Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.
Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.
Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Bukan Yang Pertama, Tapi...
Usai keributan yang terjadi, acara resepsi sederhana itu pun kembali dilanjutkan.
Tamu undangan yang tidak hanya berasal dari tetangga sekitar desa, tapi juga beberapa kenalan Armand, turut hadir untuk memenuhi undangan.
Memang tak sebanyak tamu undangan di pesta pernikahannya yang pertama, bahkan mencapai setengahnya pun tidak, tapi suasana meriah yang tercipta, kebahagiaan yang menaungi, hati yang berbunga-bunga, menjadi pertanda bahwa di pernikahan yang kedua ini, Armand merasa jauh lebih bahagia.
Senyum malu-malu serta rona kemerahan di pipi di pipi gadis mungil yang berdiri di sampingnya di atas pelaminan ini tiap kali mendengar celetukan menggoda, selalu berhasil membuat senyum Armand merekah.
Ah... membicarakan soal 'gadis', Armand tiba-tiba saja teringat jika malam ini adalah malam pengantin mereka.
Armand tahu, ia juga sepenuhnya menyadari bahwa mungkin saja Nissa belum siap untuk menyerahkan diri secara utuh padanya.
Akan tetapi, Armand tetap tak bisa mencegah pikirannya untuk berkelana kemana-mana. Pikiran yang menimbulkan banyak sekali pertanyaan, seperti...
'Bagaimana rasanya menerobos lemb4h yang masih peraw4n?'
'Apakah rasanya semp1t hingga membuatnya kesulitan menerobos masuk?'
'Akan seperti apa rasa sakit yang Nissa rasakan saat Armand menyatukan tubuh mereka nanti?'
'Dapatkah ia bersikap lembut atau malah sebaliknya?'
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benak Armand. Tidak bisa dienyahkan, dan malah membuatnya merasa sesak. Tidak hanya sesak karena kepalanya dipenuhi dengan bayangan yang tak mampu ditepis dan juga sesak di area bagian bawah tubuhnya.
Sedangkan Nissa sendiri sejak tadi tak banyak bicara. Bukannya sengaja, tapi gadis itu bingung harus mengatakan apa.
Situasi ini, statusnya yang kini sudah menjadi istri dari pria yang sejak tadi terus menoleh ke arahnya, membikin pikiran Nissa dipenuhi dengan banyaknya rasa dan juga takut. Takut jika dirinya tak mampu menjadi istri yang baik, takut jika dirinya bisa menjadi istri yang bisa dibanggakan, takut jika dirinya malah akan mendatangkan masalah bagi suaminya, dan masih banyak lagi ketakutan yang Nissa rasakan.
Tapi di balik itu semua, Nissa tak dapat memungkiri adanya rasa bahagia yang ia sendiri tak tahu bagaimana menjabarkan makna bahagia tersebut.
'Apakah itu cinta?"
Nissa belum dapat menemukan jawabannya. Namun yang pasti, berdiri di sini, di samping pria yang beberapa jam lalu mengucap ijab untuk menghalalkan dirinya, dengan tangan besar dan terasa hangat saat menggenggam tangannya, Nissa merasa dirinya sudah berada di tempat yang benar.
"Genggam aja terus, Man. Bikin aja hati jomblo ini iri ngeliat kau yang nggak mau ngelepasin gadismu, opsss, bentar lagi jadi wanita, barang bentar aja."
Armand tak menggubris celetukan Fandy yang hari ini suka sekali menggodanya.
Sebaliknya, Armand justru kembali menoleh, entah untuk yang ke berapa kalinya, ke arah istri mungilnya yang kali ini mendongak ke arahnya.
Sepasang mata bulat nan jernih itu menatap lurus padanya dengan disertai senyum malu-malu. Hingga lagi-lagi Armand tak kuasa menahan diri dan kemudian...
Cup...
Sekilas, namun kesan yang ditimbulkan membuat Armand tak mau menegakkan tubuhnya. Justru Armand perlahan mendekat dan tersenyum tipis saat melihat sepasang mata bulat sejernih telaga itu membeliak saat Armand kembali menyatukan bibir mereka.
