“Tuhan, bila masih ada kehidupan setelah kematian, aku hanya ingin satu hal: kesempatan kedua untuk mencintainya dengan benar, tanpa mengulang kesalahan yang sama...."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.23 -Rasa Iri
Kontras dengan kehangatan yang dirasakan Daisy dan Damian, Ivana duduk di balkon hotelnya. Angin malam yang sejuk tak mampu meredam amarah yang menggelegak di dadanya. Matanya terpaku pada layar ponsel—status yang baru saja dibagikan Damian membuat hatinya terbakar.
“Kurang ajar…” desisnya pelan, rahangnya mengeras.
Ia baru saja hendak meletakkan ponsel ketika sebuah panggilan masuk. Nama Amora terpampang di layar. Ivana menghela napas berat, lalu menekan tombol hijau.
“Ma, ada apa?” suaranya terdengar datar.
“Syukurlah kamu angkat telpon Mama,” ujar Amora lega. “Kamu di mana, nak?”
“Aku di Bali, Ma. Lagi ketemu klien,” Ivana berbohong tanpa ragu.
“Benar?” Nada Amora terdengar ragu.
“Iya, Ma. Jangan khawatir. Aku baik-baik saja.”
Hening sejenak, lalu terdengar suara lembut dari seberang.
“Baiklah. Hati-hati ya, Ivana. Mama sayang kamu.”
Kelopak mata Ivana bergetar, tapi ia buru-buru membalas lirih, “Aku juga, Ma.”
Panggilan terputus. Ponsel masih tergenggam erat di tangannya, seakan benda itu bisa pecah kapan saja jika diremas lebih kuat. Ia menatap langit malam yang bertabur bintang, namun tidak ada sedikit pun ketenangan yang hinggap di hatinya.
Kegelisahan itu terus menggerogoti. Hatinya tak bisa berhenti membandingkan.
“Kenapa?” bisiknya lirih. “Kenapa aku tidak seberuntung Daisy?”
Ingatan pahit menyeruak—tentang ayahnya yang pergi bersama wanita lain, tentang tuntutan dan ekspektasi yang menjerat sejak kecil. Semua itu menorehkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
“Sedangkan Daisy…” kalimatnya menggantung. Suaranya tercekat, penuh amarah sekaligus putus asa.
Tangannya semakin erat menggenggam ponsel, hingga buku jarinya memutih. Tatapannya kosong, namun penuh benci. Benci pada nasibnya, benci pada bayangan kebahagiaan yang seolah hanya berpihak pada Daisy.
Malam semakin larut, dan di dalam hati Ivana, api iri terus membara.
*
*
*
Keesokan paginya, Daisy dan keluarganya menikmati hangatnya mentari di tepi pantai. Suara ombak berpadu dengan tawa kecil mereka. Bahkan Vio, bayi mungil itu, tampak begitu gembira ketika duduk di atas pasir, tangannya sibuk meraup dan memainkannya.
"Vio, jangan dimakan!" pekik Daisy panik saat melihat buah hatinya hendak memasukkan pasir ke mulut.
Vio terkejut, matanya langsung berbinar basah, bersiap meledak dengan tangis. Namun sebelum suara itu pecah, Damian sigap mengangkatnya. Dengan suara lembut, ia mengalihkan perhatian sang putri kecil.
"Astaga, aku sampai kaget, Mom," ucap Daisy sambil mengusap dada.
Jasmin hanya menggeleng pelan, tersenyum melihat kerepotan anak dan menantunya. Tak lama, Niklas datang membawa dua mangkuk bubur ayam hangat—menu kesukaan Daisy dan Jasmin. Di belakangnya, seorang pelayan hotel menyusul dengan nampan berisi makanan khas Bali untuk mereka semua.
"Terima kasih," ucap Niklas ramah.
"Sama-sama," balas pelayan itu sebelum berlalu.
"Damian, ayo sarapan dulu," panggil Niklas sambil menatap menantunya yang masih sibuk menenangkan Vio.
