NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:773
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Bunga berlari kecil keluar apartemen, merasa seperti baru saja memenangkan medali emas. Ia berhasil jujur. Ia berhasil menjaga kepercayaan Arga. Dan ia berhasil mendapatkan... sate ayam.

Perjalanan singkat itu terasa membebaskan. Ia kembali ke apartemen, menemukan Arga sudah selesai mandi dan sedang menonton berita di televisi.

"Assalamu'alaikum! Sate datang!"

"Wa'alaikumsalam," Arga menoleh. "Cepat juga."

"Kan deket, Mas." Bunga meletakkan bungkusan sate di meja makan dan mengembalikan dompet Arga. "Nih, dompetnya. Kembaliannya Bunga taruh di dalam."

Arga mengambilnya, mengecek sekilas, lalu meletakkannya di meja. "Oke. Makasih."

Makan malam itu terasa ringan. Perang dingin telah usai, digantikan oleh gencatan senjata yang nyaman. Mereka makan sate langsung dari kertas bungkusnya.

"Jadi... Bunga bilang ke Kak Reza, wali Bunga galak," kata Bunga, memulai obrolan dengan hati-hati.

Arga berhenti mengunyah. "Oh, ya?"

"Iya. Dia sampai bilang, 'Kaku banget ya wali-mu, kayak bapak-bapak'," Bunga menirukan.

Arga terdiam sejenak, lalu ia tersenyum miring. "Bagus."

"Bagus?!"

"Iya," kata Arga, mengambil tusuk sate terakhir. "Biar dia tahu kamu ada yang 'jaga'. Biar dia nggak mikir kamu gampang diajak keluar."

"Oh..."

"Lain kali," lanjut Arga, nadanya santai, seolah memberi nasihat bisnis, "kalau dia ngajak kamu keluar lagi, kamu bilang aja, 'Maaf Kak, wali saya ketat banget, pasti nggak boleh'."

Bunga mengernyit. "Lho? Tapi kan Bunga udah jujur, dan Mas Arga akhirnya kasih izin."

"Mas memang kasih izin," kata Arga, menatap Bunga dengan tatapan tenang. "Tapi dia nggak perlu tahu itu. Biar dia lebih menghargaimu. Kalau sesuatu didapat terlalu mudah, orang cenderung nggak serius."

Bunga terdiam, mencerna logika itu. Ada benarnya. Itu adalah nasihat yang... bijak. Dan sangat protektif. Ia tidak merasa sedang dimanipulasi, ia merasa sedang diberi "jurus" untuk membentengi diri.

"Iya juga, sih, Mas," gumam Bunga. "Ide bagus."

"Sudah, habiskan satemu," kata Arga, mengakhiri diskusi itu.

Bunga menatap laki-laki di depannya itu. Ia benar-benar sedang dilindungi, dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.

Minggu pertama kuliah dimulai dengan ritme yang sesungguhnya. Tugas-tugas mulai berdatangan, menenggelamkan Bunga dalam dunia baru yang menakjubkan sekaligus melelahkan.

Profesor galak mata kuliah Sejarah & Teori Arsitektur benar-benar menjadi momok. Tugas pertama mereka, menganalisis dan menggambar ulang kuil Parthenon, menjadi rintangan pertama bagi hampir semua mahasiswa baru.

Pada Rabu malam, Bunga menemui temboknya.

Ia duduk di meja belajarnya, dikelilingi oleh kertas-kertas gambar yang gagal. Ia sudah mencoba menggambar tiang penyangga kuil itu berulang kali, tapi hasilnya selalu terlihat aneh. Tidak lurus, tapi juga tidak melengkung dengan indah. Hanya... penyok.

"Argh!" Bunga melempar pensilnya ke meja dengan frustrasi.

Ia teringat buku tebal di rak ruang tamu. Dengan langkah ragu, ia memutuskan untuk meminta bantuan sang ahli.

Ia keluar kamar. Pukul setengah sembilan malam. Arga ada di ruang tamu, seperti biasa. Tapi ia tidak menonton TV. Ia duduk di sofa, dikelilingi kertas-kertas kalkir besar dan sebuah maket kecil. Ia sedang bekerja, dan pemandangan itu selalu berhasil membuat Bunga terpesona. Fokusnya tajam, alisnya berkerut, dan tangannya bergerak cepat dengan spidol merah.

"Mas..." panggil Bunga pelan, takut mengganggu.

