NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: tamat
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial / Tamat
Popularitas:21.9k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29. DIADILI

Pagi itu, Batavia berdenyut dengan suasana yang tidak biasa. Jalanan yang biasanya ramai dengan pedagang dan lalu lalang kuda kini dipenuhi bisik-bisik tentang satu hal: sidang Tabib Aruna.

Di warung kopi para pria membicarakannya dengan wajah muram, di pasar para ibu berbisik sambil menimbang sayuran, dan bahkan anak-anak yang berlarian di jalan menyebut-nyebut nama 'Tabib Aruna' seakan tengah membicarakan tokoh besar.

Gedung Dewan Batavia, tempat para pejabat berkumpul, sekaligus tempat penghakiman sebelum terdakwa dieksekusi, pagi itu bangunan tersebut berdiri kokoh dengan pintu kayu besar terbuka. Serdadu berjaga di kiri-kanan pintu, tombak dan senapan tersemat di bahu. Di halaman depan, orang-orang pribumi dan beberapa Belanda berkumpul, ingin melihat apa yang akan terjadi.

Aruna datang dengan langkah mantap, mengenakan kebaya sederhana berwarna putih gading dan selendang cokelat tua. Rambutnya diikat rapi, wajahnya tenang meski jantungnya berdegup cepat. Ia tidak datang sendiri. Sejumlah orang pribumi yang pernah ditolongnya ikut berjalan di belakang, seperti pagar betis yang tak terucap: tanda bahwa mereka akan berdiri bersamanya.

Saat melangkah melewati kerumunan, bisikan terdengar:

"Itu dia ... Tabib Aruna."

"Dia menolong anakku ... bagaimana bisa dia dituduh seperti itu? Tabib Aruna bukan orang jahat "

"Kenapa ada yang tega menyebarkan fitnah seperti itu kepada Tabib Aruna yang bahkan tidak mengambil uang dari mereka yang tidak punya. Dan tetap mengobatinya."

"Benar sekali."

Aruna tersenyum tipis, sekadar memberi kekuatan pada mereka, meski dirinya tengah memerlukan kekuatan yang sama.

Di dalam gedung, ruang sidang sudah penuh. Meja panjang dipenuhi pejabat Belanda berjas hitam, wajah-wajah mereka dingin, mata tajam seperti sedang menguliti. Di ujung meja, duduklah Cornelis de Vries, dengan senyum sinis yang sulit disembunyikan.

Aruna dipersilakan berdiri di tengah ruangan.

Seorang pejabat bertubuh kurus, yang bertindak sebagai ketua sidang, membuka dengan suara berat.

"Aruna, engkau dipanggil ke hadapan Dewan ini untuk menjawab tuduhan. Pertama, bahwa engkau menyebarkan ramuan berbahaya yang dapat merugikan masyarakat. Kedua, engkau dituduh menghasut kaum budak dengan memberi pengobatan yang tidak seharusnya mereka terima. Apa yang hendak kau katakan sebagai jawaban?" kata sang hakim yang merupakan orang Belanda.

Ruangan hening. Semua mata menatap Aruna. Sang penerjemah pribumi menerjemahkan yang dikatakan oleh hakim ke dalam bahasa Melayu.

Gadis itu menarik napas, lalu berbicara dengan suara yang jelas namun lembut.

"Saya hanyalah seorang tabib yang ingin menolong. Ramuan yang saya berikan berasal dari tanaman yang tumbuh di tanah ini, jahe, sirih, kunyit, madu, semua digunakan dengan ilmu yang saya pelajari. Tidak ada yang saya sembunyikan, tidak ada niat buruk. Jika ada yang merasa dirugikan, saya tidak pernah menutup pintu untuk mendengar keluhan mereka. Mengenai budak, saya tidak membedakan manusia berdasarkan status. Bagi saya, sakit adalah sakit, dan semua berhak mendapat pertolongan," jawab Aruna dalam bahasa Belanda fasih.

Para pejabat terkejut ketika mendengar Aruna bicara dalam bahasa Belanda dengan sangat baik. Hingga bisik-bisik terdengar antara sang pejabat, ada beberapa yang seketika takut karena mereka pernah mendengar rumor bahwa ada satu wanita pribumi yang lancar dalam bahasa Belanda dan Tionghoa, yaitu Nyai milik sang Gubernur. Namun mereka menepiknya, karena tidak mungkin seorang Nyai bisa sepintar itu bahkan sampai menjalankan sebuah rumah kesehatan.

