Kevin Xander AdiJaya adalah cowok yang sangat susah mendapatkan kebahagiaan yang tulus dalam hidupnya. Kevin selalu di setir oleh papah angkatnya sehingga membuatnya menjadi sangat muak dan memutuskan untuk pergi dari rumah.
Namun Kevin masih bertahan sejauh ini karena ada satu wanita di hidupnya, yaitu Adara Syila Alterina. Namun Kevin selalu gengsi menunjukan perasaannya kepada Dara, jadi ia selalu mencari cara agar bisa ribut dengan Dara.
Sampai suatu hari ada sepasang suami istri yang mengaku sebagai orang tua kandung Kevin, siapakah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hiburan Berguna
“Kev...” Dara menggenggam wajah Kevin dengan kedua tangannya. “Aku percaya sama kamu. Aku tahu kamu nggak akan bohong. Dan... aku di sini, ya? Kamu nggak sendirian.”
Pelan, Kevin kembali meraih pelukan Dara. Kali ini lebih lama. Lebih erat. Dan lebih penuh rasa terima kasih.
“Terima kasih, Dara...”
Dara mengangguk di pelukan Kevin, walau air matanya mulai menggenang.
“Mulai sekarang, apa pun yang terjadi... kamu harus cerita sama aku, oke?.”
"Oke...siaap ketua"
Kevin perlahan melepaskan pelukannya dari Dara, senyumnya masih tertinggal di sudut bibir. "Ayo, balik ke kelas, kita udah ketinggalan satu jam pelajaran. Jangan sampai Bu Rini muncul terus nanya kita habis ngapain," godanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Dara mendengus kecil, lalu menjitak pelan lengan Kevin. "Yang ngajak ke rooftop siapa, yang takut dimarahin siapa."
"Aku cuma korban... korban kenyamanan pelukan Dara," jawab Kevin lebay sambil menaruh tangan di dada seolah sedang bermain sinetron.
Dara memutar bola matanya, tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan.
Setibanya di kelas, ternyata suasana tidak seperti yang mereka khawatirkan. Kelas kosong. Tak ada guru. Hanya keributan kecil dari teman-teman sekelas yang sedang ngobrol, main game, atau sibuk dengan dunia mereka masing-masing.
"Hah, selamat!" Dara menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi lega.
"Untung bukan jam Bu Rini. Kalo iya, kita pasti udah disidang di depan kelas," tambah Kevin sambil berjalan ke arah bangkunya.
Namun, langkahnya terhenti. Wajahnya mendadak berubah.
"Eh, si Vellos ke mana?" gumamnya pelan. Biasanya cowok itu selalu duduk dengan gaya malas, bersandar seperti raja di singgasana.
Diki, yang duduk di bangku depan kevin, langsung menoleh. "Tadi dia keluar nyari lo. Udah setengah kelas dia kelilingin kayak detektif nyari buronan."
Baru saja Kevin hendak bertanya lebih lanjut, suara langkah cepat terdengar dari pintu.
"KEVIIIIINNN!!!"
Kevin menoleh, dan benar saja, Vellos muncul dengan napas ngos-ngosan, rambut acak-acakan, dan tangan menenteng sesuatu yang tampak seperti... mangkuk bakso.
"Gila lo ya, dari tadi gue muter-muter nyari lo! Gue sampe nyaris nyasar ke kelas sebelah, masuk, terus ditatap anak IPS kayak alien. Lo habis dari mana aja sih?!"
Kevin belum sempat menjawab, Vellos langsung menyodorkan semangkuk bakso ke depan wajahnya.
"Nih! Lo belum sempat makan, kan? Yang tadi lo beli tumpah gara-gara ketua OSIS sialan itu kan? Nih gue sebagai sahabat yang mengerti kelaparan Lo, gue beliin yang baru!"
Kevin memandang mangkuk bakso itu dengan ekspresi dramatis. "Los... ini... beneran buat gue?"
"Ya iyalah! Masa buat Pak RT?"
Seisi kelas mulai menoleh. Beberapa anak mulai tertawa pelan.
Kevin menatap isi mangkuk. Wajahnya makin serius. Bahkan sedikit berkaca-kaca.
Vellos langsung tersentuh. "Iya kan... lo pasti terharu punya sahabat kayak gue. Sampai mau nangis gitu... Aduh, jangan bikin gue ikut nangis dong. Persahabatan tuh indah, bro."
Kevin menggeleng pelan. "Bukan itu, Los..."
"Hah? Terus?"
Kevin menunjuk mangkuknya. "Bakso besarnya nggak ada. Isinya kecil-kecil semua."
Suasana hening selama tiga detik, dan kemudian seisi kelas meledak tertawa.
Vellos menepuk dahinya. "Gue beli di Abang bakso yang sebelah kantin, dia emang nggak punya bakso besar. Beruntung Lo, nggak cuman gue kasih kuahnya doang, niat gue tulus tauk!"
Kevin mendekap Vellos dengan dramatis. "Los, lo emang menyebalkan, tapi gue beruntung punya sahabat kayak lo."
"Akhirnya lo sadar juga," kata Vellos sok bangga.
Kevin melepaskan pelukannya lalu duduk dan mengambil sendok. "Tapi serius, lo harus bilang ke abang itu. Bakso besar tuh simbol perjuangan hidup. Kalo kecil semua tuh kayak... harapan yang mengecil."
"Lo makan dulu tuh harapan kecil," sahut Vellos sambil duduk.
Kevin menyantap bakso itu dengan lahap. "Hmm... walau kecil, rasanya mantap juga."
Vellos tersenyum, lalu nyeletuk, "Yeee, lo mah apa aja enak."
"Eh! Lo ngomong apa barusan?!"
"nggak... Nggak... Kentut doang gue tadi."
Seisi kelas kembali tertawa, dan suasana pun jadi hangat dan penuh tawa. Bakso kecil yang tadi dikeluhkan Kevin justru jadi pemicu kehebohan manis di tengah hari sekolah yang panas.