Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permainan Sutra Berdarah
"Mereka menggunakan panah api berlapis belerang! Mereka ingin membakar kita hidup-hidup!"
Udara di dalam terasa semakin tipis, digantikan oleh panas yang mematikan. "Sora pasti sudah cukup jauh sekarang. Tugas kita adalah memastikan mereka terus mengejar kita di sini, menjauh dari jalur darat."
"Tapi bagaimana caranya?" Kapten Yoon menatap sekeliling dengan mata liar. "Terowongan ini buntu! Hanya ada satu jalan keluar, dan itu sedang dilalap api!"
"Tidak," balas Hwa-young, matanya berkilat liar dalam kegelapan yang pekat. "Ibuku tidak mungkin merancang tempat ini tanpa jalan darurat. Dia selalu berkata, 'Dalam setiap perangkap, selalu ada celah yang ditinggalkan oleh pembuatnya'." Ingatan itu datang seperti bisikan lembut di tengah kekacauan. "Pasti ada jalan menuju sungai!"
“Jika ada celah ke sungai, tempat ini pasti sudah banjir sejak lama."
"Cari, Kapten!" perintah Hwa-young, nadanya tegas dan tak terbantahkan. Ia mulai merangkak, tangannya meraba-raba dinding yang kasar. "Di balik tumpukan batu itu! Ibuku juga pernah bilang, tempat yang paling berbahaya sering kali menyembunyikan jalan keluar yang paling aman."
Mereka bergerak cepat, mengabaikan serpihan langit-langit yang terus berjatuhan. Meskipun ragu, Kapten Yoon mulai menggeser tumpukan batu di sudut terowongan dengan sisa tenaganya. Batu-batu itu berat dan tertanam dalam lumpur.
"Hanya, hanya lumpur padat, Yang Mulia," lapornya, napasnya terengah-engah, harapan di memudar.
Hwa-young mengabaikannya. Ia memejamkan mata sejenak, memaksa otaknya untuk menggali lebih dalam. Ingatan Ibunda Ratu. Sebuah cerita pengantar tidur tentang sungai Chungmae, tentang titik dangkal di mana air pasang selalu menyisakan kantung udara di balik bebatuan. Itu bukan sekadar dongeng, itu adalah petunjuk.
Aroma lumpur dan akar basah tiba-tiba terasa lebih kuat di satu sisi. Hwa-young merangkak ke arah bau itu, lututnya tenggelam dalam lumpur yang lebih lembek. Tangannya meraba-raba permukaan dinding, merasakan setiap tonjolan dan celah. Dan kemudian, jemarinya menyentuh sesuatu yang berbeda. Permukaan yang lebih halus, lebih dingin, dan terasa longgar.
"Di sini!" serunya. Awalnya batu itu tidak bergerak, , Hwa-young mengerahkan seluruh berat badannya, didorong oleh adrenalin dan keinginan untuk hidup. Dengan suara gerusan yang memekakkan telinga, sebuah batu besar bergeser, membuka celah sempit yang gelap. Semburan air sungai yang sedingin es langsung menerjang masuk, membasahi kaki mereka hingga ke pinggang.
"Jalur air!" pekik Kapten Yoon, matanya terbelalak tak percaya.
"Cepat! Sebelum air pasang menelan kita!" desis Hwa-young.
Mereka akhirnya berhasil mencapai daratan, ambruk di balik semak belukar yang lebat, basah kuyup dan kehabisan napas.
"Kita, kita berhasil," bisik Kapten Yoon, giginya gemeletuk.
Hwa-young hanya mengangguk, dadanya masih sesak. Dari tempat persembunyian mereka, ia bisa melihat api yang membubung tinggi dari gudang yang terbakar. Matriarch Kang pasti sedang merayakan kemenangannya. Kemenangan palsu yang akan ia bayar mahal.
"Kita harus kembali ke Istana Timur. Yi Seon pasti, dia pasti mengkhawatirkan kita," kata Hwa-young, bergetar karena dingin, atau mungkin karena hal lain. "Dan Sora, pesan itu harus segera dikirim."
