NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 29

“Ini semua karena anak itu!” serunya lagi, “Kalau bukan karena Miera, kamu…”

Dia menunjuk Ustadz Yassir, “nggak akan nolak Aisyah mentah-mentah!”

Pak Mahmud berdiri cepat. “Rahma, jaga ucapanmu. Kamu sedang bicara di depan anak-anak!”

Tapi Bu Rahma makin menjadi. Ia melangkah maju dengan sorot mata liar.

“Empat tahun perempuan itu hilang entah ke mana! Lalu anak ini tumbuh dengan wajah bule dan kelakuan sok pintar! Bahasa Inggris segala! Siapa yang ngajarin, hah? Biar kelihatan lebih tinggi dari anak orang lain?”

“Mbak,” ucap Salwa pelan tapi tegas, “kalau memang hatinya luka, jangan lempar racunnya ke anak sekecil itu.”

Bayu juga ikut berdiri. “Bu, cukup. Ini rumah keluarga. Bukan tempat Anda melampiaskan penolakan.”

Tapi Bu Rahma seperti kesurupan dendam. “Aisyah itu perempuan baik! Cantik, shalihah, pintar, siap jadi istri! Tapi terus kamu, Yassir! Kamu masih saja nunggu perempuan asing itu balik! Padahal dia sudah ninggalin kamu dan anak itu sejak masih merah! Masih juga kamu bela?”

Yassir tak langsung menjawab. Tapi Miera memeluk leher ayahnya lebih erat, matanya mulai berkaca-kaca.

Bu Salamah maju pelan. Suaranya lembut, tapi tegas. “Kamu bilang anak ini bawa sial. Tapi dia juga yang bikin rumah ini hidup. Dia yang bikin kami tetap punya alasan untuk terus bersyukur.”

“Kamu hina ibunya? Itu pilihanmu. Tapi jangan pernah sentuh hati anak sekecil ini pakai kata-kata seburuk itu. Lidahmu bisa jadi bumerang, Rahma,” imbuhnya tenang.

Gilang menghampiri Miera sambil membisik, “Nggak apa-apa ya, Nak. Banyak orang dewasa yang belum belajar cara bersyukur.”

Namun saat semua orang mengira Yassir akan tetap diam, pria itu berdiri perlahan. Tatapannya tajam. Tubuhnya tegak. Nada suaranya tenang tapi penuh peringatan.

“Saya terima semua hinaan yang Ibu lontarkan ke saya. Tapi saya nggak akan diam kalau anak saya dilukai, bahkan dengan kata-kata,” ujarnya.

“Kamu bilang Aisyah baik, lalu kamu datang ke rumah kami, maki-maki anak kecil, dan kamu anggap itu wajar? Itu bukan cinta. Itu obsesi yang dibungkus ego,” katanya dingin.

Beberapa ibu yang hadir mulai saling melirik. Ada yang mengangguk kecil, tapi lebih banyak yang justru menarik napas panjang. Salah satu dari mereka, Ibu Hana, maju pelan dan menunduk menyapa Miera yang sudah menempel di kaki Ayahnya.

“Anak sekecil ini kok disalahkan? Dia nggak salah apa-apa,” ujar Ibu Hana dengan lembut, suaranya bergetar menahan haru.

Ibu Siti yang berdiri di samping tumpukan kado juga ikut menimpali. “Kalau memang sakit hati, jangan dilampiaskan ke anak kecil. Hari ini hari bahagiannya, jangan rusak semuanya,” imbuhnya dengan tatapan kecewa ke arah Bu Rahma.

Bu Rahma mendengus, matanya menyapu seluruh tamu yang menatapnya. “Jadi kalian semua bela dia? Bela anak yang bahkan nggak punya ibu di sisinya?” katanya penuh ejekan.

Salah satu ibu muda dengan bayi di pelukannya menjawab pelan, “Justru karena dia sendiri, kita harus peluk dia lebih erat. Hari ini ulang tahunnya, Bu. Bukan waktunya cari siapa yang benar dan siapa yang salah.”

Suasana menjadi hening sejenak. Semua mata tertuju ke arah Miera yang akhirnya bersuara lirih, dengan aksen Inggris polos yang membuat semua hati runtuh.

“Please don’t touch me,” ujarnya pelan, saat ustadzah Aisyah mencoba meraih tangannya.

“Only my Ummi can hug me,” sambung Miera lagi, matanya berkaca-kaca.

Terdengar suara isakan dari beberapa tamu perempuan. Bahkan Salwa adiknya ustadz Yassir guru SD yang biasanya keras, terlihat menunduk sambil mengusap mata.

Pak Mahmud, ayah angkat Ustadz Yassir, berdiri dan angkat bicara, suaranya tenang tapi tegas.

