Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jodohku bukan kamu
Naren, pria itu bergerak gelisah di dalam kamar yang tepat bersampingan dengan kamar Arina. Dia sebenarnya penasaran hasil pembicaraan wanita itu bersama Shanaya, tetapi Arina tidak kunjung keluar dari kamar padahal sudah pulang beberapa jam yang lalu.
"Apa aku menghampirinya saja?" gumam Naren.
Pria itu memutuskan keluar dari kamar, mengetuk pintu kamar Arina dengan ragu.
"Arina, boleh aku masuk?" tanya Naren.
Ia mendorong daun pintu setelah mendapatkan persetujuan dari pemilik kamar.
"Kenapa Mas?"
"Kamu sudah jelaskan semuanya pada Shanaya? Apa dia marah padamu?"
Arina mengangguk ragu. "Hm, Shanaya kecewa padaku karena nggak jujur sama masalah yang aku alami selama ini." Ia mendongak untuk menatap Naren yang berdiri di sampingnya "Kenapa nggak beritahu aku bahwa kalian dekat? Bahwa Shanaya menyukai mas Naren?"
"Kamu nggak tahu sebelumnya?" Jelas Naren terkejut. Arina dan Shanaya adalah sahabat yang sulit di pisahkan. Benarkah Shanaya tidak menceritakan apapun pada Arina tentang kedekatan mereka berdua?
"Nggak, aku tahunya mas mantan suaminya Nadira. Shanaya nggak pernah cerita tentang percintaannya padaku. Dia setertutup itu mengenai hati," lirih Arina.
Wanita itu meraih tangan Naren. "Yang aku butuhkan hanya status pernikahan. Kalau mas memang mencintai Shanaya aku nggak keberatan kalau mas menjalin hubungan ...."
Naren menarik tangannya tanpa sempat Arina menyelesaikan ucapan. "Pernikahan kita memang didasari kesepakatan yang saling menguntungkan satu sama lain. Tapi terlepas dari semuanya aku nggak pernah berpikir untuk mempermainkan sebuah pernikahan Arina." Ia menarik napas panjang, menatap retina Arina yang sepertinya sudah menangis.
"Banyak pernikahan di luar sana terjadi tanpa cinta, tapi lambat laut perasaan itu akan hadir kalau kita terus bersama. Aku nggak memaksamu untuk menerimaku sebagai suami sungguhan, tapi untukku sekarang kamu adalah istriku. Urusan hati biar aku yang mengaturnya sendiri."
"Hubungan kamu dan Shanaya baik-baik saja kan?" Naren memastikan.
"Baik, meski Shanaya sempat marah karena aku nggak jujur."
"Syukurlah." Naren tersenyum dan meninggalkan kamar Arina.
Dia akan berangkat ke apartemen Leona sebab ia mendapatkan sift malam hari ini. Di dalam lift dia tidak sengaja bertemu Shanaya. Bahkan hanya mereka berdua di sana.
Terjadi keheningan, rasa canggung pun menghampiri padahal mereka pernah sedekat itu sebagai teman.
"Kabarmu baik?" tanya Shanaya dengan tatapan lurus ke depan.
"Maaf," lirih Naren.
"Nggak papa, jangan merasa bersalah. Toh kamu nggak mengkhianati siapapun. Kamu juga selalu memperingatkanku, tapi akunya saja yang bebal." Shanaya tersenyum, kali ini menatap Naren yang masih memasang wajah bersalah.
"Yang aku sesalkan karena nggak becus menjadi teman yang baik untuk kalian berdua. Arina dicekam oleh keluarga ayahnya dan kamu diteror rentenir. Sudah sepantasnya kalian mencari jalan keluar."
"Tapi tetap saja ...."
"Tahu nggak apa yang lebih menyakitkan?" tanya Shanaya di dibalas gelengan oleh Naren.
"Kamu memilih pernikahan itu dibandingkan meminta tolong padaku, padahal aku bisa membantumu."
"Justru karena itu aku nggak meminta bantuanmu, karena aku tahu kamu pasti akan membantu dengan suka rela. Aku akan merasa berhutang budi dan menerimamu dalam hidupku. Aku nggak mau itu terjadi."
"Maksud kamu?" Kening Shanaya mengerut.
"Hanya aku yang diuntungkan. Kamu melunasi hutang ayahku karena mencintaiku. Kamu dirugikan dalam hal ini."
Shanaya tertawa kecil, benar dia akan dirugikan sebab akan memberikan segalanya pada Naren akibat cinta yang dia punya. Padahal belum tentu Naren akan membalas cintanya. Dia lupa bahwa Naren selalu berpikir rasional jika mengambil keputusan.
"Kamu nggak pernah berubah," gumam Shanaya. "Dan yap, lagi-lagi kamu menjadi milik sahabatku. Mungkin kamu memang bukan jodohku."