Kata-kata Aruna menggema, membuat beberapa pejabat saling melirik, ada yang tampak goyah, ada pula yang semakin mengeras.

Cornelis tersenyum dingin, lalu bangkit berdiri. Jelas dia tidak akan membiarkan Aruna mengambil alih suasana.

"Kata-kata manis! Tapi bukti lebih penting daripada tutur kata. Aku membawa kesaksian dari beberapa orang yang mengatakan ramuanmu memperburuk keadaan mereka," seru Cornelis.

Ia menepuk tangannya, dan dua orang pria masuk ke ruang sidang. Salah satunya seorang Belanda berwajah pucat, yang mengaku sakit perut setelah meminum ramuan Aruna.

"Lihatlah aku!" katanya lantang. "Aku semakin sakit setelah berobat padanya. Apa itu bukan bukti?"

Aruna menatap pria itu dengan tenang. Ia ingat wajahnya, pedagang Belanda yang keras kepala, yang ia peringatkan agar berhenti makan daging dan asin berlebihan.

"Tuan," ucap Aruna lembut, "saya sudah mengatakan agar Anda mengurangi makanan daging merah dan asin serta minum air lebih banyak. Jika sakit Anda berlanjut, itu karena anjuran saya tidak dipatuhi, bukan karena ramuan saya," jawab Aruna tak gentar.

Ruangan seketika riuh, beberapa orang menahan senyum. Pedagang itu terdiam, wajahnya memerah, namun Cornelis segera menepuk pundaknya dan menyuruhnya mundur.

Kemudian Cornelis memanggil seorang budak dengan wajah penuh ketakutan.

"Katakan, apakah Tabib Aruna tidak pernah menyuruhmu melawan tuanmu?"

Budak itu gemetar. Ia menoleh pada Aruna, lalu pada Cornelis. Napasnya memburu. Namun akhirnya ia menggeleng pelan.

"Tidak, Tuan. Tabib Aruna hanya mengobati luka saya. Ia bilang saya harus menjaga diri, tapi tidak pernah menyuruh saya melawan siapa pun," jawab sang budak.

Cornelis terperangah. Wajahnya menegang, lalu ia membentak. "Kau berbohong! Kau takut padanya!"

Namun suara dari kerumunan di luar gedung tiba-tiba bergema, terdengar sampai ke dalam ruang sidang:

"Tabib Aruna tidak bersalah!"

"Hidup Tabib Aruna!"

"Tabib Aruna orang baik!"

Sorak-sorai itu semakin keras, bagai ombak menghantam dinding. Serdadu di luar berusaha menenangkan kerumunan, namun suara rakyat tak terbendung.

Suasana ruang sidang itu semakin menegang, seakan udara di dalamnya membeku. Semua mata tertuju pada sosok Aruna yang berdiri tegak di tengah ruangan, meski jelas sorotan mata penuh tuduhan menusuk kulitnya bagai jarum halus yang tak terlihat. Bisikan-bisikan tajam bergulir di antara barisan kursi kayu panjang, berbaur dengan aroma keringat dan parfum mahal para pejabat Belanda yang hadir.

Cornelis berdiri dengan penuh kemenangan semu, senyum dingin menghiasi wajahnya. Dengan suara lantang ia kembali menuding,

"Perempuan ini bukanlah tabib sejati! Dia hanya penyihir yang menyamarkan dirinya sebagai penolong. Bukankah aneh, tuan-tuan, seorang gadis pribumi bisa menyembuhkan penyakit yang bahkan tabib resmi Belanda pun tak kuasa mengatasinya?" fitnah ia sebar bagai racun, tak ingin kalah dengan klarifikasi Aruna dan juga saksi tak berguna tadi.

Sorakan kecil terdengar dari sebagian pihak yang sudah sejak awal membenci Aruna. Tetapi di sudut lain, beberapa pribumi yang pernah merasakan pertolongan Aruna menggertakkan rahang, berusaha menahan diri agar tidak bersuara.

"Bukti?" tanya hakim pengadilan kolonial dengan suara berat, matanya menelisik tajam. "Bukankah saksi tadi jelas tidak mengatakan kalau Aruna dalam posisi bersalah."

