NovelToon NovelToon
Renjana Senja Kala

Renjana Senja Kala

Status: tamat
Genre:Romantis / Contest / Romansa / Tamat
Popularitas:19.3M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SEGERA TERBIT CETAK

"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".

***

Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.

Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.

Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.

Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28. Hate Loen Han Get-Get Mantong

Hate Loen Han Get-Get Mantong

(Hatiku tidak sedang baik-baik saja -bahasa Aceh-)

***

Jakarta

Pocut

Apa yang selama ini dikhawatirkan, akhirnya terjadi tepat di depan mata. Tak lagi bisa menghindar.

Ibarat peribahasa, sepandai-pandainya tupai melompat, sekali waktu jatuh juga. Sepandai-pandainya menghindar, akhirnya bersua juga. Dan bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali.

Pertama di kantor Selera Persada. Kemudian di rumahnya. Dan sekarang di kantor polisi. Dalam suasana penuh kecemasan, menunggu nasib yang sedang dialami Icad.

Tapi ia justru dihadapkan pada situasi canggung yang lebih mengkhawatirkan. Benar-benar sulit untuk dipercaya. Jika ia dan pria ini, bisa berada dalam garis waktu yang sama secara berturut-turut.

Lalu alasan mengapa dirinya selama ini menghindar?

Tentu saja karena prinsip yang dipegangnya. Bahwa siapapun pria yang berusaha mendekat, ia harus segera berlari menjauh. Sebab tak ingin sosok asing, tiba-tiba hadir lalu menempati posisi Bang Is di hatinya. Tidak sampai kapanpun.

Ia bahkan sudah berjanji pada diri sendiri. Tak akan ada orang lain. Ia ingin selalu bersama Bang Is. Meski itu artinya, ia harus menunggu hingga kehidupan setelah kematian.

Tapi ia akan terus dan tetap menunggu.

"Apa sikap saya membuat kamu tak nyaman?" suara bass itu kembali terdengar.

Membuatnya harus berkali-kali menelan ludah. Dengan mata terpaku pada botol air mineral yang telah dibuka sealnya.

Kesan pertama terhadap pria ini sebenarnya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Pun tentang perubahan sebutan dari "pak" menjadi "mas". Masih dalam taraf wajar.

Namun mulai terasa mengganggu ketika tanpa sadar, mereka telah berbicara berdua di meja makan, dengan intens, dan dalam waktu yang cukup lama.

Ia tentu terkejut dan tak pernah menyangka. Jika wanita secanggung dirinya, bisa begitu terbuka berbicara dengan pria asing yang baru dikenal. Meski dengan dalih membicarakan tentang tradisi dan budaya. Benar-benar sudah di luar nalar.

Jadi, ketika kecelakaan yang dialami Sasa justru kian mendekatkan mereka secara fisik. Ia tentu harus segera mengambil sikap. Terlebih, Sasa terlihat begitu jatuh cinta dengan pria ini.

Yang benar saja. Itu hanya bisa terjadi karena memori Sasa tentang Bang Is, tak semelekat yang dimiliki kedua abangnya. Hingga kehadiran pria ini, disambut bak oase di padang pasir.

Semua kenyataan ini, membuatnya tanpa sadar mengembuskan napas panjang dan berat. Dengan pikiran yang benar-benar buntu. Tak lagi bisa mencari jawaban paling tepat untuk diberikan. Terlebih mulutnya mendadak terasa kaku. Lengkap dengan lidah yang kelu.

"Semoga informasi tentang saya tadi ... bisa menghapus rasa ketidaknyamanan kamu," ujar pria itu lagi.

Lagi-lagi ia harus menelan ludah. Sebab ingatannya justru kembali melayang, pada momen memalukan yang pernah terjadi di rumahnya.

Tentang bagaimana kain roknya tersingkap ke atas. Disusul hangatnya selimut yang menjalar di sepanjang kaki. Lalu pertemuan mereka di depan kamar mandi.

"Atau kamu ... marah ke saya?" tanya pria di hadapannya tanpa tedeng aling-aling. Tanpa ada niatan untuk membuat segalanya jadi mudah.

"Karena saya pernah lihat kamu tanpa ...."

Ia masih menunggu. Tapi pria penuh percaya diri ini, tak kunjung menyelesaikan kalimat. Dibiarkan menggantung begitu saja.