Sorak sorai suara pun terdengar. Siulan disertai kalimat menggoda seakan jadi musik pengiring saat secara perlahan Armand mulai menggerakkan bibirnya untuk melumat bibir milik istri kecilnya.
Begitu bibirnya mulai bergerak bibir sang kekasih halal yang terasa kaku, Armand tidak bisa berhenti.
Candu, ya... mungkin saja bisa dibilang Armand sedang kecanduan.
Atau mungkin saja bisa juga dibilang karena sudah lebih dari 6 tahun Armand menyendiri dan menjauhkan diri dengan yang namanya lawan jenis.
Tapi ini, terasa berbeda. Walau bukan yang pertama, tapi rasa yang ditimbulkan akibat penyatuan bibirnya dengan bibir Nissa membawa sensasi yang jauh lebih menyenangkan. Hingga Armand tak kuasa menahan diri untuk menjulurkan lid4h dan menguak sedikit bibir Nissa yang terkatup rapat.
Armand hampir saja lepas kendali, suara-suara di sekitarnya bahkan tak lagi terdengar, jika saja tak merasakan tepukan pelan di dadanya.
Sekuat tenaga Armand berusaha mengekang hasrat yang semakin sulit dikendalikan. Helaan napasnya juga tampak tak beraturan. Dan di tengah usaha untuk menenangkan gejolak hasrat yang minta dipuaskan tersebut, perlahan Armand memutar tubuh mereka, hingga kini orang-orang hanya bisa melihat punggungnya saja.
"Maaf... " Armand berucap lirih dengan jarak bibir mereka yang masih begitu rapat. "Tapi aku nggak menyesalinya, Nis. Untuk pertama kalinya aku merasakan seputus-asa ini dalam menginginkan seorang perempuan. Dan perempuan itu kamu, Nis." ucapnya seraya kembali membelai bibir lembut istri mungilnya itu menggunakan lid4h.
"Ma... mas." terbata-bata Nissa mencoba bersuara. Apa yang baru saja dialaminya membuatnya bahkan kesulitan untuk bernapas. Masih terasa sangat jelas bagaimana bibir pria yang baru beberapa jam menjadi suaminya itu mengulum bibirnya. Rasa hangatnya masih tertinggal, sampai Nissa bisa merasakan gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Nanti kita lanjutkan lagi." kalimat itu terucap bagaikan janji yang harus ditepati. Dan sebelum Armand benar-benar memisahkan bibir mereka, terlebih dulu Armand menggigit bibir yang terlihat semakin menggiurkan di matanya itu.
"Dasar Armand gila. Liat-liat tempat dulu dong kalau mau main lumat-lumatan gitu. Kalau kalian cuma berdua aja di dalam kamar nggak masalah. Bebasin dah tuh burung dari dalam sangkarnya. Biar burungmu bisa berkicau merdu di dalam sangkarnya yang baru."
Seperti biasa, Armand malas untuk menanggapi apapun yang Fandy katakan. Armand kini justru memaku pandangan ke wajah Nissa yang menunduk dengan kening yang menempel erat di dadanya.
Meski tak bisa melihat wajah cantik gadis mungilnya itu, Armand tak kuasa menahan rekahan senyum di bibir kala melihat telinga si mungil yang memerah.
Sumpah, Armand sudah tidak sabar ingin membawa Nissa ke dalam kamar pengantin mereka. Walaupun mungkin malam pertama belum tentu bisa segera dilaksanakan, namun mencumbu tubuh bagian atas milik gadis mungil pemalu itu sudah pasti tidak akan Armand lewatkan.
*****
"Mereka udah resmi nikah, Ram?"
Pertanyaan tersebut langsung ditanyakan oleh pria paruh baya yang memakai kacamata begitu melihat orang kepercayaannya masuk ke dalam ruang kerjanya.
Menunggu dalam ketidak-pastian itu sangat menyiksa. Karena itu, saat melihat bawahannya yang hari ini mengenakan pakaian formal karena mereka memang sedang berada di kantor, pria paruh baya itu tak lagi bisa menahan diri. Bahkan pintu ruang kerja yang belum ditutup rapat itu juga tidak dipermasalahkannya. Walau bisa saja kemungkinan ada yang mendengar, pria paruh baya itu tidak lagi peduli.
