NovelToon NovelToon
Pelarian Bintang Senja

Pelarian Bintang Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Cinta Istana/Kuno / Akademi Sihir / Diam-Diam Cinta / Pusaka Ajaib / Aliansi Pernikahan
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: ainul hasmirati

Suara Raja Bramasta terdengar tegas, namun ada nada putus asa di dalamnya

Raja Bramasta: "Sekar, apa yang kau lakukan di sini? Aku sudah bilang, jangan pernah menampakkan diri di hadapanku lagi!"

Suara Dayang Sekar terdengar lirih, penuh air mata

Dayang Sekar: "Yang Mulia, hamba mohon ampun. Hamba hanya ingin menjelaskan semuanya. Hamba tidak bermaksud menyakiti hati Yang Mulia."

Raja Bramasta: "Menjelaskan apa? Bahwa kau telah menghancurkan hidupku, menghancurkan keluargaku? Pergi! Jangan pernah kembali!"

Suara Ibu Suri terdengar dingin, penuh amarah

Ibu Suri: "Cukup, Bramasta! Cukup sandiwara ini! Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu tentang hubunganmu dengan wanita ini!"

Bintang Senja terkejut mendengar suara ibunya. Ia tidak pernah melihat ibunya semarah ini sebelumnya.

Raja Bramasta: "Kandahar... dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."

Ibu Suri: "Tidak seperti yang kupikirkan? Jadi, apa? Kau ingin mengatakan bahwa kau tidak berselingkuh dengan dayangmu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainul hasmirati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Sebelum Pelarian

Di Kamar Bintang, Beberapa Jam Sebelum Fajar:

Setelah menyusun rencana baru, suasana di kamar Bintang terasa lebih berat. Keheningan bukan lagi sekadar ketiadaan suara, tapi juga ketiadaan kepastian. Mereka bertiga mencoba beristirahat, namun bayangan rencana yang penuh risiko menari-nari di benak mereka.

Gendhis, yang biasanya ceria, kini duduk bersandar di dinding dengan wajah muram.

"Putri," katanya lirih, suaranya nyaris hilang dalam keheningan,

"apakah Putri... pernah menyesali keputusan ini?"

Bintang, yang berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lebar, menoleh perlahan. Sorot matanya menerawang, seolah mencari jawaban di langit-langit kamar.

"Menyesali? Tentu saja pernah, Gendhis. Aku seorang putri, seharusnya hidup dalam kemewahan dan kehormatan. Menikah dengan pilihan kerajaan, meneruskan tradisi. Meninggalkan semua ini... bukanlah hal yang mudah. Ada saat-saat di mana aku bertanya-tanya apakah aku gila."

"Lalu, mengapa Putri tetap melakukannya?" tanya Gendhis, nada suaranya mencerminkan kebingungan yang mendalam.

Bintang bangkit dan duduk di tepi tempat tidur. Ia meraih tangan Gendhis, menggenggamnya erat.

"Karena aku tidak bisa hidup dalam kebohongan, Gendhis. Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak kucintai, menjalani hidup yang telah ditentukan orang lain untukku. Aku ingin mencari kebahagiaanku sendiri, meskipun itu berarti aku harus meninggalkan segalanya. Aku ingin tahu apa yang ada di luar sana, Gendhis. Aku ingin menjadi diriku sendiri."

Dayang Ratih, yang duduk di dekat jendela, menimpali dengan suara lembut namun tegas.

"Putri benar, Gendhis. Kita semua berhak untuk bahagia. Kita tidak bisa membiarkan orang lain mengatur hidup kita. Kita tidak bisa hidup dalam sangkar emas, meskipun sangkar itu berkilauan." Ia menatap Bintang dengan tatapan penuh kasih.

"Aku melihat Putri layu setiap hari, seperti bunga yang tidak mendapatkan sinar matahari. Aku tidak bisa membiarkan itu terus terjadi."

"Tapi, apakah kebahagiaan itu sepadan dengan risiko yang kita ambil?" tanya Gendhis, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kita bisa tertangkap, dihukum berat, bahkan mungkin... kehilangan nyawa."

"Aku tahu, Gendhis," jawab Bintang, suaranya bergetar. Ia memeluk Gendhis erat. "Aku tahu risikonya sangat besar. Tapi, aku percaya bahwa kebahagiaan itu sepadan dengan risiko apa pun. Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan, bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi jika aku berani mengambil langkah ini. Aku lebih baik mati mencoba daripada hidup dalam penyesalan."

Gendhis membalas pelukan Bintang, air matanya mulai mengalir deras. "Aku takut, Putri. Aku takut kita akan gagal."

"Aku juga takut, Gendhis," bisik Bintang. "Tapi, kita akan menghadapinya bersama. Kita akan saling menjaga dan melindungi. Kita tidak akan menyerah."

Gendhis mengangguk, menyeka air matanya. "Aku mengerti, Putri. Aku akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi."

"Terima kasih, Gendhis," kata Bintang, melepaskan pelukannya. Ia menatap Gendhis dengan tatapan penuh kasih. "Aku sangat menghargai dukunganmu. Kalian berdua adalah keluarga bagiku."