"Pesan apa, Yang Mulia?"
Mata Hwa-young berkilat dalam gelap, memantulkan cahaya api dari kejauhan. "Pesan yang akan memulai babak baru. Matriarch Kang mengira dia telah memenangkan perang Garam. Dia salah besar. Kita akan menyerang sesuatu yang lebih berharga dari garam baginya. Kita akan menyerang harga dirinya."
Hwa-young tidak menunggu untuk membersihkan diri. Yi Seon berada di ruang kerjanya, mondar-mandir seperti singa dalam kurungan. Wajahnya pucat dan tegang. Saat melihat Hwa-young, ia berhenti mendadak.
"Hwa-young!" Yi Seon bergegas menghampirinya, mencengkeram lengannya. Matanya memindai Hwa-young dari atas ke bawah, mencari luka. "Kau nekat! Kau bisa saja terbunuh! Apa kau sadar apa yang baru saja kau lakukan?"
"Aku baik-baik saja, Yang Mulia," jawab Hwa-young, lebih serak dari yang ia duga. Kehangatan ruangan dan tatapan cemas Yi Seon membuatnya menyadari betapa lelah dan dinginnya ia. "Gudang itu hancur. Tapi kami berhasil keluar."
"Aku tahu." Yi Seon melepaskan cengkeramannya dan mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Matriarch Kang sudah mengirim utusan. Berita kemenangannya disebarkan ke seluruh istana. Dia mengklaim telah menghancurkan markas rahasiamu dan membunuh semua pengikutmu. Dia menuntut persidanganmu dipercepat, dengan alasan kelangkaan garam yang kau sebabkan."
"Biarkan saja rubah tua itu menyalak," desis Hwa-young. Ia berjalan ke perapian, mencoba menghangatkan tangannya yang membeku. "Dia tidak tahu Sora berhasil membawa Garam dari Utara. Dia juga tidak tahu kita baru saja membuka jalur komunikasi baru lewat para nelayan."
Tepat pada saat itu, Jenderal Kim masuk dengan tergesa-gesa, wajahnya serius. "Yang Mulia! Putri Mahkota! Ada pesan darurat!"
"Dari mana?" tanya Yi Seon.
"Dari perbatasan Utara. Kurir yang menyamar sebagai pedagang rempah-rempah berhasil melewati blokade Jenderal Jang," lapor Jenderal Kim, matanya tertuju pada Hwa-young dengan kekaguman.
Sebuah senyum tipis, hampir tak terlihat, tersungging di bibir Hwa-young. Sora berhasil. Tulisan tangan Sora yang rapi terbaca dengan jelas.
‘Garam Utara aman. Serangan pengalihan Jenderal Kim berhasil. Dana Chungmae utuh. Kang fokus pada Garam. Apa perintah selanjutnya?’
Hwa-young menyerahkan pesan itu pada Yi Seon. "Kita berhasil mengamankan sumber daya kita. Sekarang, saatnya menyerang."
"Menyerang apa lagi? Kita baru saja hampir mati," kata Yi Seon, matanya masih memancarkan kekhawatiran.
"Justru karena itu kita harus segera menyerang balik," balas Hwa-young. Ia mengambil peta kecil dari kantong bajunya yang basah. "Kita akan menyerang fondasi kekuasaannya. Sesuatu yang membuatnya merasa tak terkalahkan di kalangan para bangsawan."
"Sutra?" tanya Yi Seon, mengenali titik-titik yang ditunjuk Hwa-young di peta.
"Tepat. Sutra Kekaisaran," Hwa-young menegaskan. "Matriarch Kang memonopoli perdagangannya, menggunakannya untuk mengikat para istri bangsawan dalam jaring loyalitas. Sutra bukan hanya kain baginya, itu adalah alat kekuasaan sosial. Simbol status yang hanya bisa ia berikan." Ingatan pahit dari kehidupan sebelumnya melintas di benaknya, saat Ibunya dipermalukan di depan umum karena gaunnya terbuat dari sutra kelas dua, sementara para wanita dari klan Kang mengenakan sutra terbaik. Ini bukan hanya strategi. Ini pribadi.
