Aziya terbangun di tubuh gadis cupu setelah di khianati kekasihnya.
Untuk kembali ke raganya. Aziya mempunyai misi menyelesaikan dendam tubuh yang di tempatinya.
Aziya pikir tidak akan sulit, ternyata banyak rahasia yang selama ini tidak di ketahuinya terkuak.
Mampukah Aziya membalaskan dendam tubuh ini dan kembali ke raga aslinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak dirumah bidan
Pagi ini, Aziya, Arion serta Lotte pergi mencari rumah bidan yang bekerja sama dengan rumah sakit, dia juga yang membantu persalinan Brianna awalnya sebelum Brianna dirujuk kerumah sakit.
Mobil berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Cat temboknya sudah pudar, halaman dipenuhi tanaman liar. Di teras, seorang wanita tua duduk dengan selimut di pangkuannya. Matanya sayu, namun masih memancarkan kewaspadaan.
“Bu Sarti?” tanya Arion dengan suara tegas.
Wanita itu menoleh, lalu mengangguk pelan. “Ya. Siapa kalian?”
Arion memperkenalkan diri, menyebut nama Brianna. Seketika wajah Bu Sarti berubah pucat. Tangannya meremas selimut erat-erat.
“Kenapa… setelah sekian lama… kalian datang mencariku?”
Aziya maju selangkah, menatap lurus ke arahnya. “Karena aku ingin tahu kebenarannya. Tentang bayi kembar yang kau tolong lahirkan malam itu.”
"Aku tidak bisa membicarakan itu, sebaiknya kalian pergi dari sini."ucap Bu Sarti pelan, dengan raut wajah menegangkan.
"Anda tidak mau bicara? Apa saya harus melapor polisi tentang kejadian dimasa lalu? Saya punya bukti, bahwa anda setuju untuk menukar bayi saya waktu itu."ucap tegas dan menekan Arion.
Bu Sarti menegang, dia pasrah dan masuk ke dalam rumah, lalu kembali dengan sebuah kotak kayu kecil yang sudah berdebu.
“Belasan tahun aku simpan ini… berharap suatu hari ada yang berani mencari kebenaran,” katanya lirih.
"Kalau Bu Sarti menunggu kami, kenapa tadi enggan bicara?"ujar Aziya menatap intens bu Sarti.
"Karena saya takut, saya tidak mau terkena masalah yang saya sendiri tidak ingin semua itu terjadi." Bu Sarti menghela nafas panjang dan memperlihatkan kotak berisi catatan persalinan tangan, lengkap dengan tanda tangan Bu Sarti sebagai bidan. Di sana tertulis jelas bahwa...
Bayi pertama lahir, perempuan. Tanda lahir di pergelangan tangan kiri.
Bayi kedua lahir, perempuan. Tidak ada tanda lahir.
Aziya tercekat. Ia tahu persis, di pergelangan tangan kirinya ada tanda lahir kecil berbentuk bulan sabit. Sesuatu yang selalu dianggap kebetulan.
“Itu… itu aku,” bisiknya.
Bu Sarti mengangguk pelan. “Kau bayi pertama. Tapi setelah beberapa jam… ada yang datang menekanku. Meminta agar aku menukar identitas bayi itu. Aku tidak kuasa menolak.”
Ayahnya mencondongkan tubuh, wajahnya tegang. “Siapa orang itu?”
Bu Sarti menggigit bibir, air matanya menetes. “Aku tidak bisa sebutkan, karena dia masih ada. Dan aku takut. Tapi aku tau satu hal. dia orang dalam keluargamu."
Aziya menggenggam erat catatan itu. Tangannya bergetar, antara marah dan lega. Inilah bukti nyata yang selama ini ia cari. Bukti bahwa dirinya adalah bayi asli yang tertukar, bukan hanya omong kosong atau mimpi aneh.
Ayahnya menepuk bahunya, menatapnya penuh keyakinan.
“Dengan ini, kita bisa buka semuanya. Tidak ada lagi yang bisa menyangkal.”
Namun Bu Sarti buru-buru memegang tangan Aziya, matanya penuh ketakutan.
“Hati-hati, Nak. Orang yang mendalangi ini… dia tidak akan tinggal diam. Begitu tahu kalian punya bukti, nyawa kalian bisa terancam.”
Aziya menatapnya lekat-lekat, lalu tersenyum tipis.
“Kalau begitu, biarkan dia datang. Aku sudah muak hidup dalam bayangan kebohongan. Kini saatnya aku yang menyerang.”
...★★★...