Arga mendongak. Wajahnya yang tegang langsung melembut saat melihat Bunga. "Ya? Kenapa? Muka kamu kusut begitu?"

"Ini..." Bunga menunjuk ke arah kamarnya. "Parthenon."

Arga tersenyum miring. Ia tahu. "Ah. Parthenon," katanya. "Kenapa? Tiangnya kelihatan aneh?"

Bunga kaget. "Mas Arga kok tahu?"

"Semua juga gitu," kata Arga. Ia meletakkan spidol merahnya. "Sini. Bawa gambarmu."

Bunga mengambil kertas gambarnya yang paling gagal dan berjalan malu-malu ke sofa. Ia duduk di ujung, menjaga jarak. Arga mengambil kertas itu.

Ia melihatnya sekilas. "Pfft." Dia menahan tawa.

"Mas Arga jangan ketawa!" rengek Bunga.

"Maaf, maaf," kata Arga, tapi matanya masih geli. "Ini bukan tiang kuil. Ini... sosis kegencet."

Wajah Bunga memerah.

"Oke, oke. Serius." Arga mengambil pensil 2B dari meja. Ia tidak mengambil kertas Bunga. Ia mengambil selembar kertas kalkir bersih.

"Masalahmu," katanya, "kamu terlalu fokus menggambar 'gembung'-nya. Kamu lupa filosofinya."

"Filosofi?"

"Iya. Arsitektur Yunani itu bukan cuma soal bangunan. Ini soal kesempurnaan. Soal manusia," kata Arga. Suaranya berubah. Tidak lagi seperti 'kakak' atau 'wali galak'. Kini suaranya dalam, penuh gairah, suara seorang profesional yang mencintai pekerjaannya.

"Mereka tahu," lanjut Arga, tangannya mulai menari di atas kertas kalkir, "bahwa mata manusia itu tidak sempurna. Garis lurus yang sangat panjang, kalau dilihat dari bawah, akan terlihat melengkung ke dalam. Jadi, alih-alih membuat kolomnya lurus, mereka membuatnya melengkung ke luar sedikit. Sangat-sangat sedikit. Justru untuk 'menipu' mata kita agar terlihat... lurus sempurna."

Bunga terpesona. Penjelasan itu membuka otaknya.

"Jadi," kata Arga, "jangan gambar gembungnya. Gambar dulu garis lurus sempurna. Tipis aja. Lalu, di sepertiga tengah kolom, beri sedikit... tekanan pada pensilmu. Sedikit saja. Biarkan tanganmu yang merasakannya. Bukan matamu."

Tangan Arga mendemonstrasikannya. Hasilnya... sempurna. Kolom itu terlihat kokoh, hidup, dan lurus sempurna.

"Wah..." Bunga berdecak kagum.

Arga menatapnya. "Arsitektur itu bukan cuma soal gambar bagus, Bunga. Itu soal rasa. Soal bagaimana bangunan itu membuat orang merasa. Kamu harus masukkan itu di gambarmu."

Bunga menatap Arga dengan pandangan baru. Laki-laki ini... brilian.

"Sekarang coba kamu."

Bunga mencoba di kertasnya. Dengan bimbingan Arga, ia akhirnya berhasil.

"Bagus," puji Arga. "Nah, sekarang kamu pusing soal denahnya, kan?"

"Iya, Mas."

Arga menghela napas. Ia melirik tumpukan pekerjaannya sendiri yang menggunung. Lalu ia melirik Bunga yang menatapnya dengan mata berbinar penuh harap.

"Gini," kata Arga, "Nggak efektif kalau kamu bolak-balik. Kamu nggak fokus, Mas juga kepotong kerjanya."

"Maaf, Mas..."

"Bukan. Maksud Mas," Arga menunjuk ke meja makan besar di belakang mereka. "Mulai sekarang, kita tetapkan 'jam bimbingan'."

"Jam bimbingan?"

"Iya. Setiap malam. Jam delapan sampai jam sepuluh malam," kata Arga. "Kamu bawa semua tugasmu ke meja makan. Kerjakan di sana. Mas juga akan pindah kerja ke sana. Kita kerja bareng. Kalau kamu buntu, kamu bisa langsung tanya. Mas nggak akan kasih jawaban, tapi Mas akan arahkan cara berpikirnya. Setuju?"

Mata Bunga membelalak. Itu... tawaran yang luar biasa. Itu seperti les privat arsitektur gratis, setiap malam, dari seorang arsitek profesional.