“Hari ini ulang tahun cucu saya. Kalau ada yang ingin marah, silahkan pulang. Tapi jangan kotori hari spesial anak ini dengan kebencian orang dewasa,” ucapnya sambil menggandeng tangan Bu Salamah.

Ustadz Yassir yang sejak tadi menenangkan putrinya akhirnya berkata pelan, “Saya hormati Bu Rahma sebagai orang tua. Tapi kalau hari ini bukan niatnya membawa doa, lebih baik beri ruang untuk anak saya bernapas.”

“Dan kalau Bu Rahma datang hari ini untuk menghancurkan ulang tahun anak saya, maka saya mohon maaf, ibu harus keluar. Sekarang.”

Bu Rahma terbelalak. Tapi sebelum sempat membalas, Pak Mahmud sudah menggamit tangannya lembut.

“Silakan, Rahma. Rumah ini nggak pernah menolak tamu. Tapi hari ini kamu bukan tamu, kamu datang dengan amarah. Dan kami nggak butuh energi itu di sini.” imbuhnya Pak Mahmud.

Tak ada yang berani membantah. Satu per satu tamu kembali duduk. Beberapa ibu membelai kepala Miera pelan, menghibur dengan biskuit, balon, dan pelukan kecil. Meskipun pesta sempat berantakan, namun hati para ibu lebih memilih memeluk luka seorang anak ketimbang melanggengkan dendam seorang dewasa.

Akhirnya, dengan napas memburu, wajah panas dan dada penuh dendam, Bu Rahma berbalik, menggandeng Aisyah yang sejak tadi menangis diam-diam.

Dan begitu gerbang tertutup kembali, rumah itu hening. Tapi hening yang menenangkan. Seperti angin sore setelah badai reda.

Miera menatap ayahnya dan bertanya pelan, “Ayah... Miera jahat?”

Yassir segera menggeleng, menatap wajah kecil itu penuh kasih.

“Enggak, Sayang. Kamu hadiah. Bukan kutukan. Dan Ayah akan selalu jadi tameng kamu, sampai Ummi pulang, sampai kamu tumbuh kuat berdiri sendiri.”

Dan semua orang tahu, hari itu bukan sekadar perayaan ulang tahun.

Hari itu adalah perayaan keberanian. Untuk berkata cukup. Untuk melindungi. Untuk mencintai apapun resikonya.

Berselang beberapa jam kemudian…

Miera tertawa kecil saat Ustadz Yassir menggendongnya tinggi-tinggi. Rambut ikalnya terbang sebentar, pita merah muda di kepalanya hampir jatuh.

"Turun, Ayah... Miera udah gede!" protesnya manja.

Yassir tertawa, lalu mendekap anak bungsunya itu erat-erat ke dada. Di balik senyum, ada rasa asing yang datang menyelinap sunyi yang hanya bisa dipahami seorang ayah yang kehilangan.

"Selamat ulang tahun, Miera sayang..." bisiknya di telinga putrinya.

Matanya tak sengaja menatap ke arah pojok ruangan. Ada sudut kosong di sana. Kosong karena seharusnya ada dua anak laki-laki berdiri di sana. Memakai baju kembar. Membawa kado kecil untuk saudara mereka.

"Thaimur... Khasmir..."

Tangannya yang memeluk Miera gemetar sedikit. Ia menutup mata. Dan tiba-tiba, wajah dua putranya yang terakhir kali ia lihat saat usia mereka belum genap dua bulan, muncul jelas.

"Kamu juga pasti sudah besar, putraku..." lirihnya nyaris tanpa suara, hanya Miera yang mendengar, dan mungkin Tuhan.

Sudah enam tahun berlalu sejak hari Zamara meninggalkan rumah membawa Thaimur dan Khasmir pergi jauh. Saat itu, Miera masih berusia 40 hari.

Masih merah, masih belum bisa menoleh sendiri. Sementara dua kakaknya yang kembar hanya selisih 2 menit darinya ikut diboyong ke negeri asing tanpa sempat mengucap kata pisah.

"Kalau kalian di sini, pasti Miera nggak bisa makan kue ulang tahun sendiri..." gumam Yassir, separuh bercanda, separuh menyayat.

"Ayah sedih?" tanya Miera pelan, mengusap pipi ayahnya dengan tangan mungilnya.

Yassir menatap mata anak itu. Bola mata yang begitu mirip dengan Khasmir. Bentuk alisnya, cara tertawanya, bahkan lekuk pipinya seperti Thaimur.

"Nggak, Ayah cuma... rindu," jawabnya jujur.

"Rindu itu... apa?" tanya Miera penasaran.

"Rindu itu seperti kamu tidur tapi mimpinya nggak bisa dipeluk. Kamu lihat, tapi nggak bisa nyentuh. Seperti itu rasanya Ayah sekarang."