"Saya minta maaf," ujar pria tersebut pada akhirnya.

Sontak membuat kepalanya terangkat. Dan berhasil menautkan mata mereka dalam hitungan pertama.

"Itu ketidaksengajaan."

Alasan yang diberikan membuat kepalanya kembali tertunduk. Hanya untuk menelan ludah. Berusaha keras menormalkan degup jantung yang sedari tadi terus berkejaran.

"Saya nggak menyimpan memori apapun tentang malam itu," lanjut pria di hadapannya. Tapi dengan nada suara yang sangat meragukan.

Membuatnya ingin tertawa sebab tak memercayainya.

"Kamu nggak percaya?" dan pria di hadapannya jelas memiliki intuisi tajam. Bisa menangkap ekspresi wajahnya dengan jitu walau yang ditampilkannya begitu samar.

Ia mencoba tersenyum. Lalu menghirup napas dalam-dalam. Sebelum akhirnya berucap dengan gugup, "Saya nggak tahu ... kita sedang membicarakan tentang apa."

Pria di hadapannya langsung tergelak.

Dan ia tahu, jika pria ini tahu bahwa ia sedang berbohong. Sebab, ia sebenarnya sangat paham dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

Ia hanya sedang mengusahakan tameng terakhir. Dengan terus menghindar. Agar tak terjebak ke dalam lubang yang menganga. Menanti dirinya di saat lengah.

"Kamu tahu ... kita sedang membicarakan tentang apa," jawab pria di hadapannya sembari mengu lum senyum.

Membuat dirinya kian bertambah gelisah. Peu haba deungon hate (apakabar dengan hati)? Hate loen han get-get mantong (hatiku sedang tidak baik-baik saja).

Terlebih ingatannya kembali melayang pada satu kenyataan. Jika di setiap acara penting keluarga Pak Setyo, pria ini tak pernah sekalipun terlihat membawa anak dan istrinya. Tak seperti sang adik, yang selalu terlihat hangat bersama keluarga kecilnya.

Dan ia bukannya tak tahu, jika cincin yang selalu melingkar di jari manis pria ini, tak lagi nampak saat membantunya membersihkan ikan di belakang rumah.

"Semoga penjelasan saya tadi ... bisa diterima dengan baik."

"Saya nggak ada niat buruk."

Ucapan yang terdengar tulus, membuatnya memberanikan diri untuk mengangkat pandangan. Hingga mata mereka saling bersitatap.

Namun sebelum pria di hadapannya kembali berkata, suara ketukan di pintu lebih dulu terdengar.

"Laporan kasus yang kemarin, Pak," ucap seorang petugas tanpa seragam yang muncul dari balik pintu.

Tama tersenyum ke arahnya, "Tunggu sebentar ...."

Kemudian beranjak menuju ke meja kerja. Tenggelam di balik setumpuk berkas, yang dibawa oleh petugas tanpa seragam tersebut.

Tunggu.

Apakah ia baru saja menyebutkan nama seseorang?

Ia mendesah tak percaya. Hatinya memang sedang tak baik-baik saja.

Tapi rupanya petugas tanpa seragam hanyalah permulaan. Setelah itu kembali berdatangan petugas yang lain. Memberi laporan, meminta tanda tangan, membicarakan penyelesaian kasus.

Entahlah. Ia hanya duduk diam sambil memegang koran. Berpura-pura sedang membacanya. Padahal pikiran melanglang buana entah ke mana.

Namun, ia sesekali harus beralih dari hadapan koran. Hanya untuk sekedar membalas anggukan, dari setiap orang yang masuk ke dalam ruangan.

"Bu?" begitu sapaan yang diterimanya.

Atau,

"Mari, Bu?" sebagai ucapan selamat tinggal, sebelum para petugas itu meninggalkan ruangan.

"Maaf, apa masih lama?" tanyanya sambil melirik pergelangan tangan kiri dengan gelisah. Begitu petugas terakhir keluar. Dan Tama kembali menemuinya di sofa.

"Mungkin sebentar lagi," jawab Tama enteng. "Sambil nunggu ... kita makan dulu."

Ia hampir menolak. Tapi keburu seseorang masuk ke dalam ruangan. Membawa nampan berisi dua box makanan berlogo familiar, Raja Raos.

"Makan masakan sendiri?" seloroh Tama, setelah orang yang membawa nampan keluar ruangan.

