NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:727
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

jejak bayangan

Badan Tono kejang hebat. Shavira yang melihat itu langsung merangkak panik, buru-buru melepaskan cengkeraman tangan lelaki asing yang hampir meremukkan pamannya.

“Jangan bunuh dia… gue mohon!” suara Shavira serak, nyaris pecah.

Lelaki itu menatapnya datar. Tatapan dingin, nyaris tanpa emosi. Tapi matanya sempat melirik sudut bibir Shavira yang pecah karena tamparan Tono tadi, lalu turun pada kakinya yang lecet parah akibat gesekan semen. Sepatunya entah sejak kapan sudah terlepas.

“Pamanmu hampir menghilangkan nyawamu,” ucapnya dengan suara rendah, berat, tapi jelas menusuk. “Dan kamu masih ingin lelaki sialan ini hidup?”

Shavira terdiam. Bibirnya bergetar menahan kata. Ia tahu pamannya sudah keterlaluan—bahkan tidak lagi pantas disebut manusia yang punya akal sehat. Tapi tetap saja… itu pamannya.

Dia tidak sanggup membiarkan orang lain membunuh Tono hanya karena dirinya. Dipukul berkali-kali, diperlakukan seperti sampah, Shavira bisa menahannya. Toh, pada akhirnya… dia tahu, usianya sendiri tak akan lama. Tapi kalau ada orang yang mati karena dirinya—itu tak sanggup ia terima.

“Tolong…” suara Shavira pecah, matanya berkaca-kaca. Ia sampai menunduk, menempelkan keningnya ke tanah kotor. “Jangan bunuh paman gue… gue mohon.”

Lelaki itu terdiam sejenak. Lalu perlahan, ia menarik tangannya yang sedari tadi digenggam Shavira. Tangan yang besar dan dingin itu kini berpindah, menempel di kepala Tono.

Sekejap, kejang pamannya berhenti. Tubuh Tono lunglai, jatuh pingsan.

Shavira melongo, menahan napas. “Pa… paman gue mati?” suaranya bergetar.

“Belum,” jawab lelaki itu datar. “Dia hanya pingsan.”

Huh. Shavira mengembuskan napas lega.

Lelaki itu berdiri, lalu mengulurkan tangannya ke arah wajah Shavira. Gadis itu mendongak, menatapnya dengan bingung.

“Susah untuk berdiri sendiri dengan kondisi kakimu kayak gitu,” ujarnya sambil melirik kakinya yang penuh luka.

Perlahan, Shavira menyentuh tangan itu. Hangat—berbanding terbalik dengan aura dingin lelaki itu. Ia membantu Shavira berdiri hingga tubuh ringkihnya tegak walau masih gemetar.

“Makasih…” ucap Shavira pelan.

Namun lelaki itu tiba-tiba berjongkok, memegang pergelangan kakinya. Shavira terlonjak kaget. Ngapain dia megang kaki gue?

Belum sempat ia bertanya, lelaki itu sudah berdiri kembali. Shavira terdiam, menyadari sesuatu aneh. Rasa perih di kakinya menghilang. Ia buru-buru melihat ke bawah—lecet dan luka-lukanya benar-benar hilang. Kulitnya kembali mulus, seolah tak pernah tersayat.

“Lo… yang nyembuhin kaki gue?” tanya Shavira, suaranya bergetar antara heran dan tidak percaya.

Lelaki itu hanya mengangguk singkat. Lalu, tanpa sepatah kata lagi, ia berbalik dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan Shavira yang masih bengong. Tumben sekali, pikir Shavira, lelaki itu tidak bersikap dingin padanya—bahkan menolongnya.

“Hei! Tunggu!” Shavira buru-buru mengambil sepatu pantofelnya yang terlempar, lalu berlari menyusul.

