NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:248
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kondisinya Kritis

Mobil melaju kencang di jalanan malam. Lampu kota berkelebat di kaca depan, sementara Nadine menggenggam setir erat-erat dengan wajah penuh amarah.

“Dari dulu selalu kamu, Yun!” Bentaknya sambil menekan pedal gas semakin dalam.

“Papi lebih percaya sama kamu, pak Haris lebih pilih kamu, bahkan orang-orang yang baru ketemu pun selalu menyukai kamu! Aku? Aku cuma bayangan! Apa kamu pernah peduli sama aku?!”

“Kak Nadine, tolong pelankan mobilnya!” Yuna panik, tangannya menggenggam sabuk pengaman.

“Ini bahaya! Kita bisa celaka!” Jantungnya berdetak cepat, tubuhnya tegang.

Tapi Nadine seolah tuli. Mulutnya terus nyerocos, kalimat demi kalimat meluncur tanpa henti. Mobil semakin melesat, meninggalkan deru ban di atas aspal.

“Kalau saja kamu ma*ti… mungkin aku bisa bahagia! Semua orang nggak akan selalu membandingkan aku denganmu!” Nadine menoleh sebentar, tatapannya penuh kebencian.

“Aku benci kamu, Yun!”

Tiba-tiba, ketika mereka memasuki sebuah terowongan panjang, suara klakson meraung keras dari arah berlawanan. Sebuah motor oleng, pengendaranya kehilangan kendali, meluncur liar ke arah mobil mereka.

“Kak! Awas!!” Teriak Yuna.

Dalam sepersekian detik, naluri membuat Yuna bergerak. Ia meraih setir, menariknya ke kiri dengan paksa.

“Aaaakkkkkhhhh!!” Nadine menjerit terlambat.

BRAAAAKKK!!!l

“Mas Rizal….” Lirih Yuna terputus-putus, napasnya terengah.

Disaat seperti ini hanya nama itu yang terbayang di pikirannya.

Nafas Yuna berat, matanya setengah terbuka.

Benturan keras mengguncang seluruh tubuh mobil. Dentuman logam beradu dengan beton membuat suara memekakkan telinga. Dalam sekejap, kaca pecah berhamburan, serpihannya beterbangan seperti hujan pisau.

Tubuh Nadine yang tidak sempat mengencangkan sabuk pengamannya, terpental keras ke arah pintu kanan. Kaca jendela pecah dan dengan hentakan brutal, tubuhnya terlempar keluar, menghantam aspal terowongan beberapa meter dari mobil. Jeritan tertahan pecah di udara sebelum ia kehilangan kesadaran.

Sementara itu, Yuna, yang masih terkunci sabuk pengamannya, tidak bisa ke mana-mana. Tubuhnya terguncang hebat, kepalanya menghantam dashboard dengan keras. Mobil berputar sekali sebelum menabrak dinding terowongan. Pintu sisi kirinya remuk parah, menekan tubuhnya hingga terjepit.

“Arghhh…!” Yuna mengerang, napasnya terputus-putus.

Dadanya terasa sesak, serpihan kaca menempel di wajah dan lengannya. Ia sempat melihat lampu mobil lain berhenti panik dari kejauhan sebelum penglihatannya mulai berkunang-kunang.

Asap tipis keluar dari kap mesin, bau bensin tercium menusuk hidung. Orang-orang yang melintas langsung berhenti, menjerit histeris.

“Cepat! Ada korban kecelakaan!”

“Satu orang terlempar keluar!”

“Yang di dalam terjepit, cepat hubungi ambulans!”

Beberapa pengendara berlari ke arah Nadine yang tergeletak tak bergerak dengan darah mengalir di pelipisnya. Dua orang lainnya mencoba mendekat ke sisi kiri mobil, namun pintu sudah hancur, menyulitkan siapa pun untuk menarik Yuna keluar.

“Bertahan, Nona! Tolong bertahan!” Teriak seorang pria sambil menepuk-nepuk kaca.

Yuna membuka mulutnya pelan, darah menetes dari sudut bibirnya. Suaranya hampir tak terdengar.

“Tolong… Nadine…”

Dirinya sudah tidak berdaya tapi masih sempat mementingkan orang lain.

Matanya mulai tertutup, kesadarannya meredup, sementara sirene ambulans yang dipanggil mulai meraung dari kejauhan, memecah malam dengan bunyi yang semakin mendekat.

*****

Kamar itu semula tenang, hanya terdengar suara lembaran kertas yang tengah Rizal pegang, selama sakit dia tetap bekerja. Sampai akhirnya Kevin masuk, wajahnya pucat.

“Pak… saya baru dapat kabar. Nona Yuna… beliau kecelakaan bersama Nona Nadine. Kondisinya kritis.”

Rizal tersenyum miris, seperti menertawakan lelucon hambar.

