Mereka sama-sama pendosa, namun Tuhan tampaknya ingin mereka dipertemukan untuk menjalani cinta yang tulus.
Raka dan Kara dipertemukan dalam suatu transaksi intim yang ganjil. Sampai akhirnya keduanya menyadari kalau keduanya bekerja di tempat yang sama.
Kara yang supel, ceria, dan pekerja keras. Berwatak blak-blakan, menghadapi teror dari mantan suaminya yang posesif. Sementara Raka sang Presdir sebenarnya menaruh hati pada Kara namun rintangan yang akan dihadapinya adalah kehilangan orang terpenting di hidupnya. Ia harus memilih antara cintanya, atau keluarganya. Semua keluarganya trauma dengan mantan-mantan istri Raka, sehingga mereka tidak mau lagi ada calon istri yang lain.
Raka dan Kara sama-sama menjalani hidupnya dengan dinamika yang genting. Sampai akhirnya mereka berdua kebingungan. Mengutamakan diri sendiri atau orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Twenty Nine
“Kadang aku penasaran...” Raka menurunkan ponselnya. Pria itu duduk di sofa dekat jendela, menyilangkan kakinya sambil menatap Kara yang masih makan mie ayam dengan tak acuh. Sementara Puspa sudah pamit dari tadi, beberapa detik setelah Raka datang. “Tentang teman-teman kamu.”
“Hm? Kami sudah seperti saudara. Seperti Om dan teman-teman Om.”
“Bukan itu yang buatku penasaran, tapi mengenai tema obrolan kalian. Apa sih yang biasanya dibicarakan antar wanita yang sudah kenal lama?” tanya Raka.
Kara terkekeh kecil, lalu membereskan sisa makannya. Ia letakkan di meja sebelahnya sambil ambil minum dari botol air mineral di sampingnya.
“Tidak, Om Raka tidak penasaran mengenai hal itu.” Kara menggoyang-goyangkan telunjuknya, “Tapi Om Raka penasaran mengenai topik pembicaraan kami barusan. Benar? Karena ada nama Raidan di sebut.”
Raka terkekeh, “Kamu ngerti bener, deh.”
Dan pria itu berdiri, lalu mendekati Kara. Ia tersenyum, namun mimik wajahnya tampak suram. Seakan senyum yang dibuat-buat dan tidak sepenuhnya ikhlas.
“Raidan masih kecil, belum aku izinkan cinta-cintaan.” Desisnya. “Dia masih harus menata hidupnya supaya lebih stabil dan mapan. Apalagi latar belakang Puspa yang berantakan. Bukannya tidak selevel, tapi Raidan masih belum bisa dibebani dengan keluarga yang akan menggantungkan hidupnya sepenuhnya padanya.”
Inilah...
Yang Kara sudah tahu akan ia hadapi.
Egois Raka yang besar.
Ia meraih semuanya dengan tangannya sendiri, sampai uangnya tak berseri lagi di tabungan. Ditambah, berkali-kali ia mengalami tragedi yang berkaitan dengan masalah ‘cinta’.
Jelas, ia akan lebih ketat memperhatikan supaya anak-anaknya tidak menjadi korban sepertinya, karena rasa sakit yang akan dialami akan terasa lebih menyakitkan dibanding dia yang mengalami sendiri.
Kara percaya bukan masalah kemiskinan Puspa yang jadi kendala, tapi ini masalah beban hidup yang akan ditanggung Raidan dan diri Raka.
Apalagi, Raka belum mengenal Puspa.
Dan dalam kasus ini, Puspa yang ‘suka’ ke Raidan.
Kalau dalam sinetron biasa, Raka mungkin akan jadi tokoh antagonis.
Tapi dalam realita hidup, konglomerat seperti Raka lebih memilih bersedekah miliaran ke orang random daripada harus menerima satu ‘keluarga besar asing’ menjadi bagian dalam keluarganya, memasuki hidupnya, dengan berbagai watak yang ia tidak kenal.
Itu akan jadi beban seumur hidup.
Mungkin bukan dari Puspanya, tapi dari orang yang mengaku sebagai ‘saudara jauh’ mereka.
Tipikal keluarga 'berada' macam Raka, Menambah keluarga berarti menambah masalah. Dan bisa jadi akan berimbas ke bisnisnya. Karena itu mereka senantiasa menyortir semua kandidat yang akan menjadi bagian dari mereka. Jangan sampai memalukan nama keluarga yang imej-nya sudah mereka bangun berpuluh-puluh tahun.
“Hm... jadi kamu memilihku karena aku yatim piatu?” balas Kara.
Raka terdiam.
Tapi wajahnya masih sinis.
“Kamu bicara begini padaku bukan karena tidak setuju padaku, tapi karena kamu terbiasa menantangku.” Kata Raka.
Dan ia sepenuhnya benar.
“Hehe.” Kara merebahkan dirinya di ranjang dan menatap ke atas, ke arah televisi yang tergantung di depannya. “Aku lebih memilih diam dan mengamati. Raidan mungkin respek dengan Puspa karena pekerja keras. Raidan menyukai wanita yang mandiri, dan ia melihat itu di diri Puspa.”
Lalu ia menatap ke arah Raka.
“Sebagai sahabatnya, aku berani jamin kalau Puspa bukan jenis lintah penghisap harta seperti mantan istri-istri kamu. Ia didik adik-adiknya agar bermental baja dan pekerja keras. Mereka bahkan patungan untuk membiayai ibunya operasi steril.”
