NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24

Tatapan Veronica kembali seolah mengunci Livia, dingin, tajam, dan penuh penilaian. Bukan kecurigaan yang tumbuh di benaknya, melainkan ketidaksukaan yang mendadak. Bagi Veronica, kantor ini seharusnya steril dari hal-hal yang berpotensi mengganggu ketenangannya. Dan Livia, wanita di depannya itu memiliki wajah cantik alami, postur tubuh yang hampir sempurna, dan aura percaya dirinya terlalu mencolok untuk sekadar karyawan biasa.

Terlalu cantik, pikir Veronica.

Terlalu berbahaya.

Ia tahu betul bagaimana pria bisa tergoda. Dan ia tak ingin memberi celah sekecil apa pun, terlebih pada Narendra.

“Kamu,” panggil Veronica tiba-tiba.

Livia yang sudah hendak melangkah keluar berhenti dan menoleh kembali. Ekspresinya tetap profesional.

“Iya, Bu?”

“Buatkan saya kopi. Dan siapkan cemilan ringan,” ucap Veronica datar, seolah itu perintah yang wajar.

Livia terdiam sejenak, bukan karena terkejut, melainkan menimbang. Ia melirik sekilas ke arah perawat yang berdiri di sisi ruangan, lalu kembali menatap Veronica.

“Baik, Bu,” jawab Livia sopan. “Saya akan minta OB kantor menyiapkannya.”

Veronica mengerutkan kening.

“OB kantor ?” potongnya cepat. “Saya sedang menyuruh kamu, ya kamu saja.”

Nada suaranya kini lebih tegas.

Seketika Livia berusaha tetap tenang. “Maaf, Bu. Untuk urusan minuman dan konsumsi, biasanya ditangani OB kantor. Itu di luar jobdesk saya.”

Hening sesaat menyelimuti ruangan. Udara terasa mengeras.

Veronica mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Saya yang memberi tugas. Kenapa kamu malah melemparnya ke orang lain?”

Livia mengatupkan bibir sejenak, menahan napas, lalu menjawab dengan nada yang tetap terjaga. “Bukan bermaksud melemparnya ke orang lain, Bu. Saya hanya mengikuti prosedur kerja yang berlaku.”

“Prosedur?” Veronica menyunggingkan senyum tipis, tatapannya tajam namun meremehkan. “Di ruangan suami saya, prosedur bisa fleksibel.”

Livia merasakan panas merambat di tengkuknya, namun ia menolak untuk terpancing. “Saya mengerti, Bu. Tapi tetap saja, OB kantor lebih tepat untuk menyiapkan minuman dan makanan yang ibu butuhkan.”

Veronica menatapnya lama. Terlalu lama. Seolah mencari celah retakan kecil, untuk menunjukkan siapa yang lebih berkuasa.

“Kamu ini pintar berargumen ternyata,” katanya pelan. “Atau mungkin kamu terlalu percaya diri.”

Livia mengangkat sedikit dagunya, bukan menantang, melainkan menjaga martabat. “Saya hanya menjalankan pekerjaan saya dengan benar.”

Di tengah ketegangan yang masih menggantung di udara, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka.

Semua suara seolah terpotong.

Seorang wanita paruh baya melangkah masuk dengan aura yang langsung menguasai ruangan. Rambutnya disanggul rapi, perhiasan mahal menghiasi leher dan pergelangan tangannya, gaun elegan berpotongan tegas membalut tubuhnya dengan sempurna. Setiap langkahnya mantap, penuh wibawa, tipe perempuan yang tak perlu meninggikan suara untuk didengar.

Dia adalah Naraya. Ibu Narendra.

Perawat refleks menegakkan tubuhnya, Veronica menoleh cepat, ekspresinya berubah seketika, dari dingin menjadi terkendali, nyaris terkejut.

“Mama.” sapanya, sedikit terkejut.

Livia yang masih berdiri dekat pintu ikut menoleh. Detik itu juga ia bisa merasakan tekanan yang berbeda. Wanita di hadapannya bukan sekadar tamu, ia adalah sosok yang terbiasa memberi penilaian, terbiasa memegang kendali.