"Maaf," gumamnya cepat sebelum terlambat. "Saya mau ke Mushola dulu."

Tama mengernyit seraya melihat ke arah jam dinding, "Mau sholat?"

Ia mengangguk, "Isya."

"Sebentar," kemudian Tama memanggil seseorang melalui sambungan telepon.

Tak lama berselang, datanglah petugas yang tadi membawanya ke ruangan ini.

"Ya, Pak?"

"Van, tolong temani Ibu ke Mushola. Tunggu sampai selesai."

"Siap, Pak."

Ia mendesah tak percaya. Dan begitu keluar ruangan, langsung berucap pada petugas yang mendampinginya.

"Nggak usah ditemani, Pak. Saya bisa sendiri."

Tapi petugas itu justru tersenyum, "Ini tugas negara, Bu."

Dan ia pun hanya bisa terbengong-bengong, mendengar jawaban yang diberikan oleh petugas.

Namun meski begitu, ia sengaja berlama-lama tinggal di Mushola. Lebih terasa menentramkan dibanding harus berada satu ruangan dengan Tama.

"Masih lama, Bu?" tanya petugas sambil melongokkan kepala ke dalam ruangan Mushola. Menangkap basah dirinya yang sedang memandangi layar ponsel.

"Bapak udah nanyain," sambung petugas itu lagi.

Ia mendesah tak percaya.

"Tunggu sebentar," sahutnya masih berupaya mengulur waktu.

"Bapak duluan saja," meski petugas tersebut berusia muda, tapi ia tetap memanggilnya dengan sebutan Pak. "Nanti saya menyusul."

Namun petugas itu menggeleng, "Saya tunggu sampai Ibu selesai."

Ia kembali mendesah tak percaya.

"Tapi barusan Bapak titip pesan ... kalau bisa Ibu jangan lama-lama," sambung petugas dengan mimik serius.

Apalagi?

"Sudah ditunggu oleh Teuku Risyad di ruangan Bapak."

***

Icad

Ia tak harus mengantre seperti anak-anak yang lain untuk diinterogasi dan tes urine. Ia hanya diharuskan untuk duduk dan mendengarkan nasehat juga pengarahan, yang disampaikan oleh petugas.

Usai pengarahan, anak-anak yang lain masih dikumpulkan di dalam satu ruangan. Sementara ia dan Ko Rafa sudah boleh pulang.

Ko Rafa langsung dijemput oleh atio (om) nya. Yang ternyata sudah datang ke kantor polisi sejak sore hari.

"Boni sakit ... Boni sakit ... Boni sakit ...." lapor Ko Rafa begitu bertemu dengan ationya.

"Iya ... iya," jawab atio berusaha menenangkan Boni.

Ia sebenarnya ingin bertanya tentang keadaan Boni pada atio. Tapi keburu petugas menariknya menuju ke tempat lain.

"Icad ... Icad ... Icad ...." panggil Ko Rafa dengan cemas saat melihatnya pergi.

Tapi ia hanya melambaikan tangan. Samar-samar telinganya masih bisa mendengar atio menggerutu, "Ayo pulang. Bisa-bisanya kejebak tawuran. Untung nggak kenapa-napa."

Ia berjalan mengekori petugas. Melewati koridor yang telah sepi dibanding saat pertama datang ke sini. Menuju sepasang pintu kaca berwarna hitam yang telah begitu dikenalnya.

Ia sempat duduk di sofa, menunggu selama hampir setengah jam. Sambil diam-diam memperhatikan pria yang berada di balik meja. Tengah sibuk mengobrol dengan dua orang petugas tanpa seragam.

Ketika akhirnya mama muncul dari balik pintu kaca. Menatapnya dengan raut cemas dan langsung memeluknya.

"Abang nggak apa-apa?" tanya mama dengan mata berkaca-kaca. Sambil mengusap wajahnya yang babak belur.

Ia hanya bisa menggeleng. Tak mampu menjawab pertanyaan mama. Untuk meminta maaf pun tak sanggup. Wajahnya bahkan mulai memanas. Hampir saja meneteskan air mata. Untung masih bisa ditahan.

Mama kembali memeluknya, "Alhamdulillah, Abang."

Mama tak sempat duduk, karena pria di belakang meja keburu mengajak mereka pulang.

