NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:159
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Riak dibawah cahaya bulan

Sebulan telah berlalu sejak Anzu dan Alfred menetap di Lembah Velmore Hollow.

Waktu seolah berjalan lambat di tempat ini — seakan lembah itu sendiri menolak hiruk-pikuk dunia luar.

Kabut pagi masih turun lembut setiap fajar, menyelimuti pepohonan biru yang menjulang, sementara sungai di tengah lembah berkilau diterpa cahaya matahari pertama. Suara gemericik air dan nyanyian burung menandai awal hari yang damai.

Namun bagi Anzu, kedamaian itu bukan alasan untuk berhenti.

Setiap hari ia melatih auranya di bawah air terjun, merasakan berat tekanan air pada tubuhnya, mencoba mengendalikan amarah yang masih bergejolak di kedalaman jiwanya.

“Satan…” bisiknya di sela suara deras air.

“Kau dan aku masih terikat, Tapi sampai kapan aku harus terus menahanmu?”

Air di sekitarnya bergetar, aura merah gelap memancar sesaat dari tubuhnya — namun segera padam ketika Anzu menarik napas panjang dan memejamkan mata.

Seiring berjalannya waktu, ia belajar menenangkan dirinya, bukan dengan kekuatan, tapi dengan ketenangan.

Di sisi lain, Alfred menjalani hari-harinya dengan jauh lebih santai. Ia sering membantu di dapur, memperbaiki alat-alat tani, bahkan mengajari anak-anak Velmari bernyanyi lagu-lagu aneh dari dunia manusia.

Penduduk lembah semakin akrab dengan mereka berdua.

Anzu — sang “Penjaga Senyap” yang menjaga lembah dari bahaya.

Alfred — sang “Koki Gila” yang membuat semua tertawa, meski sering membuat dapur berasap.

Namun ada satu sosok yang selalu memperhatikan Anzu dari jauh — Lira.

Velmari muda yang dikenal cantik, dengan rambut perak kebiruan dan mata sejernih embun pagi. Ia adalah primadona lembah, dikagumi banyak lelaki Velmari… tapi hatinya hanya tertuju pada satu orang — Anzu.

Sejak hari pertama Anzu datang, Lira selalu mencari alasan untuk berada di dekatnya.

Ketika Anzu membantu di ladang, Lira pura-pura ikut menanam bibit hanya agar bisa melihat cara Anzu bekerja.

Saat Anzu memotong daging hasil buruan, Lira datang membawa air, meski tidak pernah diminta.

Dan setiap kali Anzu berbicara, walau hanya sepatah kata, Lira menyimpannya dalam hati, seperti permata kecil yang berharga.

Namun, Anzu tetap sama.

Dingin. Tenang. Tak tersentuh.

Suatu malam, setelah kelompok pemburu kembali dari hutan dengan hasil tangkapan besar, penduduk lembah bersorak riang di sekitar api unggun.

Musik lembut dimainkan dengan seruling bambu dan genderang kulit, sementara aroma daging panggang memenuhi udara.

Anzu duduk di sisi api, membersihkan bilah pedangnya dalam diam.

Cahaya merah api memantul di mata kelamnya.

Lira, yang sejak tadi memandangi Anzu dari kejauhan, akhirnya memberanikan diri.

Tanpa mengatakan apa pun, ia mendekat, lalu menggenggam tangan Anzu.

“Anzu… ikut aku sebentar,” katanya lirih.

Alfred yang melihat itu menahan senyum licik, tapi tidak berkata apa-apa.

Ia hanya mengangkat mangkuknya tinggi-tinggi dan berseru,

“Hei! Jangan pulang terlalu cepat, ya!”

Anzu menatapnya datar, lalu membiarkan Lira menariknya pergi.

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak di tepi sawah. Bulan bulat sempurna menggantung di langit, memantulkan cahaya lembut ke permukaan sungai.

Di ujung jalan itu berdiri sebuah pohon tua raksasa, batangnya tebal dan berakar kuat, dedaunannya berkilau disinari cahaya bulan.

Tempat itu sepi, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani.

Lira berhenti di bawah pohon itu, berbalik menghadap Anzu. Napasnya sedikit tersengal, bukan karena lelah… tapi karena gugup.

“Aku… ingin mengatakan sesuatu,” katanya pelan.

Anzu hanya diam, menatapnya tenang seperti biasa.

Wajah Lira memerah.

Tangannya mengepal di depan dada.

“Sejak pertama kali kau datang ke lembah ini… entah kenapa, aku selalu merasa tenang saat kau ada di sini.”

Suaranya gemetar.

“Aku tahu kau mungkin tidak menganggapku siapa-siapa, tapi… aku—aku menyukaimu, Anzu.”

Udara di sekitar mereka mendadak terasa diam.

Suara sungai seolah menjauh, hanya tersisa hembusan angin yang membawa aroma bunga liar.

Anzu menatap Lira lama, lalu menunduk sedikit.

