NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29 Manuver Melawan Arus.

Waktu melambat. Teriakan Sasha tenggelam oleh deru mesin perahu yang masih menderu dan suara baling-baling helikopter yang mendekat. Ia melihat Zega terbaring tak sadarkan diri, sebagian tubuhnya terendam air keruh, dan prajurit berwajah tertutup itu memegang laptop Bara—bukti krusial yang mereka pertaruhkan nyawa untuknya.

Prajurit itu, dengan langkah metodis dan tanpa emosi, berjalan menuju perahu. Senapan otomatisnya tergantung di bahu, siap digunakan, tetapi ia memegang laptop itu seolah-olah itu adalah piala perang. Dia tidak perlu menembak. Sasha sudah lumpuh karena ketakutan.

Namun, dalam diri Sasha, sesuatu bergejolak. Itu bukan lagi kepanikan seorang CEO yang takut kehilangan perusahaannya, tetapi amarah seorang wanita yang baru saja melihat rekannya dihantam hingga jatuh. Zega mempertaruhkan segalanya untuknya; Sasha tidak akan membiarkannya mati di lumpur.

Ia mencengkeram tuas gas. Tanpa berpikir panjang, ia memutar kemudi sekuat tenaga. Alih-alih melarikan diri, ia membalikkan perahu motor itu, menciptakan putaran tajam yang mengirimkan ombak buatan besar ke arah prajurit itu.

Prajurit itu tersentak. Dia terkejut oleh manuver yang tidak terduga ini. Air berlumpur menghantam wajahnya dan membasahi seragamnya. Keseimbangannya goyah, dan sesaat, fokusnya teralihkan.

Inilah celah Sasha. Ia tidak mencoba menyerang. Ia mengarahkan perahu mendekati Zega, menjaga mesin tetap menderu keras sebagai perisai kebisingan. Ia melompat dari perahu, merasakan lumpur dingin menghisap sepatunya.

“Zega!” Sasha meraih kerah jaket Zega. Kepala Zega terkulai, darah tipis mengalir dari pelipisnya. Dia berat, jauh lebih berat dari yang Sasha duga.

Prajurit itu telah mendapatkan kembali keseimbangannya. Ia menoleh, lensa helmnya memancarkan refleksi fajar yang suram. Ia mengangkat laptop Bara tinggi-tinggi sebagai peringatan diam, lalu mulai mengejar Sasha.

Sasha mengerahkan sisa tenaganya, menyeret Zega. Ia tidak peduli dengan rasa sakit di pergelangan kakinya. Ia hanya memikirkan satu hal: Perahu. Beban Zega terasa tak tertahankan, tetapi dorongan adrenalin memberinya kekuatan yang ia butuhkan.

Dengan tarikan terakhir, Sasha berhasil menarik Zega ke atas lambung perahu. Sebelum prajurit itu mencapai jarak tembak yang ideal, Sasha melompat kembali ke kursi pengemudi dan menarik tuas gas sepenuhnya. Mesin meraung, dan perahu itu melaju kencang, meninggalkan teluk bakau yang kini dipenuhi suara tembakan peringatan yang ditembakkan ke udara.

Mereka meluncur ke lautan terbuka. Sasha tidak melihat ke belakang. Helikopter di atas mereka kini menyadari apa yang terjadi dan mulai berputar, tetapi perahu kecil Pak Tio, yang dirancang untuk kecepatan dan kelincahan, sudah terlalu jauh.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, suara tembakan mereda. Hanya suara ombak, deru mesin, dan napas Sasha yang terengah-engah yang tersisa. Ia membiarkan perahu itu melaju tanpa tujuan pasti, kemudian melambatkannya saat mereka berada di luar jangkauan pandangan helikopter.

Sasha berlutut di sebelah Zega. Wajahnya pucat, dan ada luka yang cukup dalam di pelipisnya. Ia mengeluarkan botol air dari ranselnya dan membersihkan darah itu dengan hati-hati. Zega masih belum sadar.

“Zega, bertahanlah,” bisik Sasha, suaranya gemetar. Ia memeriksa pernapasan Zega. Napasnya dangkal tetapi stabil. Ia merasakan detak jantungnya yang cepat. Itu melegakan.

Sasha melihat ke cakrawala. Matahari kini telah terbit sepenuhnya, mewarnai langit dengan jingga yang kejam. Mereka sendirian di tengah lautan, tanpa laptop Bara, tanpa bukti digital yang mereka butuhkan untuk melawan Paman Hadi dan Express Teknologi.