Cornelis tersenyum licik. Ia mengangkat sebuah kotak kayu kecil, lalu membukanya di hadapan semua orang. Dari dalam kotak itU ia mengeluarkan beberapa botol kaca berisi cairan berwarna pekat.

“Lihatlah! Inilah yang ditemukan di tempat praktek perempuan ini. Ramuan-ramuan asing, yang jelas-jelas tidak dikenal dalam pengobatan Belanda. Bukankah ini lebih mirip racun daripada obat?” seru Cornelis.

Suara riuh mulai memenuhi ruangan. Seorang pejabat Belanda lain menutup hidungnya seakan jijik. "Tuhan, siapa yang tahu apa yang ia berikan kepada orang-orang tak berdaya itu? Mungkin inilah cara ia mengikat pengaruh, membuat mereka tergantung padanya dengan ramuan berbahaya itu."

Aruna menatap tajam, berusaha mengendalikan gejolak amarah dalam dadanya. Ia tahu betul botol-botol itu adalah ekstrak herbal yang ia olah dengan cermat, bahkan banyak pasiennya yang telah membaik karena itu. Namun mendengar fitnah itu, ia hanya mampu menahan napas panjang.

"Omong kosong," ucap Aruna akhirnya, suaranya gemetar namun penuh keteguhan. "Itu adalah ramuan herbal yang berasal dari tanaman-tanaman obat. Tidak ada racun di dalamnya! Jika memang itu berbahaya, mengapa pasien-pasien saya sembuh, bukan mati?"

Cornelis mendengus, kemudian melangkah maju dengan segenggam kertas. "Dan bagaimana dengan ini? Saksi-saksi yang menyatakan bahwa ada budak jatuh sakit parah setelah diberi obat dari tanganmu!"

Ia menunjuk seorang pria kurus yang duduk di barisan saksi. Wajah pria itu pucat, matanya gelisah, seakan ketakutan oleh sesuatu.

Dengan suara bergetar, budak itu berkata, "I-iya ... setelah meminum ramuan dari nona itu ... aku jatuh sakit."

Keributan kembali pecah. Beberapa pejabat mengangguk-angguk, merasa fitnah Cornelis semakin kuat.

Aruna menatap saksi itu dengan getir. Ia mengenali pria tersebut, seorang budak yang pernah ia tolong. Namun, dari sorot matanya, jelas ada ketakutan mendalam. Ia tahu, saksi itu dipaksa, mungkin diancam. Tidak seperti budak yang menjadi saksi sebelumnya. Entah apa yang Cornelis lakukan pada budak kali ini sampai mau berbohong sebagai saksi.

"Tidak,'" suara Aruna meninggi. "Aku menolongnya. Kau datang dengan demam yang sudah berhari-hari, dan setelah pengobatan, kau membaik. Mengapa kini kau berkata sebaliknya? Apa kau dipaksa untuk mengatakan kebohongan? Tidak masalah, aku tahu posisimu yang tidak bisa melawan."

Saksi itu menunduk, bibirnya gemetar, tapi ia tidak berani menjawab. Cornelis justru menepuk pundaknya, seolah memberikan dukungan palsu.

Hakim mengetukkan palunya, "Tenang! Semua tenang!" Namun justru ketegangan semakin memuncak.

Cornelis lalu menambahkan, "Tuan Hakim, bukankah sudah jelas? Perempuan ini menipu semua orang. Ia mengaku sebagai tabib, namun sejatinya ia hanya membawa kebohongan. Ia mengikat hati orang-orang dengan tipu daya, dan sekarang bahkan mulai meraih pengaruh besar. Apakah kita, sebagai penguasa sah Batavia, akan membiarkan seorang pribumi merusak tatanan dengan kebohongan semacam ini?"

Kata-kata itu bagai pisau. Beberapa pejabat mengangguk setuju. Bisikan penuh kebencian makin deras. Aruna berdiri di tengah badai tuduhan itu, dadanya sesak, matanya berusaha menahan air yang hampir jatuh. Bukan karena takut akan posisi dirinya, tapi karena posisi para saksi yang dipaksa untuk berbohong.

Namun tiba-tiba, pintu ruang sidang berderit keras terbuka. Suara langkah berat terdengar, memecah hiruk-pikuk ruangan. Semua kepala menoleh.

Sosok tinggi besar memasuki ruangan, mantel panjangnya bergoyang, wajahnya dipenuhi murka yang tak lagi disembunyikan.

