Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Ragu dan penyesalan mulai menguar
“Apa sa? Jelaskan semuanya!” Tekan Nara.
Memang benar adanya, hubungan antara Rama dan Nara memang masih seumur jagung, terlalu cepat memulai saat belum mengetahui isi di dalam Kehidupan keduanya. Tetapi, sedikit banyaknya Nara sudah memiliki kenyamanan, rasa yang sudah ia titipkan agar mampu berjalan beriringan.
Mahesa mengangkat senyumnya begitu penuh tanda tanya, “ini tidak gratis Sayang.” Ungkapnya.
Nara sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan selanjutnya, bahkan dalam bayangnya, ‘hubungan ini semakin jauh, apa ini akan berjalan benar sampai akhir? Bahkan bukan hanya rasa, tapi semua hidup sudah aku berikan.’
“Anara …” Hentaknya membangunkan Nara dari pandangan kosongnya.
Nara mengerjapkan kedua matanya, “iyaaa.” Ucapnya panjang.
Mahesa membangunkan tubuh Nara, mereka berdiri berhadapan dengan mata yang saling memandang dan tangan yang saling menggenggam, “kita habiskan waktu bersama dulu ya.” Pinta Mahesa.
“Ini bahaya Sa, bagaimana jika nanti istri mu pulang?” Nara heran kenapa Mahesa begitu berani, bahkan jika dipikir mereka hampir setiap hari berhubungan, wajah heran kentara sekali ia tampakkan.
Mahesa langsung merangkul pundak Nara membawa ke arah kamar tamu yang tak ditempati, “Aman.” Balasnya tanpa ragu.
Begitu sampai, Mahesa mengunci pintu rapat, ia mengeluarkan totebag kecil berwarna putih dari lemari di kamar itu, “pakailah.” Perintahnya kearah Nara.
Nara langsung melihat isi di dalamnya, wajahnya langsung tercengang, “apa ini Sa?” Sungguh jiwanya begitu heran, selama ini bahkan dirinya belum pernah berpakaian seperti itu.
Mahesa memajukan wajahnya hingga berjarak satu jengkal tangan di depan wajah Nara, “pakai, aku ingin melihat mu tampil seksi.” Bisiknya menyeringai.
Alis Nara mengkerut, “tapi kan ….” Ucapannya terpotong begitu Mahesa langsung mendorong pelan tubuh Nara ke kamar mandi.
Nara membeberkan baju yang kini ada di tangannya, ‘seumur-umur belum pernah pakek baju kayak gini, tipis banget.’
Nara masih diam di depan kaca yang menampilkan wajahnya, pikirannya mulai berpikir jauh, ‘aku terlalu jauh bersamanya, mungkin jika di nilai apa lebih kotor tingkah ku dari Mas Rama.’ helaan nafasnya memberat, ada rasa penyesalan yang mulai hinggap.
“Nara Sayang, kenapa lama sekali.” Suara di luar pintu terdengar.
Nara kembali meraih totebag yang tadi ia letakkan, dengan rasa yang tak sepenuhnya ia menuruti perintah Mahesa, “ya sebentar.”
*
*
*
Begitu keluar, Nara berdiri malu-malu, sebisanya ia menutupi daerah yang menurutnya lebih sensitif, “Kenapa di tutup biarkan aku melihat semuanya dengan cara yang beda.” Ungkap Mahesa yang wajahnya mulai memerah.
Nara menjatuhkan pada pandangan di depannya, tubuh Mahesa yang kini polos tanpa busana. Sekelebat bayangan Rama yang tertawa lewat di angannya, helaan nafasnya memberat.
Mahesa membenarkan tangan yang menurutnya salah dia lihat, tawanya menggelegar begitu puas saat terbentang di matanya apa yang ia mau, “Cantik sekali, meskipun aku bercinta dengan Gea tapi bayangan wajah mu yang memaksa ku untuk bisa melakukannya.” Ujarnya tanpa malu.
Nara yang mendengar ungkapan itu seperti terlalu bersalah pada istri Mahesa, ia menganggap dirinya sebagai bahan fantasinya saat ingin Mahesa tak sesuai dengan yang dia mau.
“Bolehkan aku tau sekarang?” Tanya Nara memberi penawaran.
Tanpa menjawab dan aba-aba, Mahesa menghentakkan tubuh Nara ke arah kasur empuk di depannya.
Kabut gairah mungkin sudah menggunung dalam dirinya, “nanti …” Katanya.
*
*
*
Nafas tersenggal dengan ritme yang menyepat, suhu panas mendominasi bahkan ac yang sejuk tak cukup mendinginkan udara yang menyempit.
Di atas kasur yang bungkusnya sudah berantakan, pakaian bercecer kemana-mana.
Diantara gabut gairah yang tengah membara, tak sedikitpun dari Mahesa merasa cukup meski berulang kali bertukar keringat.
Disaat penyatuan mereka yang tengah intens, “Mas …” terdengar suara perempuan dari arah luar.
Seketika tubuh keduanya beku, hasrat yang diatas ubun-ubun seketika lenyap, terganti dengan rasa gelisah, “Sa…” Ucap Nara pelan sambil mendorong tubuh Mahesa yang ada di atasnya.