Raka melihat Kara seperti tak yakin, dan mungkin pria itu akan menyelidiki Puspa lebih jauh setelah ini.
“Yang jelas Om, cinta itu buta. Om rasakan sendiri selama ini. Belum tentu juga Raidan menyukai Puspa, ia mungkin cium tangan karena menghormati yang lebih tua, atau karena tahu Puspa itu temanku, atau hal lain yang kita tak tahu.”
**
“Gue suka sama cewek aneh, tapi gue nggak tahu dia siapa. Lo bisa bantu cariin?”
Kara hanya bisa mencibir kesal saat kata-kata itu meluncur dari bibir Raidan yang sore itu menjenguknya.
‘salah dah gue’ begitu batin Kara.
“Lu tuh...” ia mengangkat tangannya dan menoyor dahi Raidan. “Nye-streples dokumen aja belum bener, ngetik aja banyak typo, belum bisa ngitung neraca balance apa kagak, udah berani suka sama cewek setegar Puspa hah?! Lu tanya ke gue karena tahu kalo Puspa tuh teman gue kan?! Hah?! Hah?! Haaaaah?!”
“Buset dah galak bener, tapi galakan dia sih Mah.” Desis Raidan.
“Siapa yang lo panggil Mah? Gue?!”
“Ya iyalah, kan calon mamah baru!”
“Belom tentu! Gue masih sering kesel sama bokap lu!”
“Dahlah terima aja bokap gue, bukan karena duitnya banyak ya, gue yakin lo bisa cari duit sendiri tanpa bokap gue. Tapi karena... bokap gue itu bucin, hidup lo bakalan sering dia ganggu sampai lo terima dia jadi kekasih.”
“Kekasih... omongan lu dah kayak boomers.” Dengus Kara. “Masih belum banyak kecocokan antara kami. Dan harusnya lo selidiki dulu Puspa itu siapa sebelum lo suka.”
“Dia pekerja keras. Adiknya 7.” Jawab Raidan.
Kara terdiam.
Raidan sudah tahu sejauh itu, dia penasaran, apa lagi yang Raidan sudah tahu mengenai Puspa. Sudah seberapa jauh obrolan mereka.
“Jadi lo pasti tahu kan, kalau Puspa nggak bakalan cari cowok buat main-main. Orientasinya menikah dan hidup lo masih dibiayai bokap lo. Kalo bokap lo ngamuk dan ngehapus lo dari KK, lo mau ngasih makan Puspa dan adik-adiknya pake apa? Mereka butuh makan nasi loh, bukannya fotosintesis langsung tumbuh!” Kata Kara.
“Yah itu mah kelamaan. Berapa tahun waktu yang gue butuhkan untuk bisa ‘sebesar’ bokap hah? Bokap gue aja meniti kemapanan selama 20 tahun loh.”
“Dan lo dengan pedenya mau pacaran sama Puspa pake modal Goceng?! Nggak tahu malu lu.”
“Pacaran ya pacaran doang, jalan-jalan, liburan. Pake duit bokap khehehehe.”
“Bilang aja lo suka Puspa karena dia cantik.”
“Iya, dia emang cantik. Dan galak juga hahaha.”
“Fetish lo di situ ya, Cantik, galak, mandiri. Kalo nggak bisa nahan birahi sana beli alat pijat. Ada tuh yang langsung ngisep-“
“Nggak segamblang itu juga ngejelasin ke gue!” Raidan langsung menutup mulut Kara. “Dan kenapa lo bisa tahu gue punya alat itu heh?!” ia berbisik ke arah Kara dengan nada mengancam.
Kara melirik ke arahnya dengan pandangan ‘Gue nggak tahu cuma nebak doang’ karena mulutnya lagi dibekep sama tangannya Raidan.
“Gini deh, bangor...” Kara menepis tangan Raidan dari mulutnya. “Ubah mindset lo tuh. Lo mikir. Kalau lo kasih makan Puspa pake duit Pak Raka... bukankah itu berarti, sebenarnya yang pacaran itu adalah Puspa dan Pak Raka? Harga diri lo langsung minus. Ditambah lo jalan-jalan pake duit Pak Raka, itu kan sama aja Puspa lagi jalan-jalan sama pak Raka, bukannya lo. Lah dia seneng pake duit bokap lu. Jadi yang nyenengin dia ya bukan lu, tapi bokap lu!”
“Aishhhh...” Raidan langsung mundur. “Kok lu nohok banget ngomongnya...” ia mengeluh.
“Itu kenyataannya! Gue ngomong karena gue care!” sahut Kara.
Raidan langsung duduk di kursi sebelah Kara.
Pandangannya ke arah lantai.
Dia sedang berpikir.
Caranya mengerutkan kening bahkan lebih serius daripada memikirkan pelajaran sekolah ice breaking yang kadang soalnya nggak ngotak. Seperti, ‘Kalau pekerjaan Ani adalah Bidan, dan pekerjaan Clara adalah Dokter, maka apa pekerjaan Erni?’ laaah, lu tanyalah ke Erni apa kerjanya? Fetani mungkin, Framugari mungkin? Ya kalo pake inggris banyak, kalo profesi pakai bahasa Indonesia apa’an coba yang depannya huruf F?’ Eeeeh jawabannya malah Food Blogger. Kan pingin lempar sepatu ke papan tulis.
“Oke, kalo gitu gue tahu solusinya.” Sahut Raidan sambil mengangkat wajahnya dengan mata berbinar.
“Apa?” Kara udah waspada saja dengan tingkahnya.
“Gue minta bokap naikin gaji gue.”
Weleh, weleh, weleh...