Pintu lift terbuka dan mereka kini berada di depan unit apartemen Leona.
"Jangan pernah berubah, baik padaku atau pun Arina."
"Santai saja, aku bukan orang seperti itu," balas Shanaya sebelum masuk ke apartemen Leona, sedangkan Naren berdiri di sisi pintu untuk berjaga sampai pagi datang.
Senyumnya mengembang mendapati panggilan dari Nadira, bukan karena pemilik ponselnya, melainkan siapa dibalik telepon itu.
"Ayah di mana?" Suara Naresa terdengar tapi wajah yang memenuhi layar adalah putri bungsunya.
"Ayah lagi kerja sayang. Kalian baik-baik saja kan bersama ibu?"
"Iya Ayah."
"Kapan ayah jemput Dalian?" Suara lain terdengar tanpa bisa Naren lihat wajahnya sebab pipi gembul Seren.
"Hari minggu ayah akan menjemput kalian."
"Hole!"
Naren tertawa mendengar tawa anak-anaknya. Sampai detik ini mereka belum tahu bahwa ia sudah menikah.
"Sudah dulu ya sayang, ayah mau lanjut kerja."
....
Naren tiba di rumah Arina saat jarum jam menunjukkan angka 7 pagi. Rumah itu sudah ramai oleh aktivitas para pelayan yang bekerja sesuai tugas masing-masing.
Lirikan Naren tertuju pada pintu Arina yang setengah terbuka sehingga ia dengan jelas melihat wanita itu tertidur pulas dengan piyama sangat tipis dan cukup seksi. Ia melihat kanan kiri sebelum masuk ke kamar wanita yang telah resmi menjadi istrinya. Menarik selimut untuk menutupi tubuh Arina, takut kalau pekerja lewat dan melihat apa yang tidak seharusnya mereka lihat.
Setelahnya Naren berjalan menuju tirai hitam yang tersingkap sehingga matahari bebas masuk. Ia menutup tirai itu agar tidak menganggu tidur Arina.
"Ternyata dia sangat ceroboh," gumam Naren.
Pria itu kali ini membereskan berkas-berkas penting yang berceceran di atas meja dan lantai. Setelahnya meninggalkan kamar. Ia sangat mengantuk dan membutuhkan kasur untuk memejamkan mata sejenak.
Arina sendiri baru terbangun saat merasa lapar dan yap jarum jam telah menunjukkan angka 10 pagi. Keningnya mengerut mendapati meja yang dia tinggal secara berantakan sudah rapi seperti tidak pernah di sentuh.
Ia meraih cardigan panjang untuk membungkus tubuhnya dan keluar dari kamar.
"Siapa yang masuk ke kamar saya tadi?" tanyanya pada pelayan yang melintar.
"Terakhir yang saya lihat hanya pak Naren Bu."
"Oh." Arina mengangguk mengerti. "Kalian terlihat sibuk, ada apa?"
"Ada pak Bram dan istrinya di bawah Bu."
"Untuk apa mereka datang?"
"Saya nggak tahu."
Arina pun berjalan cepat untuk menemui om dan tantenya. Dia mengira setelah menikah mereka tidak akan kembali lagi.
"Selamat pagi pengantin baru," sapa om Bram. "Tidur kalian nyenyak?"
"Kenapa om datang?"
"Apa salah kalau om datang ke rumah kakak sendiri? Lagian om masih wali kamu."
"Tapi aku sudah menikah, waliku adalah suamiku. Aku ...."
Ucapan Arina berhenti ketika ponsel yang sejak tadi ia genggam berdering dan itu dari pengacara orang tuanya.
"Ada apa Pak?"
"Ada gangguan dengan proses pengalihan warisan Bu. Sepertinya ada yang melaporkan bahwa Bu Arina menikah bukan karena saling mencintai, sehingga tidak memenuhi persyaratan yang ditulis oleh pak Pram di wasiat.
.
.
.
.
.
Selamat malam semuanya. Kalian sehat? Cuaca sedang buruk jadi jaga kesehatan ya🥰
nyesel senyesel nyeselnya ga tuh Nadira membuang naren .jarang" ada suami seperti naren di dunia nyata
arina sekarang udah jadi istri yang sesungguhnya
semoga kalian bahagia..
terimakasih ka susanti babnya panjangaaaaang banget
aku suka aku sukaaaaaa😍
kenapa sekarang pelit banget seh up nya,,
ayolah mas Naren bilang kalo tante Arina sekarang istri Ayah
jadi kalian juga boleh memanggil Tante Arin mama atau ibu atau bunda wes karepe kalian senyaman nya kalian aja lah
masa cuma satu bab doang,,satu lagi lah ka Santi
ayo mas Naren bantu istri cantikmu buat pecahin telor om bram
eeh masalah om bram maksudnya 🤭🤭
kan mau aku gondol mas Naren nya kalo kamu ga mau😄
persahabatan kalian memang the best