Di malam pertama pernikahannya, Siti mendengar hal yang sangat membuatnya sangat terluka. Bagaimana tidak, jika pernikahan yang baru saja berlangsung merupakan karena taruhan suaminya dan sahabat-sahabatnya.
Hanya gara-gara hal sepele, orang satu kantor belum ada yang pernah melihat wajah Siti. Maka mereka pun mau melihat wajah sebenarnya Siti dibalik cadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kuswara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Siti belum juga keluar dari kamar mandi kontrakan satu petaknya. Sudah hampir lima jam dia membersihkan diri setelah tubuhnya disentuh pria lain selain suaminya. Ini sudah hari kelima dia membersihkan diri seperti itu. Tubuhnya sudah sangat kotor, tidak mungkin akan dibersihkannya lagi.
Siti menangis sejadi-jadinya di sana, meluapkan kesedihan yang sepertinya kali ini tidak akan ada ujungnya. Dirinya telah kotor, bagaimana Gio mau menyentuhnya lagi setelah mengetahui dan melihatnya sendiri.
Rasanya Siti ingin mengakhiri hidupnya yang tidak sempurna lagi. Ternodai karena ulahnya sendiri yang mau jauh tidur dari suaminya. Tatapan nanarnya tertuju pada kaca kecil yang menempel di dinding. Dia tidak sanggup lagi hidup dalam penyesalan dan lebih mengakhiri hidupnya.
Sikap Gio pun terlihat sangat berubah setelah tahu dia disentuh Teo. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja. Itu hal yang sangat wajar dan semua pria akan melakukan itu. Dan setelah ini pun hubungan pernikahan mereka tidak akan lagi sama. Pasti ada jarak yang semakin hari semakin membesar dan pernikahan mereka akan berakhir.
Sebelum itu terjadi, lebih baik Siti mengakhiri hidupnya lebih dulu sebelum Gio meninggalkannya.
Prang
Satu pecahan kaca sudah diambilnya. Meletakkan sangat dekat dengan urat nadinya. Ini merupakan puncak di mana Siti tidak bisa menahan lagi semua kesakitannya seorang diri.
Mati menjadi pilihan yang paling benar.
Perlahan namun pasti, tangannya sudah mengeluarkan banyak darah segar. Mulutnya terus berucap mohon maaf kepada suami tercinta yang tidak akan didengar suaminya karena tidak ada di sana. Dia membiarkan darah itu terus mengalir, ingatannya kembali mengenai Ayahnya.
"Maafkan aku, Ayah. Aku harus menyusulmu dengan cara tidak terpuji ini. Aku ternyata tidak bisa tanpa Ayah yang selalu menemaniku di saat sedih dan masa terpurukku."
Keluarga adalah tempatnya pulang dan dia akan segera bertemu Ayah dan Ibunya. Penglihatannya menjadi gelap dan dia tertidur di atas lantai kamar mandi yang dingin.
*
Tubuh lemah Siti merespon ketika matanya terbuka. Tangannya tak bisa digerakkan dengan leluasa karena ada jarum infus yang tertanam di sana. Matanya bergerak ke sana kemari mencari tahu keberadaan dirinya.
"Kenapa aku masih hidup?," batin Siti dengan mata yang sudah basah.
"Kamu sudah sadar?."
Siti menoleh ke arah Gio yang mendekatinya. Bibirnya bergetar dan hatinya terasa perih, tak ada kata sayang yang didengarnya dari mulut pria itu untuk pertama kali pertemuan mereka.
Gio tersenyum namun Siti tahu senyum itu telah berubah.
"Tuhan kenapa tidak ambil nyawaku?." Batinnya menangis.
"Kamu sudah melewati masa kritis, kamu harus sehat biar bisa kembali ke rumah."
Setiap kata yang diucapkan Gio terasa hambar di telinga Siti. Siksaannya jauh lebih terasa menyayat ketimbang dia yang menyayat pergelangan tangannya sendiri.
"Kenapa menyelamatkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati? Kenapa harus menyiksaku lebih lama lagi? Kenapa?..."
"Kamu ini bicara apa, Siti?. Aku pasti akan menyelamatkanmu karena kamu itu istriku!." Gio memegang tangan dingin Siti.
"Aku ingin kamu bangkit dan lupakan semuanya, aku ingin kamu sembuh. Kita pasti bisa melewati masa-masa sulit ini." Semakin erat Gio memegang tangan Siti, hanya memegangnya. Jauh di dalam lubuk hatinya dia pun sangat terluka. Masih ada tembok yang menghalanginya untuk menyentuh Siti.
Keadaan Siti sudah berangsur membaik, walau masih sering melamun. Dokter mengizinkannya pulang. Malam itu juga Gio membawa pulang Siti.