 

Kini mereka duduk bersebelahan di halte sepi. Angin malam berhembus membawa dingin, membuat Shavira merapatkan jaket tipisnya. Ada begitu banyak pertanyaan berputar di kepalanya, tapi setiap kali ia melirik lelaki di sampingnya, lidahnya kelu. Tatapan mata lelaki itu terlalu menusuk, seakan bisa menelanjangi isi hatinya.

“Kenapa?” lelaki itu akhirnya bersuara.

Shavira tersentak, buru-buru mengalihkan pandangan. “Ehem…” ia menelan ludah. “Lo… ngapain sebenernya di belakang rumah sakit tadi?”

Satu pertanyaan berhasil lolos. Sejak mendengar ucapan Dokter Hendri, Shavira jadi curiga.

“Kerja,” jawabnya singkat.

Shavira menaikkan sebelah alis. Kerja? Apa maksudnya? Apa dia dokter? Atau…

“Maksudnya?” tanyanya ragu.

Lelaki itu hanya mengedikkan bahu, seakan tidak peduli.

Shavira mendengkus pelan. “Yaudah, bodo amat.” Ia berusaha menahan diri, tapi ada pertanyaan lain yang jauh lebih penting.

“Apa… manusia normal bisa lihat lo?”

Lelaki itu menggeleng. Lalu, dengan tenang ia menoleh, menatap tepat ke mata Shavira. “Mereka tidak bisa melihat aku. Hanya manusia yang akan mati saja yang bisa.”

Shavira tercekat. Napasnya seakan terhenti sesaat. “Ja… jangan bilang… hantu-hantu di rumah sakit itu, lo?”

“Mungkin,” jawabnya datar.

Shavira tidak sempat menanggapi lagi, karena lelaki itu sudah menggerakkan kepalanya ke arah bus biru tua yang baru saja berhenti di depan halte.

Tanpa banyak bicara, Shavira bangkit, memasuki bus yang nyaris kosong itu. Ia duduk di dekat jendela, menoleh ke luar. Lelaki itu masih berdiri di halte, memandangnya dengan tatapan penuh teka-teki. Mata hitamnya seperti menyimpan ribuan rahasia yang tak pernah terucap.

Benarkah malaikat maut tidak punya nafsu? Tidak punya rasa iba? Tidak bisa jatuh cinta?

Bus perlahan berjalan, meninggalkan halte. Sosok lelaki itu makin menjauh, sampai akhirnya hilang dari pandangan. Shavira menyandarkan kepalanya ke kursi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih kacau.

Ting. 📩

Ponselnya berbunyi. Pesan masuk dari Nadia.

Nadia: Vir, besok lo sibuk nggak?

Vira: Nggak sih, kenapa?

Nadia: Gue pengen main deh ke tempat lo. Boleh ya 🥺

Vira: Iya, kapan lo mau ke rumah gue?

Nadia: Besok pagi, jam 8.

Vira: Oke!

Dinda: Jangan lupa masak ya Vir, gue pengen makan di rumah lo 😘

Vira: Bahan dapur gue habis.

Nadia: Tenang, gue beliin.

Shavira menutup ponselnya. Besok ia libur kerja, jadi memang waktu yang pas untuk bertemu sahabatnya. Ada rasa hangat menyusup di hati—setidaknya masih ada orang yang peduli padanya.

 

Bus akhirnya berhenti di rute terakhir. Semua penumpang turun, termasuk Shavira. Berhubung kontrakannya tidak jauh, ia memutuskan singgah sebentar ke minimarket di depan. Persediaan di kulkas memang hampir habis.

Setelah selesai belanja, ia menuju kasir.

“Semua totalnya 125.900,” ucap kasir wanita itu.

Shavira menyerahkan uang 127.000, menerima struk dan kembalian. Tangannya meraih plastik putih yang cukup berat, lalu melangkah keluar.

Malam semakin larut. Udara dingin menusuk kulit, tapi Shavira sengaja menarik napas dalam-dalam. Entah kenapa, sejak kejadian tadi, ia mulai belajar menghargai detik-detik kehidupannya. Meskipun ia tahu ajalnya sudah dekat, ia tidak ingin lagi menyia-nyiakan waktu.

