Niat hati hanya ingin membalas perbuatan sepupunya yang jahat, tetapi Arin justru menemukan kenyataan yang mengejutkan. Ternyata kemalangan yang menimpanya adalah sebuah kesengajaan yang sudah direncanakan oleh keluarga terdekatnya. Mereka tega menyingkirkan gadis itu demi merebut harta warisan orang tuanya.
Bagaimana Arin merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nita kinanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Bekas Luka
Fatma melangkah dengan cepat menghampiri Arin yang sedang mengelap meja agar terlihat mengkilap, atas perintah Murni. Sementara perempuan itu hanya berdiri mengawasi, memastikan Arin mengerjakan pekerjaannya dengan benar.
Sejak bangun tidur tadi, ada saja pekerjaan yang harus Arin kerjakan. Murni tidak rela melihat Arin istirahat barang sebentar saja. Karena itu, setiap Arin selesai melakukan sesuatu, Murni langsung memberinya pekerjaan baru.
"Tolong buatkan aku kopi!" titah Fatma, mengibaskan tangannya menyuruh Murni pergi.
"Baik, Nyonya." Murni mengangguk kemudian menuju dapur.
Wajah Fatma terlihat tegang. Dia sangat marah setelah mendengar cerita Tania, jika semalam Arin menjambak rambutnya. Akibatnya sekarang putri tercintanya itu merasa pusing dan tidak enak badan.
Fatma mendorong Arin dengan kasar hingga dia tersungkur. "Berani-beraninya kamu bertingkah selama tinggal di rumahku! Memangnya siapa kamu sampai berani menyakiti putriku?!"
Arin berbalik. Dia menatap Fatma yang berdiri di hadapannya dengan mata menyala penuh amarah.
"Aku baru sekali menyakiti Tania, dan reaksi tante seakan-akan aku sudah melakukan penganiayaan berat kepadanya. Sementara kalian sudah bertahun-tahun menyakitiku, tapi aku diam saja," jawab Arin tenang.
"Tadi siang saja tante menjambak rambutku, aku biasa saja. Kenapa sekarang tante marah karena aku menjambak rambut Tania?"
Fatma semakin marah. Dia tidak tahu dari mana Arin mendapatkan keberanian hingga sekarang berani melawannya.
"Aku tidak pernah menyakitimu! Itu semua terjadi karena memang sudah takdirmu menjadi orang miskin!"
"Dulu sebelum menikah dengan Om Pandu juga tante miskin. Ayah tante seorang kuli bangunan dan ibu tante seorang buruh cuci. Tapi keluarga papaku tidak ada yang berbuat jahat pada tante!"
"Hanya kakek saja yang tidak bisa menerima tante dan sekarang aku tahu alasannya. Mungkin dari awal kakek sudah tahu sifat buruk tante."
Fatma mengepalkan tangannya, wajahnya merah padam. Dia mengangkat tangannya lalu menampar pipi Arin hingga meninggalkan bekas merah.
"Lancang sekali mulutmu bicara! Kamu tidak tahu apa-apa!" ucapnya.
"Siapa bilang aku tidak tahu apa-apa? Kakek menceritakan padaku semuanya, ketika dia masih ada. Dia tahu sebenarnya tante mengincar papa karena papa adalah pewaris utama, tapi sayangnya papa sama sekali tidak tertarik pada perempuan penggoda seperti tante!"
Fatma benar murka. Dia tidak terima disebut perempuan penggoda oleh Arin yang dia pikir tidak tahu apa-apa. Fatma kembali melayangkan tamparan ke pipi Arin, bahkan lebih keras dari sebelumnya.
Arin tidak menangkis tamparan itu. Dia bahkan seperti sengaja menyulut emosi Fatma.
"Kira-kira keluarga Gama tahu tidak asal usul calon besannya?"
"Awas saja kalau kamu berani macam-macam, aku tidak akan segan-segan melemparmu ke jalanan!" ancam Fatma.
"Aku sudah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan, apa tante pikir ancaman seperti itu akan membuatku takut?"
Justru akulah yang akan melempar kalian ke jalanan! lanjut Arin dalam hatinya.
"Ini kopinya, Nyonya." Murni datang kembali dan menyodorkan secangkir kopi yang baru selesai diseduh. Fatma menerima cangkir itu dengan mata yang tak terlepas dari Arin sedetik pun. Tatapannya menunjukkan kemarahan dan kebencian yang sangat besar.
"Letakkan tanganmu di atas meja!" perintah Fatma pada Arin.
