NovelToon NovelToon
Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Mahkota Surga Di Balik Cadar Fatimah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Cintapertama / Mengubah Takdir / Obsesi / Cinta pada Pandangan Pertama / Fantasi Wanita
Popularitas:57
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28: Mencari Jejak yang Hilang

Pintu besi itu terbanting terbuka dengan dentuman yang memekakkan telinga, namun bukan wajah warga yang penuh amarah yang menyambut Fatimah. Sebaliknya, sebuah tongkat kayu besar mendarat tepat di perutnya, membuat wanita itu terjerembab ke lantai semen yang berdebu.

Sesosok pria bertubuh gempal dengan wajah yang ditutupi topeng kain berdiri tegak di ambang pintu sambil memegang sebilah parang yang berkilat. Di belakangnya, massa yang tadinya berteriak riuh seketika bungkam, seolah mereka hanyalah penonton dari sebuah eksekusi yang sudah direncanakan.

"Serahkan tas itu sekarang juga atau kepala pengacara di belakangmu akan menggelinding di pasar ini!" ancam pria bertopeng itu dengan suara berat yang dibuat-buat.

Fatimah terengah-engah menahan rasa perih di perutnya, jemarinya mencengkeram erat tali tas yang berisi bukti penting panti asuhan. Ia menoleh sekilas ke arah Arfan yang berusaha merangkak maju dengan luka perut yang kembali mengeluarkan darah segar.

"Jangan berikan, Fatimah! Lari dari sini lewat pintu belakang gudang!" teriak Arfan dengan sisa tenaga yang ia miliki.

Pria bertopeng itu tertawa meremehkan sambil melangkah masuk, ujung parangnya menyeret di lantai semen hingga menciptakan suara decitan yang menyayat hati. Fatimah merasa napasnya tersangkut di tenggorokan saat melihat ujung tajam parang itu kini berada tepat di depan lehernya.

"Kalian tidak akan mendapatkan apa pun selain debu jika mencoba menyentuh isi tas ini," ucap Fatimah dengan suara tenang yang disamarkan oleh rasa takut.

"Berani sekali kau bicara begitu di depan maut, wanita pembawa sial!" balas pria itu sambil mengangkat parangnya tinggi-tinggi.

Sebelum parang itu mengayun, sebuah tendangan keras dari arah samping menghantam lutut pria bertopeng tersebut hingga ia kehilangan keseimbangan. Arfan, dengan segala kepedihan lukanya, berhasil bangkit dan menerjang penyerang itu untuk memberikan waktu bagi Fatimah.

Fatimah segera bangkit dan menarik lengan Arfan untuk segera menjauh dari jangkauan massa yang mulai berani merangsek masuk ke dalam ruangan. Mereka berlari menembus labirin tumpukan karung beras yang sudah berjamur, berusaha mencari jalan keluar lain di gudang tua tersebut.

"Kita harus keluar dari pasar ini sebelum mereka mengepung seluruh blok, Tuan Arfan," bisik Fatimah sambil terus menyangga bahu pria itu.

"Ada sebuah lubang pembuangan di sudut timur gudang ini, itu satu-satunya jalan menuju selokan besar kota," jawab Arfan sambil menahan erangan sakit di setiap langkahnya.

Di belakang mereka, suara langkah kaki massa terdengar semakin mendekat disertai teriakan yang memprovokasi warga lain untuk ikut mengejar. Fatimah merasa tangannya mulai gemetar karena menyadari bahwa mereka sedang diburu seperti hewan di dalam kandang besi yang sangat sempit.

Mereka akhirnya menemukan lubang pembuangan yang dimaksud, sebuah celah gelap yang baunya sangat menyengat namun merupakan satu-satunya harapan untuk selamat. Arfan masuk terlebih dahulu dengan bantuan Fatimah, lalu wanita itu menyusul sambil memastikan tas berharga tersebut tetap berada dalam pelukannya.

Lumpur hitam dan air sisa pasar membasahi pakaian mereka, memberikan rasa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum yang paling dalam. Di dalam lorong sempit itu, Fatimah hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri dan deru napas Arfan yang semakin lama semakin terasa berat.