Naraya menyapu ruangan dengan pandangan tajam. Sofa. Kursi roda Veronica. Wanita yang berdiri tegak dengan tenang. Lalu matanya berhenti, cukup lama pada Livia.

“Ada apa ini?” tanyanya datar, namun nadanya mengandung otoritas yang tak terbantahkan.

Veronica tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Bu. Hanya sedikit salah paham.”

Naraya tidak langsung merespons. Ia melangkah lebih dekat, mendekati meja kerja Narendra, lalu kembali menatap Livia dari ujung kepala hingga kaki, tanpa sungkan, tanpa basa-basi.

“Kamu karyawan disini kan ?” tanyanya.

“Iya, Bu,” jawab Livia sopan. “Saya Livia, staf administrasi keuangan.”

Naraya mengangguk pelan. “Hm.” Nada itu singkat, tapi sarat makna.

Ia lalu menoleh ke Veronica. “Kenapa kamu berdebat dengan dia ?”

Veronica menarik napas kecil. “Aku hanya meminta kopi dan cemilan. Tapi Dia menolak perintahku Ma.”

Livia menatap lantai sejenak, lalu kembali mengangkat wajahnya. “Maaf, Bu. Saya tidak menolak. Saya hanya menjelaskan bahwa itu bukan tugas saya dan Saya akan meminta OB kantor yang biasa menyediakan minuman.”

Naraya mengangkat alis tipis, lalu tersenyum samar, senyum yang sulit diartikan.

“Kamu benar,” katanya tenang. “Setiap orang punya tugasnya masing-masing. Tidak perlu memaksakan.”

Veronica menegang, namun dia memilih diam. Naraya kembali menatap Livia. “Kamu tahu batas. Bagus.”

Lalu, dengan nada yang lebih dingin, ia menambahkan, “Tapi ingat—di perusahaan ini, setiap sikap diperhatikan.”

Livia mengangguk. “Saya mengerti, Bu.”

Livia baru saja hendak melangkah keluar ketika suara Naraya kembali terdengar tenang, namun tak memberi ruang untuk diabaikan.

“Livia.”

Langkah Livia terhenti. Ia berbalik, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.

“Iya, Bu?”

Naraya menatapnya dengan sorot mata tajam namun terukur. “Setelah makan siang, temui saya. Saya ingin melihat langsung laporan keuangan perusahaan ini. Bukan yang sudah dipoles untuk rapat direksi tapi yang benar-benar dipakai sehari-hari.”

Nada suaranya jelas. Seperti perintah. Bukan permintaan.

“Baik, Bu,” jawab Livia tanpa ragu. “Saya akan siapkan.”

Naraya mengangguk puas. Namun sebelum mengalihkan pandangan, matanya melirik ke arah Veronica, sekilas saja, tapi cukup tajam untuk terasa seperti sindiran halus. Seolah ingin mengatakan bahwa ia tak perlu bertanya pada menantunya untuk urusan perusahaan.

“Perusahaan ini perlu orang-orang yang bekerja dengan kepala dingin,” tambah Naraya ringan, namun penuh makna. “Bukan emosi.”

Veronica tersenyum tipis, sejenak ia merasa kaku. Tangannya mengepal di atas sandaran kursi roda, tapi ia memilih diam.

Livia menangkap isyarat itu, meski tak sepenuhnya memahami maksud ucapan Naraya. Ia hanya menunduk sopan. “Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu.”

Naraya mengangguk. “Jangan terlambat Livia, saya tidak punya waktu banyak.”

"Baik Bu, Saya mengerti." kata Livia.

Pintu tertutup pelan di belakang Livia. Lorong kantor terasa lebih panjang dari biasanya. Napasnya baru terasa ringan setelah beberapa langkah. Ia tak tahu apa yang baru saja terjadi ,yang jelas, ia kini berada di titik perhatian dua perempuan berpengaruh dalam hidup Narendra.

Di dalam ruangan, Naraya duduk di sofa berseberangan dengan Veronica, ia menyandarkan punggung, menunggu dengan tenang. Veronica menatap ke arah pintu yang tertutup, rahangnya mengeras, seolah ia merasakan pertarungan dengan Ibu mertuanya itu belum selesai, atau mungkin akan baru dimulai.