"Kita pulang sekarang?"

"Terima kasih untuk bantuannya," mama berkata kepada pria itu dengan setengah menunduk. Terlihat salah tingkah di matanya.

Oh, Mama, mengapa harus salah tingkah? Tegakkan kepalamu, Mama.

"Kami pulang naik Taxi," lanjut mama seraya menarik tangannya agar keluar dari ruangan.

Tapi pria itu justru tertawa. Lalu merangkul bahunya sambil berkata, "Kita pulang sama-sama."

Ia langsung mengendikkan bahu. Berusaha menolak rangkulan sok akrab yang membuatnya kembali merasa kesal.

Namun pria itu justru semakin erat mencengkeram bahunya. Yang diartikan olehnya sebagai, "Jangan macam-macam."

Membuatnya pasrah saja dirangkul sedemikian rupa. Dari ruang kerja sampai ke tempat parkir. Padahal hatinya kesal bukan kepalang.

Begitu sampai di depan kendaraan yang akan mereka naiki, seseorang telah membukakan pintu untuk pria itu. Namun pria itu justru berjalan cepat ke samping kiri. Membukakan pintu depan untuk mama.

Mama hanya berdiri mematung. Mama justru mendorong punggungnya agar naik ke kursi depan.

Tapi pria itu dengan sigap kembali membuka pintu penumpang untuknya. Sambil berkata, "Naik, Cad."

Ia tak bisa mengelak lagi. Langsung naik ke kursi penumpang. Meninggalkan mama yang dahinya tiba-tiba berkerut berkali lipat.

"Langsung pulang?" tanya pria itu begitu mengarahkan kemudi keluar dari halaman kantor polisi.

Namun tak seorangpun yang menjawab. Ia tentu saja malas untuk bicara. Sedangkan mama entah mengapa, sama sekali tak terdengar suaranya. Sepertinya mama hanya menganggukkan kepala.

"Oke ... kita langsung pulang," pria itu bergumam sendiri.

Sepanjang perjalanan mereka lalui dalam diam. Pria itu selalu berusaha memancing obrolan dengannya. Tapi ia hanya menjawab dengan sepatah dua patah kata singkat.

"Iya."

"Enggak."

"Nggak tahu."

"Belum."

Sementara beralih pada mama pun sama saja. Jawaban yang diberikan mama hanya kalimat singkat.

"Enggak."

"Maaf."

"Iya."

Bahkan mama sudah tak terhitung berapa kali mengucap kata maaf. Sampai pria itu menegur mama.

"Apa kamu lupa? Kamu nggak perlu terus-terusan minta maaf ... untuk hal-hal yang bukan menjadi kesalahan kamu."

Ia hanya mencibir sebal di kursi penumpang. Merasa kesal karena pria itu berusaha sok akrab dengan mama.

Ia hampir melesat masuk ke dalam gang begitu mobil berhenti di tepi jalan. Tapi kalimat yang diucapkan pria itu berhasil mengurungkan niatnya.

"Saya antar sampai ke rumah."

"Oh, nggak usah. Makasih," tolak mama cepat.

Ya, tentu saja. Mereka kan warga kampung sini. Tak perlu di antar sampai ke depan rumah juga mereka akan baik-baik saja. Dijamin selamat sampai tujuan.

Tapi ....

"Saya antar sampai rumah," ucapan pria itu terdengar setengah memaksa. Sambil berusaha menurunkan sejumlah barang dari dalam bagasi.

"Icad, tolong bantu Om."

Rupanya pria itu sudah menyiapkan segalanya.

Membuat rasa tidak sukanya kian berlipat ganda.

***

Tama

Icad berjalan paling depan. Membawa kantong kresek yang tak terlalu berat. Melangkah panjang-panjang dengan setengah tergesa. Membuat Pocut sedikit kesulitan untuk mengikuti langkah Icad.

"Jam segini masih rame?" tanyanya berbasa-basi. Sambil memperhatikan gang yang ramai oleh para warganya. Anak-anak yang berlarian dan berceloteh riang. Para orangtua yang berkelakar di depan rumah. Juga pedagang asongan yang menjajakan jualannya.

"Semakin malam semakin rame," jawab Pocut singkat.

Untung, ia tadi sempat memakai jaket sebelum turun dari mobil. Hingga bisa menyamarkan penampilannya agar tak terlihat mencolok. Namun meski begitu, beberapa orang melihat ke arahnya dengan penuh selidik.