"Apakah kita sudah aman di bawah sini, Tuan?" tanya Fatimah setelah mereka berjalan cukup jauh di dalam kegelapan selokan.

"Untuk sementara iya, tapi Baskara memiliki mata-mata di setiap sudut kota yang akan mengenali bau lumpur ini," jawab Arfan sambil menyeka wajahnya yang kotor.

"Lalu apa rencana kita selanjutnya? Kita tidak mungkin kembali ke panti asuhan dalam keadaan seperti ini," tanya Fatimah lagi dengan nada penuh keraguan.

Arfan terdiam sejenak, ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah benda kecil yang terbungkus plastik kedap air dengan sangat rapi. Ternyata itu adalah sebuah peta kuno yang menunjukkan koordinat sebuah tempat tersembunyi di lereng gunung dekat perbatasan kota.

"Kita harus mencari jejak yang hilang di peta ini, ini adalah lokasi rumah persembunyian rahasia milik Luna," ujar Arfan dengan mata yang berkaca-kaca menyebut nama itu.

Fatimah merasa ada sebuah rahasia besar yang tersembunyi di balik nama Luna, sesuatu yang mungkin akan mengubah pandangannya terhadap Arfan selamanya. Mereka terus merayap di dalam kegelapan, mengikuti aliran air yang membawa mereka semakin jauh dari hiruk-pikuk pasar yang penuh dengan pengkhianatan.

Setelah berjam-jam bersembunyi di bawah tanah, mereka akhirnya muncul di sebuah pinggiran sungai yang sepi dan jauh dari pemukiman warga. Matahari kini berada tepat di atas kepala, menyinari tubuh mereka yang dipenuhi lumpur hitam dan bau yang sangat tidak sedap.

Fatimah membantu Arfan duduk di bawah pohon rindang sambil memeriksa kembali kondisi luka pria itu yang sudah mulai membiru karena infeksi air selokan. Ia merasa sangat bersalah karena telah menyeret Arfan ke dalam bahaya yang seharusnya menjadi beban hidupnya sendiri sebagai Zahra.

"Maafkan saya, Tuan, karena keberadaan saya hanya menambah luka di tubuh Anda yang sudah sangat menderita ini," ucap Fatimah sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Berhenti meminta maaf, Fatimah, aku memilih jalan ini karena aku percaya bahwa kebenaran harus dibayar dengan harga yang sangat mahal," jawab Arfan dengan tegas.

"Tapi bagaimana jika kita tidak pernah sampai ke tempat tujuan kita di peta ini?" tanya Fatimah dengan kekhawatiran yang sangat nyata.

"Maka kita akan mati sebagai pejuang, bukan sebagai pecundang yang lari dari kenyataan pahit dunia ini," tegas Arfan sambil menatap tajam ke arah hutan di depan mereka.

Mereka mulai berjalan lagi dengan langkah yang sangat lambat, mendaki jalan setapak yang dipenuhi oleh semak berduri dan akar pohon yang melintang. Fatimah terus memegangi tasnya, menyadari bahwa di dalam sana tersimpan nasib puluhan anak yatim yang sedang menanti kepulangan mereka.

Setiap gesekan daun kering di bawah kaki mereka terasa seperti suara bisikan musuh yang sedang mengintai dari balik pepohonan yang sangat lebat. Arfan sesekali berhenti untuk mengatur napas, wajahnya pucat pasi namun semangat di matanya tidak pernah padam sedikit pun sejak tadi pagi.

Hutan itu terasa semakin gelap saat mereka masuk lebih dalam ke area yang jarang dijamah oleh manusia karena mitos yang beredar di masyarakat. Fatimah merasakan bulu kuduknya berdiri saat melihat sebuah bayangan hitam besar bergerak cepat di antara pepohonan di sisi kiri mereka.

"Apakah Anda melihat itu, Tuan Arfan? Ada sesuatu yang sedang mengikuti kita dari kejauhan," bisik Fatimah sambil merapatkan cadarnya.

"Tetaplah berjalan dan jangan menoleh ke belakang, itu mungkin hanya hewan hutan yang merasa terganggu oleh kedatangan kita," jawab Arfan mencoba menenangkan.