Arin terlihat bingung, tidak mengerti maksud Fatma.
"Cepat lakukan!" bentak Fatma. Arin pun melakukan perintah Fatma. Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, seperti seorang murid yang akan diperiksa kukunya.
Tiba-tiba saja, Fatma menuangkan secangkir kopi yang baru saja dia terima ke atas tangan Arin.
Arin hampir mejerit. Dia segera menarik tangannya dan mengibas-ngibaskannya agar rasa panasnya berkurang. Dia benar-benar tidak menduga Fatma akan melakukan itu kepadanya.
"Aku bisa melakukan apapun kepadamu, anak manja! Jadi mulai sekarang, jaga sikapmu dan hormati aku!" ucap Fatma lalu melempar bekas cangkir yang dia pegang hingga pecah.
"Suruh dia membersihkan pecahan cangkir itu! Pastikan dia tahu posisinya di rumah ini hanya sebagai babu!" ucap Fatma kemudian pergi.
"Kamu dengar itu, anak tidak tahu diri?! Bersihkan serpihan-serpihan itu! Tidak ada waktu untuk meratapi tanganmu!" ucap Murni ikut-ikutan pergi.
Arin mengabaikan perintah Murni. Dia sibuk meniup-niup punggung tangannya yang terasa sangat panas dan mulai terlihat melepuh.
Arin tidak sudi memunguti serpihan-serpihan cangkir itu. Dia pergi ke kamar mandi untuk membasuh tangannya di air yang mengalir agar rasa panasnya berkurang.
Selesai membasuh tangannya, Arin lalu pergi ke kamarnya. Tepat di saat yang bersamaan, handphone Arin bergetar.
Ken mengirim pesan yang berisi kalau mereka harus bertemu karena ada sesuatu yang Arin harus tahu.
* * *
Arin pergi ke rumahnya. Dia dan Ken berjanji untuk bertemu di rumah dimana dia dulu tinggal.
Rumah ini memang sangat sederhana, tapi Arin justru merasakan kenyamanan di sana dibandingkan tinggal di rumah Laksmana.
Arin merentangkan tubuhnya di atas sofa. Ini terasa sangat nyaman setelah dua hari tinggal di rumah Laksmana dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya.
Semalam dia tidur larut, dan subuh tadi Arin sudah bangun karena Murni menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah. Arin merasa ngantuk dan sangat lelah hingga akhirnya dia ketiduran.
Beberapa saat kemudian...
Arin menggeliat. Dia membuka matanya dan terkejut melihat Ken sudan duduk di sofa di depannya. Entah sejak kapan laki-laki itu berada di sana.
"Bagaimana kamu masuk?" Arin gelagapan segera duduk dan membenahi posisinya.
"Lewat pintu," jawab Ken acuh.
"Maksudku, bagaimana kamu bisa masuk? Pintunya sudah aku kunci."
"Kuncinya rusak, siapa saja bisa masuk dengan mudah. Sebaiknya segera kamu perbaiki atau kamu ganti yang baru."
"Oh... " Hanya itu yang keluar dari mulut Arin. Dia kembali merasa canggung.
"Tanganmu kenapa?" tanya Ken yang memperhatikan gadis itu sejak dia masih terlelap.
"Tidak kenapa-kenapa," jawab Arin menyembunyikan punggung tangannya yang merah dan kini sudah terlihat melepuh.
Ken maju, menarik paksa kedua tangan Arin lalu mengamatinya. "Ini luka baru, kan? Apa mereka yang melakukan itu?"
Sebagai seorang pengacara, Ken sudah berpengalaman menghadapi banyak kasus kekerasan. Dia tahu persis penyebab luka melepuh di tangan Arin.
Arin tidak menjawab. Dia berusaha menarik kembali tangannya tapi Ken memegangnya dengan kuat dan tidak mau melepaskannya.
Ken membalik tangan Arin hingga kini telapak tangannya yang terlihat. Dia ingin memastikan ada luka lainnya atau tidak, tapi yang Ken temukan adalah sebuah garis, bekas luka sayatan di pergelangan tangan kiri Arin.
Ken mengusap bekas luka itu dengan ibu jarinya. Tanpa bertanya pun Ken tahu bekas luka itu karena apa. Itu adalah bekas luka sayatan karena percobaan bu*uh di*i. Tidak mungkin dugaannya salah.
Mungkinkah Arin mencoba mengakhiri hidupnya karena kejadian malam itu?
"Rin... Ini... ?"