"Beneran, Mas? Mas Arga nggak keganggu?"

"Mas lebih keganggu kalau dengar kamu frustrasi di kamar," kata Arga datar. "Lagi pula, lebih hemat listrik kalau lampunya nyala di satu ruangan aja."

Selalu ada alasan logis di balik setiap perhatiannya.

"MAU! MAU BANGET, MAS!" pekik Bunga kegirangan. "Makasih, Mas Arga! Beneran!"

"Ya sudah. Mulai besok," kata Arga. "Sekarang, kerjakan sisanya di kamarmu. Mas mau selesaikan ini dulu."

"Siap, Pak Dosen!" ledek Bunga.

Ia kembali ke kamarnya dengan langkah ringan, membawa gambar tiangnya yang sudah 'benar'. Ia merasa tak terkalahkan.

Arga memperhatikannya masuk kamar. Saat pintu tertutup, ia bersandar di sofa, memijat pelipisnya. Ia melirik tumpukan pekerjaannya. Ia harus lembur sampai tengah malam. Tapi entah kenapa, ia tidak merasa terbebani.

Ia hanya menciptakan sebuah lingkungan di mana Bunga akan secara alami lebih memilih berada di dekatnya daripada mencari bantuan di tempat lain. Itu saja.

Keesokan harinya, Kamis malam. Pukul delapan tepat.

Meja makan besar itu telah berubah fungsi menjadi studio kerja bersama. Buku-buku tebal, kertas gambar, dan laptop Bunga tersebar di satu sisi meja. Di sisi lain, Arga duduk dengan laptopnya yang canggih dan tumpukan kertas revisi.

Suasana hening, tapi hening yang produktif. Hanya ada suara gesekan pensil Bunga di kertas dan ketukan keyboard Arga.

Saat Bunga sedang fokus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza.

[Kak Reza (BEM)]

Hai Melati. Maaf baru balas WA kamu. Laporanmu soal wali galak itu... lucu juga. 😄 Saya jadi makin penasaran sama walimu.

Jantung Bunga berdebar. Ia melirik Arga. Laki-laki itu terlihat fokus pada layarnya.

[Bunga]

Hehe. Iya, Kak. Galak banget.

[Kak Reza (BEM)]

Btw, ini sketsa baruku buat modul boks-nya. Aku coba revisi dari ide kamu. Gimana menurutmu? [Image attached: Sketsa Modul Boks v2.jpg]

Bunga membuka gambar itu. Reza menggambar boks-boks modular, tapi sambungannya terlihat rumit dan tidak kokoh. Ia mengernyit. Ini... tidak bagus.

Ia teringat sesuatu.

"Mas," panggilnya pelan.

Arga tidak mendongak. "Hmm?"

"Bunga lagi chat sama Kak Reza. Soal proyek BEM itu." (Kejujuran. Aturan pertama.)

Arga berhenti mengetik. Ia mendongak. "Ya. Terus?"

"Dia kirim sketsa," kata Bunga. "Tapi... Bunga rasa ini kurang bagus, Mas. Sambungannya kelihatan lemah."

Arga mengulurkan tangannya. "Sini. Mas lihat."

Bunga memberikan ponselnya. Arga mengamati gambar di layar dengan tatapan profesionalnya.

Hening sejenak.

"Naif," gumam Arga.

"Naif gimana, Mas?"

"Dia terlalu fokus pada tampilan, lupa sama kekuatan," kata Arga, meletakkan ponsel itu. "Ini cuma bagus di gambar, nggak akan kuat dipakai duduk anak-anak."

Kritik pedas itu membuat Bunga sedikit tidak enak, tapi ia tahu Arga benar.

"Terus... Bunga harus balas apa, Mas?"

"Kamu mau proyek ini berhasil?" tanya Arga.

"Mau, lah, Mas! Ini buat anak-anak jalanan."

"Oke." Arga mengambil pensil Bunga dan selembar kertas kosong. "Jangan bilang sketsanya jelek. Bilang, 'Idenya bagus, Kak, tapi Bunga kepikiran cara biar lebih kuat dan lebih gampang dirakit'."

Tangan Arga kembali menari di atas kertas, jauh lebih cepat dan lebih presisi dari sketsa Reza.

"Dia nggak butuh sekrup. Dia butuh sambungan yang saling mengunci, kayak potongan puzzle," jelas Arga sambil menggambar. "Jadi nggak perlu alat macam-macam buat merakitnya. Lebih aman buat anak-anak."