"Tapi kita sudah menghancurkan pengiriman Sutra Ungu," sela Yi Seon.
"Itu hanya umpan," kata Hwa-young. "Pengiriman yang sesungguhnya, Sutra Putih Kekaisaran untuk gaun upacara Yang Mulia Raja dan Permaisuri, akan tiba dalam tiga hari. Jika pengiriman itu gagal, atau lebih buruk lagi, jika ada sutra lain yang lebih baik di pasaran, seluruh pengaruh sosial Matriarch Kang akan runtuh."
"Dia pasti sudah memperketat penjagaan setelah serangan pertama," ujar Yi Seon skeptis.
"Dia memang memperketat jalur darat," Hwa-young menjelaskan, penuh keyakinan yang lahir dari pengetahuannya akan masa depan. "Tapi dia menggunakan rute laut rahasia melalui Pelabuhan Musim Semi, sebuah pelabuhan kecil yang berada di bawah kendalinya. Di luar yurisdiksi Armada Kekaisaran."
"Kita tidak bisa menyerang pelabuhan itu secara terang-terangan! Itu akan memicu perang sipil!"
"Kita tidak akan menyerangnya," kata Hwa-young, senyum licik mulai terbentuk. "Kita akan melakukan sesuatu yang lebih cerdas. Kita akan menyelundupkan sutra impor berkualitas jauh lebih tinggi melalui jalur air dangkal di dekat pelabuhan. Sutra yang lebih indah dari miliknya, dan yang terpenting, sedikit lebih murah."
Yi Seon terperangah. "Menyelundupkan? Hwa-young, itu kejahatan yang hukumannya mati! Sutra adalah komoditas mewah yang diatur ketat oleh istana!"
"Aku tahu risikonya," jawab Hwa-young dengan tenang. "Tapi bayangkan hasilnya. Pasar akan dibanjiri sutra yang lebih baik dan lebih murah. Para wanita bangsawan, yang sudah lelah dengan harga mencekik dari klan Kang, akan berbondong-bondong membelinya. Monopoli Matriarch Kang akan hancur dalam semalam."
"Lalu bagaimana dengan Sutra Putih Kekaisaran?"
"Sora yang akan mengurusnya. Aku akan memberinya instruksi untuk 'mengganggu' pengiriman itu dengan cara yang kreatif. Cukup untuk membuat upacara harus ditunda dan Matriarch Kang kehilangan muka."
Yi Seon menatap Hwa-young dalam-dalam, melihat kobaran api di matanya. Ia menghela napas panjang, sebuah tanda penyerahan diri pada keberanian wanita di hadapannya. "Baiklah. Aku akan menciptakan pengalihan untukmu. Apa yang kau butuhkan?"
"Aku butuh kau membuat Matriarch Kang sibuk selama tiga hari ke depan. Tuntut audit mendadak dan menyeluruh terhadap semua pengeluaran militernya. Tuduh dia menggunakan dana negara untuk membiayai bisnis ilegalnya. Itu akan membuatnya sibuk menenangkan para jenderal loyalisnya."
"Itu akan membuat seluruh faksi militer murka padaku."
"Tepat. Tapi itu akan memberiku waktu yang kubutuhkan," kata Hwa-young. Ia mengambil kuas dan kertas. "Sekarang, pergilah. Aku harus menulis pesan untuk Sora."
Hwa-young menulis pesan rahasia dengan sandi Ikan Pari yang baru.
‘Operasi Sutra dimulai. Gunakan dana untuk membeli sutra impor terbaik. Target, Pelabuhan Musim Semi. Jual 10% lebih murah dari harga Kang. Untuk Sutra Putih, jangan hancurkan. Buat itu tidak bisa digunakan. Gunakan imajinasimu.’
Ia menyerahkannya kepada Jenderal Kim. "Aktifkan kembali Paman Baek. Hanya dia yang bisa menyampaikan pesan ini tanpa terdeteksi."