Namun, perkataan Arfan terpatahkan ketika sebuah anak panah kayu melesat cepat dan menancap tepat di batang pohon di depan wajah Fatimah. Mereka terhenti seketika, menyadari bahwa ancaman kali ini bukan berasal dari massa pasar, melainkan dari penghuni hutan yang tidak ramah.

Dari balik kabut tipis yang menyelimuti hutan, muncul sekelompok orang berpakaian kulit binatang dengan wajah yang dicoret-coret menggunakan arang hitam. Salah satu dari mereka yang tampak seperti pemimpin maju ke depan sambil menodongkan busur panah ke arah dada Arfan yang lemah.

"Siapa kalian dan berani sekali menginjakkan kaki di tanah terlarang milik keluarga kami?" tanya pemimpin kelompok itu dengan bahasa yang sangat kasar.

Fatimah gemetar, ia melihat Arfan mencoba merogoh peta di sakunya namun tangannya terlalu kaku untuk bergerak karena rasa sakit yang luar biasa. Saat Arfan hampir terjatuh pingsan, tas di tangan Fatimah terlepas dan isinya berhamburan ke tanah, menampakkan sebuah foto kuno yang membuat para penghuni hutan itu terkejut.

Pemimpin kelompok itu segera menurunkan busurnya dan mendekat ke arah foto yang tergeletak di atas tumpukan daun kering tersebut dengan wajah penuh keheranan. Ia mengambil foto itu dengan tangan yang kasar, menatap wajah wanita di dalam gambar tersebut dengan tatapan yang sangat dalam dan penuh kerinduan.

"Dari mana kau mendapatkan gambar Nyonya Luna ini, wahai wanita bercadar?" tanya pria itu dengan suara yang tiba-tiba melunak dan penuh dengan hormat.

Fatimah terpaku, ia tidak menyangka bahwa foto Luna yang terselip di berkas panti akan menjadi kunci keselamatan mereka di tengah hutan yang sangat liar ini. Arfan yang sudah berada di ambang kesadaran hanya bisa tersenyum tipis sebelum akhirnya ia benar-benar jatuh pingsan di pelukan Fatimah yang sangat panik.

Penghuni hutan itu segera mengangkat tubuh Arfan dengan sangat sigap, mereka memberi isyarat agar Fatimah mengikuti mereka menuju sebuah pemukiman tersembunyi di balik air terjun. Fatimah membawa kembali semua berkasnya dan melangkah dengan ragu, merasa bahwa takdir sedang membawanya ke sebuah babak baru yang lebih misterius.

Di dalam gua di balik air terjun, Fatimah melihat banyak sekali peninggalan milik Luna yang tersusun rapi seolah wanita itu baru saja pergi meninggalkan tempat tersebut. Ada sebuah meja kerja yang dipenuhi dengan sketsa bangunan panti asuhan dan catatan-catatan hukum yang ditulis dengan tangan Luna sendiri yang sangat indah.

Fatimah menyadari bahwa panti asuhan tersebut bukan hanya sekadar tempat penampungan, melainkan sebuah proyek besar yang ingin Luna selesaikan sebelum maut menjemputnya. Namun, rasa penasaran Fatimah teralihkan ketika ia melihat sebuah televisi tua di sudut ruangan yang tiba-tiba menyala dan menampilkan berita yang sangat mengejutkan.

Layar televisi itu menunjukkan wajah Fatimah yang terpampang jelas sebagai tersangka utama dalam kasus pembunuhan berencana terhadap salah satu tokoh masyarakat di kota. Fatimah jatuh terduduk di atas lantai gua yang dingin, menyadari bahwa pelariannya kali ini tidak akan pernah berakhir dengan mudah selama fitnah itu masih ada.

"Kabar di televisi itu benar-benar akan menghancurkan hidupmu jika kau tidak segera bertindak, Zahra," ucap sebuah suara wanita dari balik kegelapan gua.

Fatimah menoleh dengan cepat, jantungnya berdebar kencang saat melihat sesosok wanita yang wajahnya sangat mirip dengan Luna berdiri di hadapannya sambil membawa nampan berisi ramuan obat. Wanita itu tersenyum misterius, membuat Fatimah merasa bahwa dunia yang ia kenal selama ini hanyalah sebuah panggung sandiwara yang penuh dengan kebohongan.

 

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!