Suasana senja itu begitu indah, langit yang mulai berubah oranye keemasan menciptakan bayangan lembut di permukaan danau. Angin berhembus pelan, menggoyang-goyangkan dedaunan di sekitar mereka. Gabriel dan Aziya duduk berdampingan di tepi danau, jauh dari keramaian, hanya suara riak air yang menemani kebersamaan mereka.
Aziya memandang ke kejauhan, matanya yang penuh kepedihan seolah tenggelam dalam bayang-bayang perasaan yang sulit diungkapkan. Gabriel yang duduk di sampingnya, memperhatikan dengan seksama, mengenali gejala kesedihan yang begitu mendalam di mata gadis itu. Hal yang tidak biasanya dia perlihatkan.
"Azira... kamu sepertinya sedang membawa beban yang sangat berat. Apa yang terjadi?" tanya Gabriel dengan lembut, suaranya penuh perhatian.
Aziya menghela napas panjang, menatap air danau yang berkilauan dengan cahaya matahari yang semakin redup. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mencari kata-kata yang bisa meluapkan apa yang ada di hati.
"Gabriel," suara Aziya terdengar pelan, "gue merasa seperti gak pernah cukup. Mama gue selalu membandingkan gue dengan Azura, Gue merasa hanya bayangan dari dia. Seperti... Diri gue bukan gue sendiri."
Gabriel menatap Aziya dengan empati, tangannya dengan lembut meraih tangan Aziya, memberikan dukungan tanpa kata-kata. "Kamu bukan bayangan, Zira. Kamu adalah kamu. Setiap perasaanmu, setiap apa yang kamu alami, itu semua nyata. Dia mungkin tidak melihat itu, tapi aku melihat siapa kamu, juga tau kebenaran tentang kamu."
Aziya menatap Gabriel terkejut, bola matanya tampak melebar mendengar kata terkahir Gabriel. "Lo...tau apa?"tanya nya hati-hati.
Gabriel tersenyum lembut."Aku tau lebih dari yang kamu tau."ucapnya yang membuat Aziya tidak bisa berkata-kata.
Aziya menundukkan kepalanya, menghela nafas berat "Terserah apa yang lo tau, gue udah capek. Gue lelah, gue pengen akhiri semua ini, tapi gak bisa."
Gabriel memiringkan kepalanya, mencoba untuk memahami perasaan Aziya. "Kamu kuat, kamu pasti bisa lalui semua ini. Kamu gak boleh menyerah, ada banyak orang yang bahagia kalau kamu menyerah begitu saja."
Aziya menghelat nafas berkali-kali, mencoba menguatkan hatinya.
Gabriel menarik tubuh Aziya dengan lembut, membuatnya bersandar di bahunya. "Dunia ini sering kali tidak adil. Tapi percayalah, kamu adalah orang yang luar biasa. Kamu gak perlu menjadi siapa pun selain dirimu sendiri. Aku akan selalu ada untuk kamu, di setiap langkah yang kamu ambil. Karena Sejak awal yang aku tau cuma kamu. Sejak itu aku mencintaimu."
Aziya terdiam sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Gabriel. Rasa hangat itu memberi ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang benar-benar memahami, seseorang yang tidak akan pernah menghakimi.
Gabriel begitu berbeda, awalnya Aziya tidak menyukainya, karena Aziya pikir, Gabriel orang mesum dan pemaksa. Waktu baru menempati tubuh Azira. Gabriel begitu lancang terhadap Azira, dia tidak ragu untuk berbuat lebih, seperti mencium bibir Azira. Tapi sekarang Aziya tidak merasakan Gabriel seperti itu. Dia cukup berbeda dari awal yang Aziya kenal. Karena itu Aziya merasa, Aziya telah jatuh kedalam pesonanya.
Aziya merasa sedikit lebih ringan, di tepi danau itu, di bawah langit senja yang memancarkan keindahan, Aziya merasa ada harapan untuk masa depan.
Gabriel menggenggam tangan Aziya erat-erat, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Zira. Aku mau, kita bisa melewati ini bersama-sama. Aku mau suatu hari nanti kita bertemu dan hidup bahagia bersama. Aku ingin menua bersama kamu."Aziya mengerutkan keningnya bingung.
"Lo yakin itu bisa terjadi."Gabriel mengangguk.
"Itu harus terjadi."Aziya hanya mengangguk menanggapi. Terserah kedepannya akan seperti apa. Yang jelas, Aziya harus cepat menyelesaikan misinya.
Hingga beberapa menit setelahnya terjadi keheningan. Mereka duduk bersama, menikmati keheningan itu, sementara matahari perlahan tenggelam di balik horizon, meninggalkan langit yang mulai dipenuhi bintang. Di antara keduanya, ada sebuah ikatan yang lebih kuat dari apapun, cinta yang tulus, yang tidak mengenal perbandingan atau harapan yang berat.