“Hah… lucu banget, Kev. Kamu belajar bercanda dari siapa? Dari mas Arif?”

Tak ada jawaban. Kevin hanya menunduk. Bram dan Wika yang ikut berdiri di samping ranjang pun menatap anaknya dengan mata berkaca.

“Rizal…” Suara Bram bergetar.

“Ini bukan lelucon. Papa… Papa awalnya juga nggak percaya...”

Sekujur tubuh Rizal mendadak kaku. Tawa kecilnya lenyap, diganti dengan wajah yang semakin pucat. Ia menoleh ke ibunya, mencari pembelaan, berharap Wika membantah. Tapi Wika hanya menangis, menutup mulutnya dengan tangan, tak kuasa mengucap kata.

“Nggak… nggak mungkin…” Rizal menggeleng pelan, suaranya serak.

"Kalian bohong kan? Kalian pasti salah orang kan?”

Tangannya meraba selang infus di pergelangannya. Degup jantungnya terasa terlalu keras sampai menyakitkan.

“Aku harus ke sana… aku harus lihat sendiri. Yunaaa…”

“Rizal, tunggu dulu! Sayang kondisimu belum...” Wika mencoba menahan.

Tapi Rizal sudah mencabut selang infusnya dengan kasar. Cairan darah langsung merembes keluar, menetes ke kasur putih dan membuat semua orang di ruangan panik. Kevin berlari mengambil tisu, sementara Bram berusaha menahan tubuh anaknya yang oleng.

“Lepas, Pa! Aku nggak bisa diam di sini sementara Yuna… Yuna sendirian di sana!” Rizal meraung, air matanya akhirnya jatuh, deras, tak tertahan.

“Kalau dia sakit, kalau dia ketakutan… aku harus ada di sisinya. Aku udah janji nggak akan ninggalin dia!”

Wika langsung memeluk putranya yang gemetar.

“Sayang… Mama tahu kamu sayang sama dia. Tapi tolong, jangan sakiti dirimu sendiri begini…”

Rizal jatuh terduduk di pelukan ibunya, tubuhnya lemas tapi matanya tetap menyala penuh tekad.

“Aku nggak peduli kondisiku… yang penting aku harus ketemu Yuna… Aku cuma mau pastikan dia baik-baik aja.”

*****

Lorong menuju ruang operasi terasa menyesakkan. Lampu merah di atas pintu masih menyala, tanda Yuna sedang ditangani tim medis.

Indra baru saja tiba. Jasnya masih melekat, tapi kancing baju dalamnya terbuka, dasinya terlepas begitu saja. Napasnya memburu, wajahnya pucat, matanya penuh kecemasan.

“Mana Yuna?! Bagaimana keadaan anak saya?!” Suara Indra pecah, penuh panik.

Di kursi tunggu, Nike, sepupu almarhumah Pitaloka, terlihat duduk dengan tangan saling meremas. Wajahnya pucat pasi, mata sembab. Di sampingnya ada suaminya, berusaha menenangkan dengan tepukan lembut di bahu.

“Haris…” Indra langsung menghampiri Haris, nadanya getir.

“Katakan, apa yang terjadi sama Yuna?!”

Mendengar suara Indra, Nike mengangkat kepala, air matanya menetes lagi.

“Indra… Kata dokter Yuna patah tulang paha. Pecahannya melukai pembuluh darah besar. Ada perdarahan aktif. Dokter harus operasi segera…”

Indra terhuyung, hampir jatuh kalau saja suami Nike tidak sigap menahan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Ya Tuhan… Yuna…”

Saat itu, langkah tergesa mendekat. Hangga baru kembali setelah berganti pakaian. Wajahnya tegang, mata merah karena menahan emosi. Begitu melihat Indra, ia langsung menghampiri.

“Om Indra…” Suaranya serak.

“Aku tahu kondisinya berat… tapi mereka sedang berusaha hentikan perdarahannya.”

Indra menoleh cepat, matanya merah, penuh amarah bercampur putus asa.

“Kenapa bisa begini? Kenapa dia bisa sampai celaka begini?!”

Hangga terdiam, rahangnya mengeras. Ia menggenggam tangannya begitu erat sampai buku-bukunya memutih. Dalam hatinya, ada rasa bersalah, ada rasa takut, juga ada rasa yang tak pernah ia ucapkan tentang Yuna.

Haris menepuk punggung Indra, berusaha menenangkan meski dirinya sendiri gemetar.

“Indra… Yuna kuat. Dia darah daging Pitaloka. Ingat, dia selalu berjuang sampai akhir. Yuna pasti mewarisi semangat itu.”

Hening sejenak, hanya suara hujan deras di luar jendela rumah sakit yang terdengar. Suasana mencekam, seakan seluruh lorong menunggu kabar dari balik pintu operasi yang tertutup rapat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!