Tiga hari kemudian, Istana Utama berada di ambang kekacauan. Yi Seon dengan tenang menghadapi badai kemarahan di Aula Kebijakan, di mana para jenderal loyalis Kang menuntut penjelasan atas audit yang dianggap sebagai penghinaan.
Sementara itu, di Pelabuhan Musim Semi, Sora mengawasi para kuli angkut yang membongkar muatan dari kapal-kapal kecil di bawah cahaya rembulan. Sutra dari seberang lautan, dengan kilau dan kelembutan yang belum pernah dilihat di ibukota, kini berada di tangannya.
Malam berikutnya, Sora, menyamar sebagai pelayan gudang, menyelinap ke tempat penyimpanan Sutra Putih Kekaisaran. Gulungan-gulungan kain yang murni dan berharga itu tersusun rapi, menunggu untuk diantar ke istana. Dari balik jubahnya, Sora mengeluarkan beberapa botol berisi minyak ikan asin yang baunya luar biasa busuk.
Dengan senyum jahat, ia mulai menuangkan cairan itu dengan hati-hati ke sela-sela gulungan sutra. Bukan merusak, hanya menodai dengan aroma yang takkan hilang bahkan setelah dicuci seratus kali. "Gaun upacara beraroma ikan busuk," bisiknya pada diri sendiri. "Matriarch Kang pasti akan menyukainya."
Berita menyebar lebih cepat dari api. Keesokan paginya, pasar ibukota gempar. Sutra Chungmae, nama yang mereka berikan untuk sutra selundupan itu, muncul di toko-toko kain tersembunyi. Para wanita bangsawan yang melihatnya langsung jatuh cinta.
"Lihat kehalusannya! Dan warnanya, lebih hidup dari sutra milik klan Kang!"
"Harganya juga lebih masuk akal! Aku akan membatalkan semua pesananku pada Nyonya Kang!"
Di Istana Utama, Matriarch Kang menerima dua laporan buruk sekaligus.
"Sutra Putih Kekaisaran, seluruhnya berbau ikan busuk, Yang Mulia! Tidak bisa diselamatkan! Upacara harus ditunda!" lapor seorang pejabat.
"Dan, dan pasar dibanjiri oleh Sutra Chungmae! Keuntungan kita anjlok! Semua pesanan dibatalkan!" teriak Tuan Choi, wajahnya pucat pasi.
BRAKK!
Matriarch Kang membanting tinjunya ke meja, membuat cangkir teh di atasnya bergetar. Wajahnya memerah karena amarah yang tak terkendali. "HWA-YOUNG!" raungnya, namanya menggema di seluruh ruangan. "Dia berani menyerang sumber kebanggaanku!"
"Segera kirim pasukan! Sita semua Sutra Chungmae itu! Tangkap para pedagangnya!" perintahnya pada Tuan Choi.
"Terlambat, Yang Mulia. Sutra itu sudah terjual habis dan tersebar di seluruh rumah bangsawan. Menyitanya sekarang hanya akan menimbulkan kerusuhan sosial," jawab Tuan Choi dengan gemetar.
Matriarch Kang meraung seperti binatang yang terluka. Dia telah dipermalukan. Dipermainkan. Dia menyadari bahwa Hwa-young tidak hanya menyerang bisnisnya, tetapi juga meruntuhkan pilar kekuasaan sosialnya.
"Aku akan menghancurkanmu, Putri Mahkota sialan!" bisiknya dengan suara serak penuh kebencian. Matanya yang dingin menatap peta di dinding. Dia tidak akan jatuh ke dalam perangkap yang sama. Dia tidak akan menyerang komoditas yang jelas. Dia akan menyerang apa yang Hwa-young akan bangun selanjutnya.
"Dia pikir dia pintar," gumam Matriarch Kang. "Garam, lalu Sutra. Selanjutnya pasti komoditas perang. Bijih besi!" otaknya bekerja cepat, menghubungkan titik-titik berdasarkan logika paranoidnya. "Dia akan menggunakan gudang sungai yang terbakar itu lagi. Menjadikannya pusat distribusi bijih besi untuk para tentara bayarannya!"