Pria yang ditanya itu menghela napas. Terlebih dahulu pria itu menutup rapat pintu ruang kerja atasannya. Lalu kemudian, pria yang mempunyai ketampanan di atas rata-rata itu melangkah hingga akhirnya berdiri tepat di hadapan sang atasan. Menyisakan meja yang memisahkan jarak diantara mereka.
"Ram... "
"Mereka sudah resmi menikah, Pak."
Jawaban yang didengarnya tersebut membuat pria paruh baya itu merasakan hatinya luluh lantak akibat kesedihan yang tiba-tiba dirasakan.
Sudahlah dirinya gagal untuk menjadi sosok ayah yang baik, yang bahkan tak berani sekali pun memperkenalkan dirinya sebagai ayah dari gadis yang kini telah berstatus sebagai istri dari salah satu sosok yang dikenalnya itu, ia bahkan tak bisa hadir di pernikahan putri kandungnya sendiri.
Nasib baik memang tidak pernah berpihak padanya. Merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya membuatnya lupa akan statusnya dan mencoba menggaet sang pujaan hati, yang akhirnya malah membuat kisah cinta mereka seperti layaknya pendosa, yang mendapat hinaan dan cobaan yang tak menemukan akhir bahagia.
Namun apa hendak dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Menyesalinya juga percuma. Gadis mungil yang hanya bisa diperhatikannya dari jauh itu kini tak bisa lagi ia gapai.
"Pak... " pelan pria yang berdiri di seberang meja itu memanggil. Melihat atasannya tampak begitu terpuruk yang diakibatkan ketidak-berdayaan oleh belenggu tali pernikahan dengan istri pertama, membuatnya turut merasakan kesedihan yang sama. "Tidak ada yang namanya terlambat, Pak. Kalau Bapak ingin menebus keabsenan Bapak selama ini dalam hidupnya, Bapak masih bisa berusaha. Bapak cukup mengenal tuan Armand. Siapa tau melalui beliau, Bapak bisa melakukan pendekatan kepada putri yang Bapak rindukan itu." imbuhnya memberikan masukan.
"Apakah bisa semudah itu, Ram?" pria paruh baya itu tersenyum pedih. "Bahkan empat tahun sebelum mereka pulang ke desa itu, aku sudah tidak lagi menafkahi mereka. Sebagai suami, aku tidak pernah sekali pun bisa mengakui Ningsih sebagai istriku dan tak pula bisa benar-benar membahagiakannya. Dan untuk putriku, aku tak pernah sekali pun memeluknya di saat dia sedih. Aku ini sudah gagal, Ram. Gagal menjadi seorang suami dan gagal menjadi seorang ayah."
"Semua itu Bapak lakukan karena Bapak takut jika keberadaan ibu Ningsih diketahui oleh istri pertama Bapak." bawahan yang sangat setia itu mencoba mengurangi rasa bersalah yang atasannya rasakan. "Kalau pun selama empat tahun itu Bapak tidak lagi mengirimkan uang untuk mereka, bukan berarti ibu Ningsih hidup dalam serba kekurangan. Walau tidak semudah biasanya, mereka juga tidak kelaparan, karena uang yang Bapak kirimkan selama ini lebih dari yang Bapak janjikan."
"Alasan seperti itu saja tidak bisa membenarkan sikap pengecutku, Ram." pria itu tertawa, bukan tertawa karena senang melainkan tawa yang hadir atas ketidak-berdayaannya.
"Kalau begitu, apa hendak Bapak lakukan sekarang?" tanya sang bawahan karena melihat atasannya terlihat begitu tak berdaya. "Tapi kalau boleh, saya ingin memberikan sedikit nasehat."
"Apa?" tanya pria paruh baya itu seraya mendongak untuk menatap bawahannya yang selalu dapat diandalkan itu.
"Tolong jangan lagi mencoba untuk menjadi pihak yang mencoba menghalangi jalannya tuan Armand. Waktu itu, kita hampir saja ketahuan saat mencoba mempengaruhi keputusan Pengadilan. Pengacaranya tuan Armand itu bukan orang sembarangan, Pak. Kenalannya ada dimana-mana. Dan karena Bayu Wicaksono mencapai kesuksesan seperti sekarang berkat tuan Armand, maka Bayu Wicaksono sudah pasti akan selalu mengerahkan seluruh kekuatan untuk membantu tuan Armand."