"Pulang ama siapa, Cut?" tegur sekelompok ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan sebuah rumah.

"Gandengan baru, Cut?"

Pocut terlihat gugup sebentar. Sebelum akhirnya menjawab dengan kikuk, "Bukan, Mpok. Ini kakak iparnya Agam."

"Ooo ...." seluruh ibu-ibu yang ada di sana kompak ber oh panjang.

Dan sepanjang perjalanan melewati gang, entah sudah berapa kali Pocut menjawab.

"Kakak iparnya Agam."

Kini mereka berjalan melewati bangunan madrasah yang gelap dan sepi. Tak ada orang berkumpul seperti sebelumnya. Sementara Icad sudah tak kelihatan punggungnya. Melesat jauh di depan mendahului mereka.

Ia ingin membuka obrolan. Tapi tak memiliki pertanyaan yang mumpuni. Ia juga tak mempunyai topik berkualitas. Terlebih Pocut terlihat berjalan dengan tergesa. Seolah tujuan hidupnya hanya satu, yaitu segera sampai di rumah.

Alhasil, mereka tetap diam seribu bahasa. Hingga langkahnya terhenti tepat di depan pagar rumah bernomor 173.

Di depan teras Pocut sempat berhenti sejenak. Berdiri mematung seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun sebelum ia sempat bertanya mengapa tak langsung masuk ke dalam rumah. Suara sapaan riang keburu muncul di depan pintu.

"MAMA PULANG!"

Ia sontak tersenyum melihat Sasa, yang wajahnya berbinar senang begitu melihat kemunculan Pocut. Sasa bahkan langsung menubruk tubuh Pocut tanpa perhitungan matang. Membuat tubuh ramping Pocut sempoyongan karena menerima serangan mendadak. Untung ia masih sempat meletakkan kantong kresek ke atas lantai. Lalu meraih bahu Pocut untuk menjaga keseimbangan.

Saat itulah, seraut wajah tua muncul di depan pintu. Menatap dirinya dan Pocut bergantian dengan penuh tanda tanya.

Ia tersenyum lebar dan menyapa, "Malam, Bu ...."

Tapi ibu Cakra tak menjawab. Justru kian menatap dirinya dan Pocut dengan wajah keheranan.

Ia masih berusaha tersenyum. Ketika Pocut mengendikkan bahu dengan cukup keras. Membuatnya tersadar, jika sedari tadi lengannya masih melingkari bahu Pocut.

"EH!" suara riang Sasa berhasil memecah kesunyian dan kecanggungan yang menyeruak. "Ada Om juga ternyata?"

"Om ke sini mau nyari Sasa ya, Om?"

***

1
Yulistiani Hamid
keren habis
Bibah Jung
Part ini yang selalu bikin mewek, padahal udah baca entah yg ke berapa😭
Naumi
anak tua ya saa 😂 🤣
Lugiana
eakkk...eaaakk /Facepalm//Facepalm/
Athalla✨
penjahat pencuri hati dan pikiran kak 🥰
Furia
Karya Luar Biasa 😍😍
Ri_viE
aku slalu melewati bab yg Reka dan sasa di culik itu 🥺🥺 ngga tega bgt. kenapa konfliknya sekeras itu.
Athalla✨
nah ini support system datang juga akhirnya
Athalla✨
kak Pocut serasa lagi diomongin gk sih 😅
Athalla✨
untung gk ada mas Sada,, udah di ceng²in yang ada nanti 🤣🤣
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭
Athalla✨
harus dong, biar nggak salah paham kedepannya kan repot jadinya
Athalla✨
cegil juga nih samara
Athalla✨
jadi penasaran sama cerita temen²nya mas Tama hmm
Athalla✨
jadi salah paham kan 🤦🏻‍♀️
Athalla✨
bukan lagi gosong malah
Athalla✨
nantangin ini namanya... cuz halalin dong mas 🤭
Athalla✨
panas dingin campur salting pastinya kak Pocut
Athalla✨
tuh kan mana mau mas Tama nolak, orang dapet rejeki nomplok wkwk
Athalla✨
udah jelas ini mah mas Tama mau lah tanpa paksaan 🤣
Athalla✨
udah dapat lampu hijau dari mamak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!