"Tuan Choi!" panggilnya. "Kumpulkan pasukan terbaik kita! Kita akan menyerang gudang sungai itu malam ini! Kita akan hancurkan fondasi logistiknya sebelum sempat dibangun! Aku akan memastikan Hwa-young tidak punya apa-apa lagi untuk diperjualbelikan!"
Malam itu, di reruntuhan gudang yang hangus, Hwa-young berdiri dengan tenang di samping Kapten Yoon. Udara malam terasa dingin, membawa aroma sisa kebakaran.
"Laporan dari Sora sangat baik, Yang Mulia. Monopoli sutra klan Kang telah goyah," lapor Kapten Yoon dengan senyum puas.
"Bagus," jawab Hwa-young, matanya menatap kegelapan di luar. "Sekarang, bagian terakhir dari rencana ini. Dia akan datang."
"Siapa?"
"Matriarch Kang. Dia akan menyerang gudang ini lagi malam ini," kata Hwa-young dengan keyakinan mutlak. "Dia akan mengira kita akan menggunakan tempat ini untuk menyimpan bijih besi."
Seolah menjawab ucapannya, suara derap langkah kaki kuda dan pasukan dalam jumlah besar mulai terdengar dari kejauhan, semakin lama semakin dekat.
"Mereka datang!" seru Kapten Yoon, langsung waspada.
Pasukan Matriarch Kang dengan cepat mengepung sisa-sisa gudang, obor mereka menerangi malam seperti lautan api.
"Mereka datang untuk membunuh kita!" kata Kapten Yoon, tangannya sudah menggenggam gagang pedang.
"Tidak," balas Hwa-young, senyum dingin tersungging di bibirnya. "Mereka datang untuk bijih besi. Jadi, kita berikan mereka petunjuk." Ia mengeluarkan botol kecil berisi sisa pewarna ungu dari serangan sebelumnya. Dengan gerakan cepat, ia menuangkan pewarna itu ke tumpukan kecil bijih besi tak berharga yang sengaja mereka tinggalkan di tengah gudang.
"Kapten, kau dan anak buahmu, mundur sekarang melalui terowongan. Aku akan menyambut tamu kita."
"Tapi, Yang Mulia, "
"Pergi!" perintahnya tegas.
Kapten Yoon dan pasukannya dengan enggan menghilang ke dalam terowongan rahasia. Hwa-young menunggu sendirian di tengah gudang yang hancur.
BRAAANG!
Pintu gudang yang rapuh didobrak hingga hancur. Matriarch Kang melangkah masuk, diapit oleh para jenderalnya, wajahnya dipenuhi kebencian dan kemenangan.
"Hwa-young! Permainanmu sudah berakhir!" teriaknya.
Hwa-young hanya tersenyum tenang. "Selamat datang kembali, Matriarch Kang."
"Di mana bijih besimu? Di mana tentara bayaranmu?" desak Matriarch Kang, matanya liar mencari-cari.
Hwa-young menunjuk dengan santai ke lantai yang ternoda ungu di bawah kakinya. "Aku tidak punya bijih besi. Aku hanya punya, sisa pewarna."
Mata Matriarch Kang melebar saat ia menyadari semuanya. Ini bukan serangan. Ini adalah jebakan. Dia telah dipancing ke sini. Lagi.
"Kau, " Matriarch Kang kehabisan kata-kata, amarah membuatnya sesak napas.
"Kau terlalu fokus pada Sutra dan Bijih Besi, Matriarch Kang," kata Hwa-young, terdengar jelas di tengah keheningan yang mencekam. "Kau melupakan satu hal yang paling penting."
Hwa-young mengangkat tangannya.
Seketika, di atap-atap bangunan sekitar yang gelap, puluhan bayangan bergerak serempak. Cahaya obor memantulkan kilatan puluhan ujung panah yang sudah terpasang dan diarahkan tepat ke jantung pasukan Matriarch Kang. Suara decitan tali busur yang ditarik hingga batasnya memecah keheningan malam, terdengar seperti bisikan kematian yang menunggu perintah.