Di Lorong Istana, Menjelang Tengah Malam:

Dengan jantung berdebar kencang, Bintang, Dayang Ratih, dan Gendhis menyelinap keluar dari kamar Bintang. Mereka mengenakan pakaian pelayan yang sederhana, berharap dapat menyamarkan diri di tengah kesibukan malam. Lorong-lorong istana tampak sepi dan gelap, namun aura mencekam terasa begitu kuat. Mereka tahu bahwa para penjaga sedang meningkatkan keamanan, mata-mata kerajaan mengintai di setiap sudut.

"Ingat," bisik Bintang, suaranya nyaris tak terdengar, "kita harus tetap tenang dan tidak membuat suara. Jika kita bertemu dengan penjaga, kita harus berpura-pura sedang menjalankan tugas. Jangan sampai kita terlihat mencurigakan."

Mereka berjalan dengan hati-hati, menghindari setiap sudut dan bayangan. Setiap langkah terasa berat, setiap suara membuat mereka tersentak. Mereka harus melewati beberapa pos penjagaan sebelum mencapai taman terlarang, tempat di mana kebebasan menanti.

Saat mereka melewati salah satu pos penjagaan, mereka melihat dua orang penjaga sedang berbicara dengan nada serius. Mereka berhenti dan bersembunyi di balik pilar, jantung mereka berdegup kencang.

"Apakah kau mendengar tentang perintah baru dari Ibu Suri?" tanya salah seorang penjaga, suaranya berat dan penuh kewaspadaan.

"Ya," jawab penjaga yang lain, "Dia mencurigai ada sesuatu yang sedang terjadi di istana. Dia memerintahkan kita untuk meningkatkan keamanan dan mengawasi semua orang. Katanya, ada pengkhianat di antara kita."

"Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi," kata penjaga pertama, "Tapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Aku melihat Dayang Ratih dan Gendhis berjalan terburu-buru tadi siang. Mereka terlihat sangat gugup."

Bintang, Dayang Ratih, dan Gendhis saling pandang dengan cemas. Mereka tertangkap basah. Rencana mereka dalam bahaya besar.

Setelah para penjaga pergi, mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan langkah yang lebih cepat. Mereka harus lebih waspada dan berhati-hati. Waktu semakin menipis.

Di Taman Terlarang, Tengah Malam:

Saat mereka memasuki taman terlarang, mereka merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Udara dipenuhi dengan aroma lembap dan busuk, aroma kematian dan bahaya. Pohon-pohon tua yang menjulang tinggi tampak seperti raksasa yang mengawasi mereka, ranting-rantingnya yang kering mencakar langit malam. Suara-suara aneh terdengar dari kejauhan, membuat bulu kuduk mereka merinding.

"Hati-hati," bisik Bintang, suaranya bergetar. "Jangan sampai kita menginjak jebakan. Taman ini penuh dengan jebakan yang mematikan."

Mereka berjalan dengan hati-hati, mengikuti jalur setapak yang sempit dan berliku. Mereka harus menghindari duri-duri tajam, lubang-lubang tersembunyi, dan sarang-sarang binatang buas. Setiap langkah adalah pertaruhan.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara gemerisik di semak-semak. Mereka berhenti dan melihat sekelompok serigala lapar mengelilingi mereka, mata mereka memancarkan cahaya merah yang menakutkan.

"Serigala!" teriak Gendhis dengan nada ketakutan, tubuhnya gemetar hebat.

Bintang dengan cepat mengambil sebatang kayu yang tergeletak di tanah dan bersiap untuk melawan serigala-serigala itu. Ia berdiri di depan Gendhis dan Dayang Ratih, melindungi mereka dengan tubuhnya.

"Tenang, Gendhis," kata Bintang, suaranya mencoba menenangkan. "Aku akan melindungimu. Kita akan baik-baik saja."

Serigala-serigala itu menggeram dan mencoba menyerang Bintang. Bintang dengan gesit menghindari serangan serigala-serigala itu dan memukul mereka dengan kayu. Serigala-serigala itu terhuyung mundur, tetapi tidak menyerah. Mereka semakin ganas dan lapar.

Dayang Ratih dengan cepat mengambil obor yang ia bawa dan menyalakannya. Ia mengayun-ayunkan obor itu ke arah serigala-serigala itu, membuat mereka takut dan mundur. Api adalah satu-satunya harapan mereka.

"Kita harus cepat pergi dari sini," kata Dayang Ratih, suaranya panik. "Tempat ini terlalu berbahaya. Kita tidak bisa melawan mereka."

Mereka terus berjalan, berusaha untuk keluar dari taman terlarang secepat mungkin. Mereka harus menghadapi berbagai rintangan dan bahaya, tetapi mereka tidak menyerah. Mereka saling membantu dan melindungi, saling memberikan semangat dan keyakinan. Cinta dan persahabatan adalah kekuatan mereka.

1
semangat author 😍
jangan lupa untuk update terus 💪👍
💪 Thor
LyaAnila
Arya, jangan bilang anda diam-diam menaruh rasa dengan putri Bintang ya/Shame//Shame/
LyaAnila
kalau misalkan kamu nggak bahagia coba jujur aja sama perasaanmu. jangan dipendam
sungguh baik sekali buk Mirah ini
musafir berpakaian seperti seorang putri kah?
semangat tor💪
Trà sữa Lemon Little Angel
Wajib dibaca!
Huo Ling'er
iya terimakasih banyak ya jangan lupa mampir terus hehehehehe🤭🙏
Kei Kurono
Keren! Bagus banget ceritanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!