Keduanya merebahkan tubuh setelah makan dan Siti minum obat satu jam yang lalu. Keduanya masih minim komunikasi, terlihat seperti sangat berhati-hati untuk membuka obrolan.
"Pekerjaanku sudah selesai, aku mendapatkan uang yang cukup banyak dan besok kita akan liburan." Kemudian Gio menoleh Siti.
"Apa tidak sebaiknya kamu simpan saja uangnya?." Tatapannya masih ke atas.
Gio menggeleng. "Kita harus liburan, supaya kita bisa sedikit rileks. Lagi pula aku belum mengajakmu jalan-jalan."
"Ke mana?," barulah Siti menoleh. Menatap mata yang terluka.
"Bagaimana kalau ke Bali? Kita berdua suka pantai 'kan?."
Siti mengangguk. Lalu memiringkan tubuhnya membelakangi Gio. Rasanya sangat sesak dadanya berada dalam situasi ini. Air matanya menetes. Tubuh mereka berdekatan namun ada gejolak hati yang tidak mudah diredam.
Tidak ada pergerakan dari Gio, pria itu tetap telentang sambil berusaha memejamkan mata. Bukannya tidak mau menerima Siti tapi dia juga butuh waktu untuk menerima keadaan yang tidak mudah ini. Dia pun menangis dalam kesendiriannya, bekerja dengan hati dan pikiran sakit itu sangatlah tidak mudah.
Semoga semuanya belum terlambat untuk diperbaiki.
Keesokan harinya.
Siti dan Gio sudah berada di Bali, menyewa sebuah resort pinggir pantai. Memanjakan mata, hati dan pikiran yang sedang buram.
Keduanya langsung makan hidangan pembuka yang disediakan resort. Jika biasanya mereka akan mengomentari rasa, warna dan penyajiannya. Kini mereka hanya diam, menikmati makanan yang mengenyangkan perutnya.
Rambut panjang Siti terurai, tertiup angin hingga rambut itu sedikit berantakan. Duduk di pinggir pantai dengan tatapan jauh menerawang. Liburan ini tidak dibutuhkannya, dia hanya ingin peristiwa itu tidak pernah ada terjadi dalam hidupnya.
Dari semua cobaan hidup dalam rumah tangganya ini adalah cobaan terberat sampai dia mengakhiri hidupnya namun alam tidak menyambutnya.
"Ternyata kamu di sini," Gio duduk di sebelah Siti. Setelah mencari ke mana-mana keberadaan istrinya. Dia sangat takut wanita itu akan berbuat nekat lagi. Gio tidak pernah siap untuk kehilangan Siti.
Siti sangat cantik bahkan jauh lebih cantik dari biasanya. Semakin lama Gio menatapnya semakin menari-nari Teo di sana. Gio pun segera memalingkan wajahnya.
"Pasti dia sangat jijik padaku," tebak hati Siti pedih. Kemudian dia bangkit dan berlari ke arah ombak yang datang. Dia menangis lagi di sana, membiarkan air laut membawa tubuhnya pergi. Ini percobaan bunuh diri yang keduanya.
Mungkin saja akan berhasil kalau Gio tidak menyadarinya. Tapi pria itu melihatnya dan segera datang menyelamatkan Siti.
"Kenapa kamu yang terus mencoba mati? Kenapa tidak keparat itu saja yang lenyap dari dunia ini?." Teriak Gio sambil berusaha menarik Siti ke pinggir pantai setelah berjuang mengambilnya dari tengah lautan.
Mata Gio basah, mata merahnya bertatapan dengan Siti yang merah juga.
"Aku harus apa supaya kita bisa kembali ke masa-masa itu?." Tanya Siti.
"Aku tahu kita sama-sama terluka," tangis Siti pecah. "Aku pun tidak mau melukaimu lebih dalam lagi. Jadi biarkan aku mati membawa luka-luka ini. Setelah itu kamu bisa menata hidupmu yang baru."
Gio menghapus air mata Siti setelah menghapus air matanya sendiri.
"Tetap berada di tempatmu, kita akan selalu bergandengan tangan." Kemudian Gio memegang erat tangan Siti. "Biarkan masa sulit ini melewati kita, kita hanya perlu berjuang lebih keras lagi. Kita pasti bisa, waktu yang akan menyembuhkan luka kita tanpa kita harus menghindarinya."
Siti hamil anak Gio
saat kejadian malam kelam yg lalu,AQ yakin bahwa yg tidur dgn Teo bukanlah Siti melainkan Asih
tetap semangat berkarya kak 💪💪🙏🙏
semoga asih n teo dpt karma yg lebih kejam dari perbuatan nya pada siti