Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Sore itu, suasana di ruang tamu keluarga Hersa dipenuhi isak tangis Sisilia yang dibuat-buat. Gadis itu duduk di sofa tunggal, wajahnya disembunyikan di bahu Azlan.
“Hiks… Kak Azlan… aku tidak menyangka Nalea akan menganggapku berhutang nyawa,” rengek Sisilia, suaranya terdengar hancur. “Aku tahu aku yang kecelakaan, aku tahu dia yang mendonorkan darah tapi dia melihatku dengan mata penuh tuntutan. Seolah-olah nyawaku tidak berharga tanpa darahnya.”
Azlan mengelus rambut Sisilia dengan lembut, matanya menyala marah. “Sisil, jangan khawatir. Dia memang tidak tahu terima kasih. Sudah diberi kesempatan emas untuk menjadi orang baik, ternyata malah pamrih dan mengungkit-ungkit. Kau jangan pedulikan dia.”
Mutiara dan Ivander duduk di sofa lain, sama-sama menatap Sisilia penuh kasih sayang.
“Sudahlah, Sayang,” hibur Mutiara, tangannya membelai pipi Sisilia. “Papa dan Mamah akan memberikan liburan ke luar negeri. Kita akan ke Paris, untuk menyembuhkan trauma dan pikiranmu dari semua kekacauan ini. Kamu tenang saja.”
Ivander mengangguk setuju. “Benar, Sisil. Kamu fokus pada kesehatanmu. Masalah anak liar itu, biar kami yang urus.”
Tepat saat Sisilia mengangguk haru, pintu utama terbuka.
Dipapah oleh seorang supir taksi yang terlihat canggung, Nalea masuk ke dalam rumah. Wajahnya masih pucat, perban di tangannya terlihat kontras dengan kulitnya yang kelelahan, dan langkahnya sangat lamban. Ia baru saja dipulangkan paksa dari rumah sakit atas permintaannya sendiri.
“Terima kasih, Pak. Ini uangnya,” ujar Nalea lirih kepada supir taksi.
Mbak Maya, salah satu pelayan, yang melihat kondisi Nalea, bergegas mendekat untuk membantu. Hatinya sakit melihat Nalea, putri kandung keluarga itu, diperlakukan lebih rendah dari dirinya.
Nalea berjalan melewati ruang tamu. Langkahnya pincang, tubuhnya membungkuk karena lemas, tetapi ia berusaha berjalan tegak menuju gudang di belakang. Ia sama sekali tidak memandang keluarganya.
Sisilia mendongak, matanya yang awalnya berair kini memancarkan seringai licik.
Melihat Nalea berjalan melewatinya tanpa menunduk atau menyapa, Ivander langsung murka.
“Nalea!” bentak Ivander, suaranya menggelegar. “Berhenti di sana!”
Nalea terhuyung, tapi Mbak Maya menahan tubuhnya. Nalea berhenti, punggungnya menghadap keluarganya. Sungguh, kepalanya sangat sakit, tubuhnya tidak memiliki tenaga sedikitpun untuk menghadapi drama lagi.
“Kau pikir kau siapa? Berjalan melewati orang tuamu tanpa menyapa, tanpa rasa hormat? Kau tidak tahu sopan santun!” hardik Ivander.
Nalea tetap diam, berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya.
Sisilia, melihat kesempatan emas, segera melanjutkan dramanya. Ia bangkit dan berjalan perlahan menuju Nalea, berpura-pura iba.
“Papa, Kak Vian, Kak Azlan, sudahlah,” Sisilia memohon dengan lembut. “Nalea tidak salah. Mungkin ini hanya salah didikan. Nalea dibesarkan di lingkungan yang keras, jadi dia tidak tahu etika keluarga bangsawan yang terhormat dan berkelas.”
Sisilia menatap Nalea. “Nalea, aku tahu kamu masih lemah. Tapi kamu tidak boleh bersikap tidak sopan. Mungkin karena didikan orang tua angkatmu yang membuatnya kamu menjadi anak liar, terbiasa hidup dalam dunia gelap, dan berbuat kejahatan. Berterima kasihlah pada Papa dan Mamah yang masih mau menerimamu.”
