teman-teman.”
Nadia menelan napas. "Terus… dia gimana?”
Ada jeda. Seolah Allysa sedang menyusun kalimat yang tidak ingin dia ucapkan.
"Dia kaget. Bukan cuma kaget, dia keliatan hancur, Nad.” Suaranya pecah sedikit, meski ia mencoba terdengar tegar. "Dia bilang kenapa lu nggak cerita sendiri? Dia merasa dikhianati sama perasaannya sendiri.”
Nadia memejamkan mata. Rasa bersalah yang sejak kemarin sudah menggelayuti dadanya makin menekan.
"Maaf Sa, lu kan tahu sendiri alasan gue gak ngasih tahu dia? Yang pasti, setelah gue tahu dia mencintai gue, gue takut dia sakit hati.”
"Justru karena lu takut dia sakit hati, jadinya lebih sakit,” jawab Allysa lirih. Dia tidak menyalahkan, hanya mengatakan kenyataan yang pahit.
Nadia duduk di sofa, memijat pelipisnya.
"Dia marah sama lu, Sa?”
Allysa tertawa hambar. "Iya. Dia marah karena gue nutupin kabar lu. Dia datang ke apartemen gue, Nad. Sama sekali bukan Roy yang biasanya. Dia… meledak. Dia nanya kenapa gue nggak bilang. Tapi akhirnya gue jelasin semuanya.”
"Dan?” Nadia menunggu.
"Dan dia pergi dalam keadaan mabuk.” Napas Allysa terdengar berat, seperti sedang menahan emosi. “Gue nemuin dia di club, Nad. Dia minum banyak. Gue takut terjadi apa-apa, jadi gue antar dia pulang.”
Nadia membungkam bibirnya. Rasa bersalah berubah jadi perih yang menampar.
"Gue… gue nggak maksud bikin dia terluka.”
Allysa menghela napas panjang, lebih lembut kali ini.
"Gue tahu. Tapi Roy butuh waktu. Dia benar-benar patah hati.”
Hening beberapa detik. Dua perempuan itu tenggelam dalam pikiran masing-masing—Nadia di tengah kebahagiaan yang bercampur dosa masa lalu, dan Allysa di tengah rasa cintanya sendiri yang selalu kalah dari bayang-bayang Nadia.
Akhirnya Allysa berkata pelan,
"Gue cuma mau lu tahu… dia udah tahu semuanya. Kecuali kalau lu punya anak dari dia. Jadi kalau suatu saat lu ketemu dia, jangan kaget kalau dia nggak bisa lihat lu tanpa merasa sakit.”
Nadia menyeka sudut matanya yang mulai panas.
"Makasih ya, Sa. Sudah jagain dia… meski lu sendiri terluka."
"Maksud lu?”
"Gue tahu lu cinta dia, Sa."
"Lu tahu sejak kapan, Nad?"
"Saat gue bilang gue hamil anak Roy. Gue lihat lu terluka mendengar semua cerita gue. Gue tahu, walaupun lu terlihat biasa, tapi mata lu gak bisa dibohongi."
Di ujung telepon, Allysa tersenyum tipis yang tak terlihat.
"Ya begitulah, Nad. Cinta itu kadang bukan soal memiliki, tapi ngeliat orang yang kita sayang pulih. Semoga kali ini, semuanya bisa baik-baik aja.”
"By the way, sekali lagi congratulation untuk pernikahan lu, semoga lu bahagia, Nad. Jaga juga kandungan lu, jangan mabuk-mabukan lagi."
"Iya Sa, thanks ya."
Panggilan berakhir, meninggalkan malam yang terasa lebih berat dari sebelumnya.
*****
Pagi itu Bandung diguyur gerimis tipis, membuat udara terasa lembab dan sedikit dingin. Di saat Rezky sudah berangkat kerja dengan tergesa—seperti biasanya—Raisha memilih pulang ke rumah orang tuanya di daerah Kopo. Rumah yang baru ditempati hampir sebulan itu adalah tempat yang hangat, dengan aroma masakan Bu Ratna yang selalu menyambut siapa pun yang masuk.