"Lalu?"
"Saya mohon agar Bapak lebih berhati-hati lagi dalam bertindak. Bisa saja Bayu Wicaksono malah sudah memberitahukan kepada tuan Armand kalau ada seseorang yang mencoba menggagalkan rencana pernikahannya. Bukan tidak mungkin pula, tuan Armand bisa saja sudah memerintahkan pengacaranya itu untuk menyelidiki semuanya."
Pria paruh baya itu pun menghela napas panjang usai mendengar nasehat dari orang yang sangat dipercayainya itu.
Memang benar apa yang dikatakan oleh pria yang selama ini selalu bisa ia andalkan itu.
Tindakkannya terlalu gegabah. Niatnya sebenarnya bukanlah ingin menghalangi. Hanya saja pria paruh baya itu ingin menunda, setidaknya sampai ia bisa berdiri di depan putrinya dan dengan berani mengakui semua kesalahan yang pernah ia lakukan.
Helaan napas pria paruh baya itu pun terdengar berat saat tak bisa lagi mengatakan apa-apa.
Demi mengurangi suasana yang terasa menyesakkan baginya itu, pria paruh baya itu mendongak, menatap orang kepercayaannya untuk menanyakan, "Bagaimana keadaan rumah sekarang?"
"Istri dan kedua anak Bapak masih melakukan rutinitas seperti yang biasa. Tidak pernah menanyakan kenapa Bapak selalu jarang berada di rumah."
Dengusan pria paruh baya itu terdengar setelah mendengar laporan dari bawahannya mengenai situasi di rumahnya saat ini. "Mereka itu, yang penting isi ATM mereka terus terisi, yang lain tidak pernah mereka pikirkan. Sampai terkadang aku sering kali merasa ragu kalau kedua anak yang dilahirkan istriku itu adalah anak kandungku." ujarnya seraya menyandarkan punggung di sandaran kursi kebesarannya.
"Kenapa Bapak bisa berpikir seperti itu?"
"Kau pastinya tau 'kan kalau istriku itu dalam keadaan hamil saat kami menikah?" tanya pria paruh baya itu seraya tersenyum penuh ironi. Begitu melihat bawahannya itu mengangguk, pria paruh baya itu kembali bercerita, "Kejadian sewaktu kami tidur bersama itu tidak bisa aku ingat dengan jelas. Kami memang tanpa sengaja bertemu di salah satu pesta. Tapi keesokan pagi, tau-tau saja aku sudah berada di atas tempat tidur bersamanya dalam keadaan tanpa busan4. Lalu untuk anak kedua yang dilahirkannya, kejadiannya hampir serupa. Hanya saja waktu itu aku sedang berada di rumah."
"Maaf kalau saya terkesan lancang menanyakan ini." pria yang berdiri di balik meja itu berdehem, merasa tak enak hati untuk menanyakan apa yang sekarang hendak ditanyakannya. Tapi, saat melihat atasannya menaikan sebelah alis, seolah sedang menunggu apa yang ingin ia tanyakan, pria itu kemudian memberanikan diri menanyakan, "Memangnya selama ini Bapak tidak pernah menggauli istri Bapak selain dari dua kejadian yang tidak bisa Bapak ingat itu?"
Mantap pria paruh baya itu menggeleng. "Aku berani sumpah, Ram. Selain dua waktu yang aku sebutkan itu, tidak pernah sekali pun aku menyentuhnya."
"Kalau begitu, ada baiknya Bapak memastikan dugaan Bapak itu. Atau kalau Bapak mau, saya bisa menyelidikinya untuk Bapak."
Tentu saja pria paruh baya itu langsung mengangguk. Keraguannya selama ini memang harus dipastikan. Biar dirinya bisa segera mengambil langkah yang tepat dan tidak terus menjadi pengecut seperti ini.
Jika nanti dugaannya itu terbukti benar, pria paruh baya itu tidak ingin lagi membuang waktu percuma, yang mana membuatnya bahkan tak bisa berdiri di hadapan putrinya yang selama ini ia rindukan.