Memasuki gang mawar, Shavira akhirnya sampai di kontrakannya.

Cklek.

Pintu terbuka. Rumah itu kosong. Tidak ada Sem di sana. Dengan cepat ia mengunci kembali pintu, lalu menaruh belanjaannya di meja makan. Semua barang ia susun rapi ke dalam kulkas hitam mengkilap di sudut dapur.

Selesai mandi, Shavira rebah di atas kasur. Sambil membuka aplikasi resep di ponselnya, ia mencari menu untuk besok. Tumis cumi pedas, sayur lodeh, ayam tomat, tempe goreng. Bibirnya melengkung tipis membayangkan makan bersama Dinda.

Akhirnya mata berat juga. Ia meletakkan ponselnya di nakas, menarik selimut putih tulang hingga setengah tubuh tertutup, dan perlahan matanya terpejam.

 

☀️

Sinar matahari pagi menembus celah. Di tempat lain, Tono mengerang sambil memegangi kepalanya.

“Argh… kepala gue… sakit banget!”

Ia terhuyung, mencoba bangun. Pandangan berkunang-kunang. “Gue… di mana? Kenapa gue bisa tidur di sini?”

Sambil terduduk di kursi tua, ia memegangi kakinya yang sakit. Ingatan tentang semalam buram. Kosong.

Tangannya gemetar saat merogoh ponsel di saku celana jeans. Beberapa pesan baru masuk.

Tring.

Matanya melebar setelah membaca isi pesan itu. “Sial… mati gue!”

Ia menoleh ke sekitar, panik. Takut ada anak buah Jamal yang sudah mengintai. Dengan tergesa, ia berjalan terseok meninggalkan tempat itu.

 

Sementara itu, di kontrakan, Shavira tengah sibuk menata hidangan di atas meja makan. Sesuai resep yang ia lihat tadi malam, semua masakan sudah jadi. Tumis cumi pedas, sayur lodeh, ayam tomat, dan tempe goreng tersusun cantik.

Ia melepaskan celemek pink, menggantungnya di samping kulkas.

Tok tok tok.

Pintu depan diketuk. Shavira buru-buru membukanya, menampilkan wajah ceria Nadia yang membawa kantong plastik besar.

“Surpriseee! Gue bawa banyak bahan!” seru Nadia ceria.

Shavira tertawa kecil, menerima kantong itu. Tapi sebelum ia sempat mempersilakan masuk, Nadia sudah nyelonong ke dalam rumah, duduk di kursi makan, lalu mengambil sepotong tempe goreng.

“Vir, lo bilang bahan dapur habis. Terus ini apaan?” tanyanya sambil mengunyah.

Shavira melipat tangan di dada. “Gue boongin lo doang.”

“Dasar!” Nadia mencubit lengannya, lalu terkekeh. “Eh, serius nih kita makan di sini?”

“Terus lo maunya di mana?”

Nadia menopang dagu, pura-pura berpikir. “Gimana kalau kita ke taman kota aja? Piknik sekalian.”

Shavira mengangguk. “Boleh juga.”

Mereka pun menyiapkan makanan ke dalam rantang. Nadia lebih dulu masuk ke mobil sambil membawa makanan, sementara Shavira ke kamar untuk memakai jilbab. Ia cepat melilitkan pashmina mocca, cukup serasi dengan bajunya.

Setelah semua siap, ia mengunci pintu kontrakan dan masuk ke mobil merah Nadia.

“Oke, udah siap semua, kan?”

Shavira mengangguk. “Udah.”

Mobil perlahan menjauh dari pekarangan kontrakan. Shavira sempat melirik ke spion—entah kenapa, rumah yang ditinggalkannya terasa asing. Seperti ada bayangan samar berdiri di depan pintu, memperhatikan kepergiannya.

Dan tak lama kemudian—

“Enak sekali pergi tidak ngajak-ngajak.”

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!