Begitu Raisha memencet bel, Mamanya langsung muncul dibalik pintu, terkesiap senang.
"Raisha? Tumben, Nak. Masuk, Sayang. Kedinginan ya?”
Raisha tersenyum tipis, senyum yang dipaksakan. Ia melepas sepatu dan langsung memeluk Mamanya lama, lebih lama dari biasanya. Mama merasakan ada yang tidak beres.
"Ada apa? Kamu kenapa?”
suara Mama melembut, tangan mengusap punggung Raisha dengan lembut.
Raisha menelan ludah, matanya mulai panas.
"Ma, kita bicara di dalam."
Mereka masuk ke ruang tamu yang rapi. Bu Ratna duduk di sampingnya, tidak mendesak. Raisha mencoba menahan air mata, tapi akhirnya tangisnya pecah begitu saja.
"Ma… Icha capek.”
Mama terkejut, langsung meraih tangan putrinya.
"Capek kenapa, Sayang? Rezky kasar? Dia nyakitin kamu?”
Raisha buru-buru menggeleng.
"Nggak… Mas Rezky baik, Ma. Dia sayang sama Icha. Tapi…”
Kalimat itu terhenti. Tenggorokan Raisha seperti tersumbat. Mama mendekat, menunggu dengan sabar.
Akhirnya Raisha mengembuskan napas gemetar dan berkata lirih,
"Mertuaku, ibunya Mas Rezky… dia ngasih ultimatum, Ma.”
Mama mengernyit. "Ultimatum apa?”
Raisha menatap pangkuannya, air matanya jatuh satu per satu.
"Kalau Icha nggak hamil dalam enam bulan, Mas Rezky boleh ceraikan Icha.”
Mama terdiam. Amarah, kaget, dan patah hati tergambar bersamaan di wajahnya.
"Astaghfirullah… Itu maksudnya apa? Kayak kamu ini mesin, Cha?”
Raisha menggeleng lemah, suaranya serak.
"Katanya, keluarga Mas Rezky butuh penerus dari anak laki-laki tertua. Mereka malu kalau Icha nggak bisa kasih keturunan. Ibu Mas Rezky bilang: kalau nggak hamil, ya dimadu atau diceraikan. Terserah Mas Rezky.”
Mama menggenggam kedua tangan Raisha lebih erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan.
"Dengar ya, Nak. Kamu itu manusia. Kamu itu istri, bukan pabrik bayi.”
Raisha menangis makin keras.
"Icha takut, Ma… Icha sayang sama Mas Rezky. Icha nggak mau kehilangan dia. Tapi Icha juga nggak sanggup kalau harus bersaing sama perempuan lain.”
Mama menarik Raisha ke pelukannya, merengkuh kepala putrinya ke bahunya seperti saat Raisha masih kecil.
"Kamu nggak sendirian. Kamu punya Mama. Rezky harusnya melindungi kamu, bukan membiarkan kamu ditekan begitu.”
Raisha mengusap air mata dengan punggung tangan.
"Dia sih bilang gak akan menceraikan Icha, karena dia juga mencintai Icha, tapi Icha gak tahu kalau didesak terus."
Mama menghela napas panjang, menahan amarah pada menantunya tanpa melampiaskan pada Raisha.
"Ya sudah, nanti mama yang akan bicara, dia harus tegas. Dan soal mertuamu, nanti mama kan bicara dulu sama papa, tenang nanti mama yang hadapi kalau perlu.”
Raisha terisak kecil, merasa sedikit lebih lega berada di rumah yang selalu menerimanya tanpa syarat.
Di balik pelukannya, Mama berbisik lembut,
"Anak Mama itu berharga. Jangan biarkan siapa pun mengancam kebahagiaan kamu. Enam bulan, tiga bulan, atau besok pun—kamu tetap pantas dicintai tanpa syarat.”
Raisha menutup mata, membiarkan hangatnya pelukan itu yang menyembuhkan sedikit luka di hatinya. Untuk saat ini, pulang ke Kopo adalah satu-satunya tempat dia bisa bernapas.