"Sini sayang, aku yang suapin," Daisy menepuk sisi kursinya, menarik Damian untuk duduk dekat dengannya.
Momen kecil itu begitu sederhana, namun terasa penuh kehangatan.
Namun di kejauhan, dari balik balkon hotel, Ivana berdiri dengan tatapan menusuk. Kedua tangannya terkepal erat, dadanya dipenuhi rasa iri yang kembali membakar.
"Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia," gumamnya penuh dendam.
Ia menatap layar ponselnya, membuka kembali beberapa pesan lama yang belum pernah ia hapus. Bibirnya tersungging tipis, senyum penuh siasat.
"Kalau cara halus tidak berhasil, aku akan gunakan cara lain. Kalian tidak tahu siapa yang sedang kalian hadapi."
Angin laut pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah ikut menjadi saksi lahirnya rencana baru yang kelam.
*
*
Sementara itu, di tempat yang berbeda, suasana rumah kecil Larasati jauh dari kata tenang. Di meja makan sederhana yang penuh dengan tumpukan tagihan, Larasati menghela napas berat. Matanya lelah menatap angka-angka yang terus menjerat.
“Mas, lakukan sesuatu, jangan diam saja,” ucap Larasati dengan nada kesal, menatap suaminya yang duduk di seberang.
Sakti, pria paruh baya dengan wajah kusut, menunduk. “Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah berikan semua uang yang ku punya padamu. Laras, memangnya aku masih ada uang lagi?”
Nada pasrah itu membuat dada Laras semakin sesak. Ia membanting berkas tagihan ke meja dengan kasar. “Selalu begitu jawabannya! Kau kira aku tidak ikut lelah? Setiap hari mikirin bagaimana caranya bayar listrik, air, sekolah, makan! Aku kira menikah denganmu akan membuat hidupku nyaman, tapi ternyata cuma mimpi!”
Sakti terdiam, menatap wajah istrinya yang penuh kemarahan. Sesaat ia ingin membela diri, tapi kata-kata itu seperti terhenti di tenggorokan. Memang benar, hidup mereka jauh dari kata cukup. Apalagi setelah ia diturunkan jabatannya, semua semakin sulit.
Dulu, saat mereka masih pacaran, Sakti bisa memberikan segalanya. Kado, liburan, makan di restoran mewah—semua Laras dapatkan. Tapi sekarang? Untuk sekadar membeli bakso di pinggir jalan, ia harus menunggu uang sisa dari gaji bulanan yang bahkan tak pernah cukup.
“Sial!” geram Laras, menunduk sambil menahan air mata yang mulai menggenang.
Keheningan menyelimuti ruangan beberapa detik sebelum Laras menatap Sakti lagi, kali ini dengan tatapan tajam.
“Mas… coba kau datangi anakmu itu. Ivana. Aku dengar dia baru saja buka kafe. Dan mantan istrimu, Amora, juga masih bekerja. Paling tidak… dia bisa bantu kita sedikit.”
Sakti terperanjat, wajahnya berubah kaku. “Kau mau aku datang pada Ivana? Minta uang pada anakku sendiri? Tidak, Laras. Aku sudah terlalu banyak salah pada dia.”
“Kenapa diam?” Laras menekan dengan suara tajam.
Sakti menunduk, suaranya lirih namun terdengar jelas. “Tidak ada… kamu tahu sendiri aku tidak pernah memberikan nafkah untuk anakku. Ivana.”
Hening seketika menyelimuti ruangan. Laras menatap suaminya dengan pandangan yang sulit diartikan—antara iba dan marah bercampur jadi satu.
“Justru karena itu, Mas. Kau harus bicara dengannya. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Sampai kapan kau terus hidup dengan rasa bersalah? Kita butuh dia… dan kau tahu itu.”
Sakti terdiam lagi, pikirannya kalut. Nama Ivana menggema dalam kepalanya, bersama wajah putrinya yang selama ini ia hindari. Rasa bersalah yang ia pendam semakin menyesakkan dada.
Bersambung ....