Sasha duduk kembali di kursi pengemudi, memetakan rute di kepalanya. Bali. Konferensi Teknologi Global. Rencana kontingensi Bara yang terakhir. Itu adalah tujuan mereka, tetapi sekarang, itu adalah pertaruhan yang lebih besar dari sebelumnya. Mereka tiba di sana sebagai buronan tanpa amunisi.

Setelah sekitar satu jam perjalanan yang mencekam, Zega mengerang pelan. Sasha segera mematikan mesin, membiarkan perahu mengapung di atas ombak yang tenang.

“Sasha?” Suara Zega serak dan samar. Matanya perlahan terbuka, berkedip karena silau matahari.

“Aku di sini. Jangan bergerak,” kata Sasha, mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kau dipukul. Bagaimana kepalamu?”

Zega meraba pelipisnya, ekspresinya berkerut kesakitan. “Seperti digigit robot anjing dan dipukul popor senapan. Tunggu… laptopnya?”

Wajah Sasha jatuh. “Mereka mendapatkannya. Aku tidak bisa mengambilnya kembali. Aku hanya bisa menarikmu keluar.”

Zega menutup matanya, menghela napas panjang, kekalahan yang pahit. “Tentu saja. Express Teknologi tidak pernah gagal. Mereka tahu Bara pasti akan menyembunyikan bukti fisik. Tapi... kita punya beberapa jam di persembunyian kemarin. Sebelum kita menyerahkan laptop itu kepada mereka, aku sempat memindai kodenya.”

Sasha menatapnya dengan harapan baru. “Apa maksudmu? Kau menyalinnya?”

“Tidak persis. Bara menyembunyikan file utama, yang dia sebut ‘Final Code,’ di dalam file cadangan sistem operasi lama DigiRaya. File itu dilindungi oleh enkripsi berlapis yang sangat kejam. Aku hanya sempat melihat sinopsisnya, dan beberapa baris kode awal. Aku tahu alur cerita digitalnya, Sasha, tapi aku tidak punya 'kunci' untuk membukanya.”

“Alur cerita apa?”

Zega berjuang untuk duduk, bersandar pada sisi perahu. “Bara telah membuat jurnal digital terperinci. Bukan hanya tentang Paman Hadi yang menyuap regulator untuk audit, tetapi tentang skema pembunuhan. Bara yakin dia akan mati. Dia tidak hanya menyimpan bukti kejahatan Paman Hadi, tetapi juga bukti kolaborasi Express Teknologi dan badan intelijen asing untuk memaksa merger atau melumpuhkan DigiRaya.”

“Dan laptop itu sekarang ada di tangan mereka,” Sasha menyimpulkan dengan getir. “Mereka tahu kita tahu. Mereka akan mengantisipasi setiap langkah kita.”

“Tepat. Sekarang, kita harus kembali ke rencana Bara yang paling gila: Bali. Kita harus mencapai Konferensi Teknologi Global di Denpasar,” kata Zega. “Paman Hadi dan CEO Express Teknologi, Ethan Cole, pasti ada di sana. Jika kita tidak bisa menyajikan bukti, kita harus menyajikan cerita.”

Sasha menghidupkan kembali mesin. Angin laut menerpa wajahnya. Ia tahu Zega benar. Bali bukan hanya tujuan, itu adalah arena pertarungan terakhir mereka. Di panggung global, di depan mata dunia teknologi, mereka harus mempertaruhkan kredibilitas mereka tanpa ada bukti nyata di tangan.

“Berapa lama waktu yang dibutuhkan?” tanya Sasha.

“Dengan perahu kecil ini? Dua belas hingga lima belas jam, jika ombak bersahabat. Kita akan tiba sebelum fajar besok pagi, tepat pada hari pembukaan konferensi.” Zega mengambil alih kemudi. Meskipun kepalanya sakit, naluri navigasinya kembali.

Perjalanan itu terasa panjang dan sunyi. Mereka berbagi sepotong kecil roti kering dan sisa air, menghemat setiap tetes. Sasha merawat luka Zega, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Zega, kelelahan total.

“Aku takut,” bisik Sasha, pengakuan yang tulus. “Aku takut mereka akan menang. Aku takut aku tidak bisa melindungi DigiRaya.”