Mereka langsung kalang kabut, memunguti pakaian yang bercecer dan sedikit membenarkan kasur yang berantak meski tak serapi adanya.
Mahesa langsung menarik tangan Nara ke arah kamar mandi, “jangan kemana-mana sebelum aku yang kesini ya.” Suruhnya pelan.
Jantung Nara sudah berdetak tak karuan, otaknya sudah membayangkan hal-hal yang tak diinginkan. Dicakar, dijambak, dihakimi dan paling buruknya kata pelakor yang akan keluar dari mulut semua orang.
Suara pintu kamar itu terdengar, “Mas kamu ngapain disini?” begitu Gea melihat suaminya keluar dari kamar yang tak biasa mereka huni.
Mahesa berusaha sekuat tenaga membiasakan dirinya diantara jantungnya yang sekarang seperti tengah lari-larian, “ini, tadi istirahat disini.” Jelasnya buntu.
Gea merasa bingung, “kenapa disini? Kamar kita lebih nyaman dari kamar ini.” Tanyanya mulai keheranan.
Mahesa memutar otaknya lagi mencari alasan, “pengen aja disini, cari suasana baru.” Jelasnya yakin tak yakin akan di percaya.
Gea langsung menerobos masuk ke dalam kamar, melihat ke sekeliling yang menurutnya sangat berantakan. Sedangkan Mahesa gerak tubuhnya tak bisa tenang, akan banyak yang berantakan jika semuanya mudah terbongkor.
Mahesa menghalau langkah Gea, “jangan kesini Sayang, disini masih banyak debu.”
“Kamu nyaman tidur disini Mas?” Tanya Gea heran, matanya masih menyapu semua yang ada dalam ruangan.
Mahesa langsung merangkul pundak Gea, “biasa saja. Kenapa kamu cepat sekali? Uangnya kurang?” Usahanya mengalihkan fokus Gea.
“Nggak lagi males aja mallnya rame banget.” Gea melepas rengkuhan Mahesa, berjalan berkeliling seisi kamar, dari ruang ganti dan, “Gea tadi aku ingin menelfon mu buat beli gaun yang begitu cantik. Aku ingin mengajak mu makan malam romantis dan menghabiskan waktu di hotel yang sudah aku pesan jauh-jauh hari.” Ujar Mahesa sekenanya.
Gea yang memegang gagang pintu kamar mandi, seketika menghentikan gerakannya, tubuhnya berputar menghadap ke arah Suaminya, “benarkah?” Tanyanya meyakinkan.
Mahesa menganggukkan kepalanya, “tadinya ingin membuat kejutakan, tapi sudah aku katakan sekarang.” Wajahnya ia sedih-sedihkan agar usahanya tidak gagal.
Gea langsung memeluk tubuh Mahesa erat, “aku akan mencari gaun yang sangat cantik dan lingery yang begitu seksi. Kita akan bercinta semalaman penuh.” Ungkapnya tanpa jaim.
Nara yang berdiri di sudut kamar mandi tubuhnya gemetar, wajahnya pias, rasa takut kini mendominasi dirinya. Hampir, hampir saja semua akan berantakan.
Bahkan hatinyapun mendengar percakapan sepasang kekasih halal yang rumah tangganya tengah ia tamui itu terasa campur aduk. Mendengar manisnya Mahesa dan apa katanya tadi, ingin menghabiskan malam bersama, ada rasa perih yang hinggap.
*
*
*
“Apa kamu akan kembali ke mall? Kenapa terburu-buru.” Tanya Mahesa seolah tak berekting, begitu melihat langkah Gea akan keluar rumah lagi.
Gea sejak tadi melayangkan senyum manisnya, menurutnya sekarang Mahesa sudah ada perkembangan baik dalam hubungan mereka, “aku akan mempercantik diriku, agar kamu tak malu ketika berjalan dengan ku.” Ungkapnya penuh ketulusan.
Mahesa membalas senyumnya, “baiklah aku tunggu.”
*
*
*
“Sayang …” ucap Mahesa begitu pintu kamar mandi terbuka.
Nara tetap pada lamunannya, jiwa kagetnya masih begitu terasa, “ini terlalu bahaya Sa, aku nggak mau ngerusak ke bahagiaan perempuan lain dan itu istri mu. Aku nggak mau lagi kaya gini, ini salah, aku terlalu jahat melukai hati Gea.”
Mahesa yang mendengar itu seakan amarahnya terpancing, “aku sudah membahagiakan mu Anara, bahkan mencari tau semua tingkah laku suami mu disana. Aku tak mencintai Gea, aku hanya menginginkan mu dulu, sekarang dan esok sampai akhir, aku tak akan melepaskan mu begitu saja, bahkan mencari mu itu penuh ke sulitan dan sekarang aku melepas semua yang sudah di depan mata.” Nadanya tinggi dominan, urat lehernya menonjol dan pandangannya tajam tak seperti biasanya. Mahesa memojokkan tubuh Nara pada tembok, tangannya menghalau langkang Nara.
~