"Gubernur?!" bisik seseorang dengan nada tercekat.

Sang gubernur berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan dengan sorot tajam. "Cukup!" suaranya menggelegar, membuat semua orang terdiam. "Aku sudah mendengar cukup banyak omong kosong hari ini."

Cornelis yang semula begitu percaya diri mendadak kaku, wajahnya memucat. Aruna menoleh, dadanya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya sejak fitnah itu dimulai, ia merasa ada secercah cahaya yang datang menyelamatkannya.

1
Jelita S
sampe GK bsa nafas aku Thor saking sedihnya😭😭😭😭😭
Archiemorarty: Aduhduh...sedih banget kah bab ini /Cry/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
massa sih sudah tamat thorrr😭😭😭😯😯😶😶😶
Archiemorarty: Sudah selesai kakak 🥰
total 1 replies
gaby
Smoga segere naik ke jenjang pernikahan & awet sampai maut memisahkan. Jangan kaya org jaman Now, pacarannya lama bgt, nikahnya cm seumur jagung. Ada jg yg pacaran bertahun2 tp nikahnya sm yg lain/Grin//Grin/
Ai Emy Ningrum: pacaran bertahun-tahun tp nikah nya sama yg lain..jagain jodoh org itu mah jd nya 😋
total 1 replies
Ita Xiaomi
Menegangkan. Benar-benar di bawah tekanan situasi.
gaby
Lukisan inilah jawaban atas bab 1. Yg mana ada wanita tua keturunan Eropa yg menyebut Aruna mirip denganNya. Ternyata maksud dr Dengannya adalah mirip wanita dlm lukisan tua berumur 2abad
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑: iya benar baru ingat aku 😯😯😭
total 2 replies
Ita Xiaomi
Terharu.
Ita Xiaomi
Aku ikut deg-degan berasa ikut ada di sana.
gaby
Kira2 hal apa aja yg di alami Vander ketika di tarik kembali ke Eropa di jaman dulu?? Umur brp Vander wafat?? Ksian kalo wkt itu Vander wafat di usia tua, brarti dia ngerasain penderitaan dtinggal Aruna lama bgt. Kalo Aruna mah enak, cm beberapa bln bangkit dr koma, langsung ketemu Vander lg
Archiemorarty: Di sejarah aslinya Van der meninggal diusia 65 tahun
total 1 replies
gaby
Kalo Alexander bukan di tarik waktu tp bereinkarnasi, brarti Vander yg di jaman dulu nikah dgn wanita lain lalu pny anak dong lalu beranak pinak hingga ke zaman Aruna. Apakah Vander mencintai istrinya di zaman itu??
Archiemorarty: Konsep reinkarnasi banyak kakak, ada yang kayak kakaknya bilang, di cina juga ada reinkarnasi yang dikelahiran selanjutnya mereka nggak ada sangkut pautnya sama diri mereka sebelumnya, bahkan ada yang jadi hewan. Reinkarnasi itu tentang jiwa yang terlahir kembali di tubuh yang baru dan nggak selalu terikat ada hubungan darah, kurang lebih begitu kak 🥰
total 3 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh cerita kan Van der di masa lalu dong 😭😭
gaby: Stuju
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
ah gimana gimana, Van der ke masa depan kah?
gaby
Y ampuun nggantungnya tepat banget di bagian yg bikin penasaran. Siapa tuh td di bagian terakhir/Sob//Sob/
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
bagaimana keadaan Van der dan Batavia ya 😭😭
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
nangis banget aku baca nya 😭😭, se cinta itu Van der terhadap Aruna😭😶
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
huuuuwaaaaaaa Aruna 😭😭😭😭, kesihan Van der 😭😭😶😶
Archiemorarty: pas nulisnya juga othor nangis /Cry/
total 1 replies
gaby
Kasian Van der, kalo Aruna mati seenggaknya dia bisa mengantarnya sampai pemakaman & berkunjung ke makan setiap saat. Tp kalo Aruna menghilang, apa yg mau di kenang?? Aruna ga meninggalkan keturunan buat menemani Vander. Bahkan sekedar poto pun buat kenangan ga ada
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
huwaaaaa Arunaaa😭😭😭😭
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
apakah mereka akan berpisah? 😭😭😶
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
sedih banget baca nya 😭😭
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
sedih banget baca nya 😭😭😭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!