Dalam waktu kurang dari dua menit, Arga sudah menghasilkan sketsa 3D yang jenius, elegan, dan sangat praktis.

Bunga menatap gambar itu, lalu menatap sketsa Reza di ponselnya.

Jomplang. Ini seperti membandingkan mobil mainan dengan mobil sungguhan.

"Mas... ini... bagus banget," bisik Bunga.

Arga meletakkan pensilnya. "Itu dasar. Bilang saja itu pengembangan dari idemu," katanya, kembali menatap laptopnya. "Mas cuma bantu kasih masukan. Cepat balas. Habis itu kerjakan lagi Parthenon-mu."

Bunga menatap Arga, lalu ke sketsa di tangannya. Ia memotret sketsa Arga.

[Bunga]

Kak, sketsanya bagus. Tapi Bunga kepikiran, gimana kalau sambungannya kita ubah? Biar lebih kuat dan hemat. Kayak gini.

[Image attached: Sketsa Arga.jpg]

Ini Bunga baru coret-coret. Jadi nggak perlu alat rumit, tinggal dikunci aja. Gimana menurut Kakak?

Pesan terkirim. Bunga menatap layar, menunggu.

Hampir satu menit penuh.

[Kak Reza (BEM)]

...

(Mengetik...)

[Kak Reza (BEM)]

Bunga.

Ini... gila.

Ini jenius.

Kamu... kamu beneran baru semester satu?

Bunga tersenyum. Senyum kemenangan. Ia melirik Arga. Laki-laki itu pura-pura tidak melihat, tapi Bunga tahu ia mendengarkan.

[Bunga]

Hehe. Cuma ide aja, Kak. 🙂

[Kak Reza (BEM)]

Ini bukan 'cuma ide'. Ini solusi. Kita harus ketemu. Besok! Bahas ini. Saya traktir makan siang.

Senyum Bunga memudar. Ajakan lagi.

Ia melirik Arga. Waktunya memakai "tameng" itu.

[Bunga]

Maaf, Kak. Besok kelas Bunga padat banget. Mungkin bisa dibahas via WA aja dulu? Atau... Bunga bisa coba kembangkan lagi desainnya malam ini, terus Bunga kirim filenya. Nggak enak sama wali Bunga kalau keseringan pulang telat.

[Kak Reza (BEM)]

Serius? Kamu mau kerjain malam ini?

Bunga melirik "dosen privat"-nya.

[Bunga]

Iya, Kak. Kebetulan lagi semangat. Ada yang bimbing juga di rumah.

Ia sengaja menambahkan kalimat terakhir itu. Biar Reza tahu ia tidak sendirian.

[Kak Reza (BEM)]

Oh? Dibimbing siapa? Walimu itu arsitek juga?

[Bunga]

Hehe. Bisa dibilang gitu, Kak.

[Kak Reza (BEM)]

Ya ampun, Melati. Kamu penyelamat. Oke! Saya tunggu! Makasih banyak, ya! Kamu luar biasa.

Bunga meletakkan ponselnya. Ia menatap Arga.

Arga menatapnya balik. Ada kilat geli di matanya. "Semangat, ya," katanya. "Kerjakan."

"Mas!" rengek Bunga. "Bantuin, ya?"

"'Jam Bimbingan' masih satu jam lagi," kata Arga, melirik jam. "Manfaatkan waktumu."

"Ayolah, Mas!"

Arga mendesah pura-pura. "Ya sudah. Geser Parthenon-mu. Kita buat anak BEM itu terkesan."

"Mas Arga!"

Arga tertawa pelan. "Ayo. Buka laptopmu. Tunjukkan sama Mas, apa yang sudah kamu pelajari."

Malam itu, di bawah lampu meja makan yang hangat, Bunga dan Arga bekerja berdampingan. Bukan lagi sebagai 'suami-pura-pura' atau 'kakak-adik'.

Mereka adalah tim. Dan Bunga, tanpa sadar, mulai mengandalkan satu anggota timnya jauh lebih banyak daripada yang seharusnya.

Ia tidak tahu bahwa setiap bimbingan, setiap pujian, setiap bantuan teknis, adalah sebuah benang tak kasat mata yang perlahan-lahan mengikatnya, membuatnya semakin bergantung pada Arga. Bukan dengan paksaan, tapi dengan kekaguman.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!