Miera mengangguk, belum mengerti sepenuhnya, tapi dia tahu satu hal: pelukan Ayah hari ini lebih lama dari biasanya.

Dan mungkin, itu caranya menggantikan dua tangan kecil yang hari ini tak ada di sana menyanyikan lagu ulang tahun untuk saudari mereka yang paling kecil, yang bahkan mungkin sudah mereka lupakan.

Beberapa hari kemudian…

PUSAT PERBELANJAAN – SIANG MENUJU SORE

Lampu-lampu di langit-langit mall berganti warna. Musik lembut mengalun dari speaker, tapi telinga Ustadz Yassir hanya fokus pada langkah kecil putrinya yang melompat-lompat di sebelahnya. Tangan mungil Miera menggenggam erat lengan ayahnya, sesekali matanya berbinar melihat boneka berderet di etalase toko mainan.

"Yang mana, Sayang? Ayah beli semua juga boleh, asal kamu senyum terus," ucap Yassir sambil mengacak pelan rambut ikal putrinya.

Miera mengangguk kecil. “Nggak usah semuanya. Satu aja, asal warnanya ungu,” sahutnya dengan nada polos.

Yassir tersenyum. Di usia enam tahun, putrinya sudah tahu batas. Sudah bisa baca situasi. Sudah paham kalau bahagia nggak harus berlebihan. Tapi mungkin justru itu yang bikin hatinya nyeri. Anak sekecil itu, terlalu cepat dewasa.

Mereka terus berjalan. Hingga di depan salah satu toko baju anak, langkah Miera mendadak berhenti. Tubuh kecilnya mematung.

Pandangannya terkunci pada pemandangan yang terlihat biasa buat banyak orang tapi bagi Miera, itu seperti dunia yang selalu diinginkan.

Seorang ibu membungkuk, merapikan kerah seragam anak laki-lakinya. Di samping mereka, si ayah membantu memilih tas. Mereka tertawa kecil, saling melempar candaan. Wajah mereka lengkap, keluarga utuh dan bahagia.

Miera menggigit bibir bawahnya. Air matanya jatuh begitu saja. Ustadz Yassir segera menunduk, memeluk tubuh kecil itu tanpa berkata apapun.

“Kenapa, Sayang?” bisiknya pelan.

Miera menggeleng cepat. Tapi mulutnya mulai bergetar. “Ummi... kalau Ummi ada, pasti kayak gitu ya...” ucapnya lirih.

Yassir memejamkan mata. “Miera...”

“Ayah, kenapa Ummi nggak pernah balik?” katanya lagi.

Suasana mall mendadak terasa terlalu bising. Terlalu terang. Tapi ruang di sekitar mereka seolah hanya diisi dua orang ayah dan anak yang sama-sama menahan luka dalam diam.

“Sabar ya, Sayang...” bisik Yassir, mencium kening anaknya. Tapi Miera kembali bicara.

“Miera pernah mimpi, Ummi dateng, terus peluk Miera... Tapi pas bangun, nggak ada siapa-siapa,” imbuhnya sambil memeluk erat pinggang ayahnya.

Yassir menunduk. Dipeluknya Miera seolah ingin membungkus semua rasa sedih anak itu agar tak tumpah ke dunia. Tapi ia tahu, pelukannya nggak bisa ganti satu hal: kehadiran seorang ibu.

Dia menatap langit-langit mall. Dalam hati, ia bicara pada sosok yang entah ada di mana.

"Zamara... kamu di mana? Anakmu rindu. Aku juga."

Lalu ia kembali menunduk, mencoba menyembunyikan tetes air yang turun dari pelupuk matanya. Tapi Miera sudah melihat. Anak itu mengusap pipi ayahnya pakai punggung tangan kecilnya.

“Jangan nangis juga dong, Ayah. Nanti orang-orang ngira kita nyasar,” katanya dengan senyum tipis yang berusaha menenangkan.

Yassir tertawa kecil, lalu mengangkat Miera ke pelukannya.

"Kamu ini kok malah kamu yang nenangin Ayah," ujarnya lembut.

“Ayah kan temennya Miera,” sahut Miera sambil menyenderkan kepala di bahu ayahnya.

“Dan Miera, tetap anak paling kuat yang Ayah kenal,” imbuh Yassir sambil membawanya ke toko baju.

Hari itu, mereka pulang membawa dua tas belanja, sepasang sepatu ungu, dan sebuah seragam sekolah berlabel internasional.

Namun yang paling berat dibawa bukan kantong plastik. Yang paling berat adalah harapan yang selalu diselipkan Miera dalam tiap langkah kecilnya.

"Semoga Ummi lihat dari jauh. Semoga Ummi pulang.”

Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:

Menikah Mantan Istri Sahabatku

Pawang Dokter Impoten

Dipaksa Menjadi Istri Kedua

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
bagus bangettt.... lanjut thor
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!