Zega menoleh sedikit, mencium keningnya. “Kita sudah kehilangan laptop, Sasha. Kita sudah kehilangan hampir segalanya. Tapi ingat, Bara tidak hanya menyimpan bukti digital. Dia juga menyimpan bukti dalam dirimu. Dia memilihmu untuk memimpin. Mereka mungkin punya Final Code, tapi mereka tidak tahu bagaimana cara kerjanya. Aku yakin Bara menaruh kuncinya di tempat yang hanya kau yang bisa menemukannya.”

Sasha mengangkat kepalanya. “Kunci apa?”

“Aku tidak tahu. Itu hanya firasat seorang hacker. Enkripsi yang sempurna selalu memiliki pintu belakang emosional.” Zega memegang erat tangan Sasha, pandangannya fokus pada cakrawala.

Malam tiba, gelap gulita, hanya dihiasi bintang-bintang dan gemerlap fosfor di air. Tiba-tiba, di kejauhan, di balik kegelapan lautan, sebuah garis cahaya yang memanjang muncul. Kota. Peradaban. Bali.

“Kita sampai,” bisik Zega. Dia memperlambat laju perahu saat mereka mendekati perairan sibuk dekat Denpasar. “Sekarang, bagian tersulit. Bagaimana dua buronan, tanpa dokumen, tanpa uang, dan tanpa bukti, bisa masuk ke Konferensi Teknologi Global yang dijaga ketat?”

Sasha merasakan adrenalin kembali melonjak, bercampur dengan ketegangan. Cahaya Denpasar terlihat mewah dan menjanjikan, kontras tajam dengan kekacauan yang mereka alami. Mereka akan memasuki sarang musuh.

Zega mematikan mesin, membiarkan perahu kecil itu hanyut di bawah naungan dermaga kayu yang sepi. Ia menoleh ke Sasha.

“Sasha, di konferensi itu, Paman Hadi akan berusaha tampil sebagai pahlawan, penyelamat DigiRaya dari kekacauan yang ditinggalkan Bara. Dia akan memenangkan hati para investor dan regulator. Kita harus menemukan cara untuk menyabotase penampilannya.”

Sasha mengangguk. “Aku akan naik ke panggung. Aku harus. Aku akan menantangnya secara terbuka.”

“Itu gila. Kau akan langsung ditangkap,” protes Zega.

“Maka kita harus memastikan penangkapanku menjadi berita utama,” balas Sasha, matanya kini berkilat dengan determinasi. “Tapi sebelum itu, kita harus mendapatkan akses. Kita butuh kartu identitas, pakaian, dan… aku butuh akses ke jaringan data paling terenkripsi yang pernah kau retas.”

Zega tersenyum tipis. “Aku akan mengurus akses, asalkan kau mau mengambil risiko yang sangat besar. Aku harus masuk ke markas Express Teknologi secara fisik. Di sana, mereka akan menyimpan laptop Bara.”

Sasha menatapnya. Misi itu hampir mustahil. Jika Zega tertangkap di markas pesaing asing, itu adalah insiden internasional.

“Bagaimana kau bisa masuk?” tanya Sasha.

Zega menunjuk ke arah pelabuhan utama di mana kapal-kapal kargo besar bersandar. “Konferensi itu dijaga ketat, tapi dermaga di sini, penuh dengan kontainer, penuh dengan celah. Aku tahu jalan pintas digital menuju jaringan mereka. Kita hanya butuh satu hal: seseorang di dalam yang percaya pada kita.”

Mereka melompat ke tepi pantai yang gelap. Saat mereka bersembunyi di balik tumpukan jaring ikan, Sasha tiba-tiba teringat detail kecil yang Zega abaikan. Ia mengeluarkan liontin kalung yang dikenakannya sejak kematian Bara—sebuah liontin berbentuk chip memori kuno, yang dulunya hanyalah perhiasan sentimental.

“Bagaimana jika kuncinya… ada di sini?” bisik Sasha, menatap liontin itu, yang kini tampak lebih berat dari sekadar perhiasan.

Zega menyambar liontin itu, matanya melebar saat ia melihat desainnya lebih dekat. Itu bukan chip memori. Itu adalah kunci enkripsi fisik. Liontin itu adalah kepingan kecil dari masa lalu Bara yang tersembunyi. Mereka telah kehilangan bukti digital, tetapi mereka mungkin baru saja menemukan kuncinya secara tidak diduga....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!