Seketika, Nalea merasa ada yang putus di dalam dirinya. Penghinaan terhadap dirinya sendiri bisa ia tahan. Penghinaan terhadap darahnya bisa ia abaikan. Tapi menghina Ayah Jojo? Itu adalah garis merahnya, batas kesabarannya.
Nalea berbalik. Matanya yang merah kini memancarkan nyala api kemarahan Ratu Gangster yang terpendam.
“Cukup!” Suara Nalea terdengar serak, namun penuh kekuatan yang mengerikan.
Semua orang terdiam, terkejut dengan perubahan nada Nalea.
“Aku tidak peduli jika kalian menghina dan menyebutku anak liar! Aku tidak peduli kalian menyebutku pamrih! Atau tak menganggapku sebagai manusia, aku tidak peduli!” Nalea melangkah maju selangkah, menatap lurus ke mata Sisilia.
“Tapi asal kalian tahu, Ayah Jojo,” Nalea menekankan nama itu, “adalah orang yang memungutku yang dibuang dalam kardus di bawah kolong jembatan, yang hampir mati karena kedinginan dan kelaparan!”
Nalea menoleh ke Ivander dan Mutiara, air matanya berubah menjadi kemarahan.
“Meskipun beliau ketua gangster, tapi beliau tahu tak baik membesarkan anak dengan uang haram. Beliau bekerja sebagai tukang cuci dan memulung sampah setiap hari, siang dan malam demi menghidupiku! Demi membeli susu dan bubur bayi dengan uang yang halal.”
Azlan dan Zavian terlihat terkejut.
“Black Rat memang gangster terkuat, bertindak kejam,” Nalea mengangkat dagunya dengan bangga, “tapi kami tidak membunuh, tidak menindas orang lemah. Dan Ayah Jojo mengajarkan agar aku tahu budi jika kelak keluarga kandungku menemukanku. Aku datang ke sini dengan niat baik! Aku memberikan darahku tanpa meminta imbalan!”
Nalea tertawa pahit, tawa yang menusuk hati.
“Tapi apa yang aku dapat! Perlakuan yang lebih hina dari seorang pembantu! Bahkan anak pembantu, kalian biarkan mengambil posisiku sebagai Nona Muda keluarga Hersa!” Nalea melirik Lidya yang berdiri mematung di sudut.
PLAK!
Suara tamparan keras mengakhiri pengakuan Nalea. Ivander melayangkan tangan kanannya dengan kekuatan penuh. Kepala Nalea terpental ke samping, rasa panas dan nyeri segera menjalar di pipinya. Ujung bibirnya robek, dan darah segar menetes membasahi dagunya.
Nalea terhuyung, tetapi Mbak Maya berhasil menahannya agar tidak jatuh.
Wajah Ivander memerah karena amarah yang tak terkendali. “Berhenti mengucapkan omong kosong!” teriak Ivander. “Kau menghina Mamahmu! Kau menghina Sisilia! Kau menghina keluarga ini! Kembali ke kamarmu dan renungkan semua kesalahanmu! Jangan keluar sampai aku mengizinkan!”
Nalea berdiri kaku, darah menetes dari bibirnya. Ia menyeka darah itu dengan punggung tangannya yang diperban. Rasa sakit fisik tidak lagi terasa. Yang ada hanya kehancuran total.
"Cih! Kamar? Sejak kapan gudang pantas disebut sebagai kamar? Bahkan penjara saja masih lebih layak dan bersih dibandikan fasilitas kamar yang keluarga kandungku berikan," ucap Nalea pilu, suaranya terdengar serak menahan tangis, "bahkan aku harus berbagi tempat tidur dengan tikus-tikus bau dan kecoa. Terimakasih," lanjutnya dengan suara yang lebih lirih, dadanya kian terasa sesak.
Sisilia tersenyum penuh kemenangan di balik punggung Azlan. Drama sudah mencapai klimaks yang ia inginkan.
Nalea menatap satu per satu anggota keluarga Hersa, Papa yang menamparnya, Mamah yang memalingkan wajah, dan Kakaknya yang memeluk putri palsu.
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