“Lira…” suaranya datar, tapi lembut.

“Terima kasih.”

Lira menahan napas, matanya bergetar, seakan menunggu kelanjutan yang ia harap tak akan menyakitkan.

Namun kemudian, Anzu melanjutkan dengan suara rendah.

“Tapi aku… tidak bisa membalas perasaanmu.”

Lira terpaku.

Anzu menunduk, menautkan jemarinya perlahan.

“Di tempatku dulu, ada seseorang yang sangat berarti bagiku. Kami tumbuh bersama… sebelum aku terlempar ke dunia ini.”

Ia menatap langit malam, seolah melihat wajah seseorang di antara bintang-bintang.

“Namanya Hiromi. Dia… satu-satunya alasan aku dulu ingin tetap hidup.”

Lira menelan ludah, menatap tanah agar air matanya tak terlihat.

“Dia… perempuan yang kau cintai?” tanyanya nyaris berbisik.

Anzu tidak menjawab.

Namun senyum tipis yang muncul di wajahnya sudah cukup menjadi jawaban.

Dalam pikirannya, kenangan mengalir seperti film usang, dirinya dan Hiromi berlari di bawah hujan, berbagi payung rusak di depan panti asuhan, tertawa karena hal-hal kecil.

Hiromi yang selalu menggandeng tangannya ketika malam datang, berkata,

“Kalau kau takut, Anzu, lihat saja langit. Selalu ada cahaya, bahkan di gelap sekalipun.”

Dan kini, di dunia yang asing ini, kata-kata itu masih terpatri di dalam hatinya.

Anzu menarik napas panjang. “Aku tidak ingin melupakan Hiromi… bukan karena aku terikat masa lalu, tapi karena dia adalah bagian dari siapa aku sekarang.”

Lira menunduk, tersenyum pahit. “Aku mengerti.”

Air matanya menetes pelan, tapi ia menahannya dengan cepat.

“Terima kasih karena jujur, Anzu.”

Anzu ingin mengatakan sesuatu, tapi tak menemukan kata yang tepat.

Ia hanya membungkuk ringan. “Maaf.”

Lira menggeleng. “Jangan minta maaf. Aku tidak menyesal menyukaimu.”

Ia melangkah mundur, menatap Anzu terakhir kali dengan senyum lembut yang bergetar.

“Walau kau menolak, hatiku tetap akan mendoakanmu.”

Lalu ia berbalik, berjalan menjauh di bawah cahaya bulan.

Anzu berdiri diam di bawah pohon tua itu, membiarkan angin malam menerpa wajahnya.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya terasa berat.

Bukan karena pertempuran, tapi karena sesuatu yang lebih dalam, rasa bersalah pada orang yang hanya ingin mencintainya.

Keesokan paginya, lembah tampak lebih tenang dari biasanya.

Lira tidak terlihat di ladang. Alfred pun menyadari perubahan suasana Anzu.

“Hei, wajahmu lebih muram dari biasanya,” ujar Alfred sambil menyodorkan secangkir teh hangat.

“Berantem dengan seseorang?”

“Tidak.”

“Ditolak seseorang?” Alfred menyeringai.

Anzu menatapnya tajam. “Kau ingin jatuh dari tebing?”

“Tidak jadi tanya.” Alfred tertawa kaku dan cepat-cepat meneguk tehnya.

Namun di balik canda itu, Anzu tahu — ada sesuatu di udara.

Rasa tenang lembah terasa sedikit… berubah. Seolah ada sesuatu yang bersembunyi di balik kabut yang lebih pekat dari biasanya.

Burung-burung yang biasanya bernyanyi pagi ini terbang rendah, gelisah.

Danau yang biasanya tenang tampak beriak meski angin hampir tak berhembus.

Anzu berdiri, menatap tajam.

Di kejauhan, kabut bergerak melingkar seperti pusaran — dan di tengahnya, tampak kilatan cahaya merah samar.

Alfred menyadarinya juga. “Itu… bukan hal normal, kan?”

Anzu menghela napas panjang, aura tipis mulai menyelimuti tubuhnya.

“Sepertinya, kedamaian kita sudah cukup lama.”

Ia menatap lembah yang mulai diterpa angin aneh, sementara dari arah kabut, suara berat menggema — seperti napas makhluk yang lama tertidur.

“Waktunya sudah dekat…”

Alfred meneguk ludah. “Kau bercanda kan… baru saja kita merasa damai.”

Anzu menatap jauh ke arah sumber suara itu, matanya memerah samar.

“Damai tidak pernah abadi bagi mereka yang membawa dosa.”

Ia menghunus pedangnya perlahan, bilahnya bergetar seolah ikut merasakan panggilan itu.

Dan di kejauhan, cahaya merah semakin terang, memantulkan bayangan besar yang mulai muncul dari balik kabut.

Lembah Velmore Hollow… bersiap menyambut badai yang baru.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!