Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perubahan sikap dalam tim
Di sebuah paviliun penginapan di desa sunyi,
Banxue dan yang lainnya menginap di sana—rumah sederhana yang telah disiapkan oleh penduduk desa sebagai ucapan terima kasih.
Di dalam kamarnya, Banxue duduk di sisi tempat tidur. Wajah Anyu masih membayang di pikirannya, mengganggu ketenangannya.
Dulu, Anyu begitu dalam menyayanginya. Tapi kenapa sekarang... dia tega menyerangnya?
“Anyu, apa yang sebenarnya terjadi padamu...” gumamnya lirih, menarik napas dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Pikirannya kalut, dan itu jelas tergambar dari wajah dan sorot matanya.
Tiba-tiba, langkah pelan terdengar mendekati kamarnya. Entah siapa, namun ketukan yang ragu terdengar dari balik pintu.
Tok... tok tok!
“Banxue, ayo makan malam dulu,” seru seseorang dari luar.
Banxue mengenali suara itu.
Wayne.
“Tunggu sebentar.” Ia bangkit, melangkah ke arah pintu, lalu membukanya perlahan.
“Yang lain sudah di sana?” tanya Banxue, menatap Wayne, meskipun tatapannya berusaha menghindar.
“Iya. Mau bareng ke sana?” tanya Wayne, terdengar agak canggung.
“Eung...” Banxue hanya mengangguk, lalu keluar kamar dan menutup pintunya pelan.
Sepanjang perjalanan, Wayne hanya menatap punggung Banxue yang berjalan di depannya.
“Aku tidak mengerti... perasaan apa yang sebenarnya aku punya untukmu?” gumamnya dalam hati.
Banxue tiba-tiba menoleh, melihat Wayne yang kini berjalan lebih pelan, seperti melambat dengan sengaja.
Langkahnya terhenti. Ia bisa merasakan—Wayne ingin bicara sesuatu.
Cahaya lampu yang temaram bersenandung bersama angin malam. Suasana menjadi lebih dingin, seiring sorot mata Banxue yang mulai berubah.
Kini mereka saling berhadapan. Tapi masih ada satu langkah jarak di antara mereka.
“Wayne, ada apa?” tanya Banxue pelan namun penuh rasa ingin tahu.
“Tidak apa-apa. Kenapa?” Wayne menjawab cepat, menyunggingkan senyum tipis yang tampak dipaksakan.
“Aku tahu kau memendam sesuatu. Apa itu? Katakan saja,” ujar Banxue sambil memiringkan tubuhnya, melirik Wayne dari ujung mata.
Wayne sedikit menegang. Ia gugup. Mungkinkah Banxue sudah menyadari sesuatu?
Atau... ini hanya pikirannya sendiri yang terlalu jauh.
Wayne diam sejenak. Ia melangkah setengah langkah mendekat.
Namun Banxue justru mundur satu langkah.
“Tidak usah dipikirkan, Banxue. Lagipula... itu hal yang tidak penting,” katanya cepat, seperti menolak luka yang nyaris muncul.
Banxue berbalik. Ia kembali melangkah perlahan.
“Kalau begitu, jangan menatapku dengan tatapan seperti itu lagi. Aku tidak suka,” ujarnya tegas, kali ini mempercepat langkah.
Wayne tak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah Banxue dari belakang.
Ia mendengar... tapi menolak menerima kata-kata itu.
“Kenapa dia tak bisa sehangat saat bersama Jingyan? Padahal aku yang lebih dulu mengenalnya. Tapi setiap aku mencoba bicara, jarak itu tetap ada.”
“Kenapa dia terus mendorongku menjauh? Apa... dia masih belum memaafkanku?”
Mereka tiba di ruang makan. Fengyu, Jingyan, dan Linrue sudah duduk mengelilingi meja bundar.
“Kalian menungguku? Kenapa tidak makan duluan saja?” tanya Banxue sambil menarik kursi dan duduk di samping Jingyan dan Fengyu.
Wayne duduk di sisi Linrue, bersebelahan dengan Jingyan.
Fengyu tersenyum tipis.
“Kita harus setia kawan. Kita ini tim Xuer, jadi kau tidak bisa menolak atau menyuruh kami makan duluan,” ucapnya sambil melirik seisi ruangan.
“Yapp~ jangan terlalu keras pada kami, Banxue. Kau ini terlalu dingin untuk ukuran manusia,” goda Jingyan sambil mengangkat alis.
“Banxue, mau coba ini?” Linrue mengambilkan sayur dari hadapannya dan meletakkannya di piring Banxue, senyumnya manis seperti bunga musim semi yang baru mekar.
“Ya, terima kasih. Aku pikir hari ini kalian semua terlihat... manis. Apa ada sesuatu?” tanya Banxue sambil menatap sayur di piringnya.
“Tidak ada,” jawab Jingyan sambil menyeringai menggoda.
“Ish, baiklah kalau begitu. Ayo makan. Lihat ini—banyak sekali makanannya. Kalian harus habiskan semuanya!” seru Banxue, menunjuk meja yang penuh hidangan.