Sejenak keheningan menggantung lebih berat dari sebelumnya.

Tak lama kemudian, pintu ruangan itu kembali terbuka.

Narendra masuk dengan langkah cepat, jas yang ia kenakan masih rapi meski wajahnya jelas menyimpan lelah setelah rapat panjang. Begitu matanya menangkap dua sosok di dalam ruangannya, langkahnya melambat.

Narendra sedikit terkejut.

Ibunya duduk tegak di sofa, anggun dan berwibawa seperti biasa. Sementara Veronica berada di hadapannya, sama-sama diam, sama-sama menjaga ekspresi. Udara di ruangan itu terasa tegang, sunyi yang tidak nyaman, sunyi dua perempuan yang sama-sama tidak ingin mengalah.

“Ma?” sapa Narendra akhirnya, berusaha terdengar biasa. “Sejak kapan Mama datang?”

Naraya menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. “Baru saja.”

Veronica bergerak lebih dulu. Wajahnya langsung berubah lembut ketika menatap suaminya.

“Kamu sudah selesai meeting?” tanyanya manis. “Aku sudah menunggumu. Kita makan siang sekarang, ya.”

Narendra melirik jam tangannya. Jam makan siang memang sudah sedikit terlewat. Tapi Ia mengangguk pelan.

“Baik. Ayo Ma—”

“Mama tidak ikut,” potong Naraya tenang.

Narendra menoleh cepat ke arah ibunya. “Kenapa? Bukankah Mama tadi bilang—”

“Mama sedang menunggu seseorang,” lanjut Naraya, memotong lagi dengan suara tetap lembut, namun tegas.

Veronica mengernyit samar. “Menunggu siapa, Ma ?”

Naraya menatap lurus ke depan, lalu menjawab dengan satu nama yang membuat udara seketika berubah.

“Livia.”

Narendra refleks menegang.

“Livia?” ulangnya tanpa sadar. “Untuk apa Mama ingin bertemu dia?”

Nada suaranya terdengar lebih terkejut daripada yang ia inginkan. Terlalu spontan. Terlalu jujur.

Naraya menoleh, menatap putranya dengan sorot mata penuh arti.

“Kenapa? Tidak boleh?”

“Bukan begitu,” Narendra cepat membenarkan. “Hanya… dia staf administrasi. Aku tidak tahu Mama tertarik dengan laporan keuangan yang dia tangani.”

Naraya tersenyum tipis. “Justru itu. Mama ingin mendengar langsung dari orang yang mengerjakan, bukan yang hanya menerima laporan.”

Veronica memalingkan wajah sedikit, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di pangkuan.

“Kalau begitu, mama ikut kita makan siang saja dulu, mungkin nanti aku bisa menemani—”

“Tidak perlu,” jawab Naraya cepat, tanpa menoleh. “Ini urusan perusahaan, kamu nggak berhak ikut campur.”

Kalimat itu menutup ruang bicara Veronica dengan rapi dan dingin.

Narendra menarik napas pelan. Ada perasaan tak nyaman merayap di dadanya. Ibunya jarang sekali menunjukkan ketertarikan pada staf keuangan lain selain Burhan, terlebih pada satu nama tertentu. Dan fakta bahwa nama itu adalah Livia… membuat pikirannya berisik.

“Baiklah, ” ucapnya akhirnya, menahan diri. “Kalau begitu aku antar Veronica dulu makan siang ya, Ma”

Veronica mengangguk, meski senyum di wajahnya tampak dipaksakan.

“Iya. Kita pergi sekarang.”

Saat mereka beranjak keluar, Naraya tetap duduk tenang, menyilangkan kakinya dengan anggun. Ia menunggu, dengan kesabaran seorang perempuan yang sudah lama terbiasa membaca manusia.

Dan di luar ruangan itu, Narendra berjalan dengan perasaan yang semakin tak menentu.

Ia baru saja menyadari satu hal yang mengganggu pikirannya lebih dari seharusnya:

kenapa nama Livia bisa membuatnya setegang ini?

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!