Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. 90 Hari
Hari sudah malam, Gaza baru saja selesai mandi dan mengganti pakaian setelah dua hari dia mengenakan pakaian yang sama.
Ia berganti dengan pakaian yang lebih santai. Nala yang melihat itu hanya bisa berdecak pelan. Bagaimana bisa di tengah niatnya ingin berpisah dirinya masih bisa terpesona dengan ketampanan suaminya sendiri.
Siapapun pasti beranggapan Nala sangat beruntung, dinikahi pria yang berpendidikan, dari keluarga cukup terpandang dengan warisan yang mungkin tidak akan habis tujuh turunan. Ditambah wajah tampan Gaza membuatnya terlihat sempurna dengan hidung lurus mancung, bibir tipis dan alis tebalnya membuat sempurna komposisi wajah Gaza.
Nala sejenak berfikir, apa yang membuat dirinya jatuh cinta pada suaminya sendiri. Wajah tampan Gaza bahkan tak bisa menahan dirinya menemui Dani kemarin. Wajah tampan Gaza bahkan tak bisa menahan dirinya menemui Dani kemarin. Nala bahkan menikmati semua sandiwara itu dengan baik. Sementara ia tahu, sejak awal menikah ada jarak yang sudah Gaza bentangkan.
“Kenapa?” tanya Gaza setelah memperhatikan Nala yang terus menatapnya seolah memikirkan sesuatu.
Nala Mengerutkan keningnya, ketika ia sadar bahwa saat ini ia menatap Gaza cukup lama.
“Gak apa-apa,” ucap Nala kemudian berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya.
Gaza menghela nafasnya pelan. Ia baru menyadari Nala tak pernah menanyakan atau meminta penjelasan mengenai hubungannya dengan Anggia. Gaza tau, Nala selalu menyimpulkan semuanya sendiri, itu sebabnya selama ini Nala kelelahan dengan perasaannya sendiri.
“Kamu gak mau menanyakan sesuatu?” tanya Gaza.
Setidaknya Nala menanyakan mengenai dirinya dan Anggia pagi tadi. Meski Nala tidak melihat, tapi ia tahu dari Zanna tentang pertemuan mereka.
“Gak ada, memangnya ada apa?” tanya Nala bingung.
Gaza menggeleng pelan, ia memilih duduk di samping tempat tidur Nala. Meski keduanya hanya diam tanpa bicara, Gaza tetap berada dekat dengan Nala.
“Aneh yah…” ucap Nala sembari tersenyum miris.
“Apanya?” tanya Gaza.
Nala menatap wajah Gaza, kemudian menunduk. “Aku tidak terbiasa seperti ini, berdua dengan kamu yang peduli padaku. Biasanya kita di rumah tak pernah sedekat ini, bertegur sapa pun tidak.”
Gaza diam, ia menatap Nala dengan perasaan bersalah. Ia melakukannya tanpa sadar hingga setahun berlalu dengan meninggalkan banyak luka di hati Nala.
“Maaf, aku akan berusaha berubah.” Gaza bersungguh-sungguh.
“Berubah?” tanya Nala pelan. Wanita itu kembali menatap wajah tampan suaminya, netra coklat itu menatap Nala penuh keyakinan.
“Tapi aku ingin berhenti, jangan memaksa.”
“Gak, aku belum pernah mencoba. Jadi kali ini beri kesempatan untuk aku mencoba…”
“Mencoba, ini bukan makanan yang bisa Mas coba sesuka hati,” potong Nala.
Gaza mengangkat tangannya pelan. Satu… dua… tiga. Jari telunjuk, jari tengah dan jari manis berdiri tegak seolah menyampaikan angka tiga sebagai sebuah komitmen.
“Tiga bulan, kasih aku waktu tiga bulan atau gak sembilan puluh hari saja. Aku akan mengusahakannya hubungan kita, menghadirkan cinta di pernikahan kita.” Gaza menarik tangan Nala seolah meyakinkan perempuan itu.
Nala tercengan, ia sempat ingin membantah tapi urung ia lakukan. Ia menutup kembali mulutnya dan memalingkan wajah ke arah lain.
“Mas, pernikahan ini bukan untuk coba-coba.” Nala berujar pelan.
Gaza mengusap wajahnya frustasi. Ia seorang dosen, tapi berbicara di depan istrinya ia seperti miskin kosakata hingga Nala salah paham dengan maksudnya.
“Bukan begitu,’’ bantah Gaza.
Nala mengangguk, ia tahu Gaza bingung dengan perasaannya sendiri. Bingung ingin mengungkapkan seperti apa. Nala bisa melihat itu semua dengan jelas.
“Besok saja kita bahas, Mas. Kepala aku pusing.” Nala tidak berbohong, ia masih tidak nyaman pada tubuhnya.
Mendengar itu Gaza seketika mendekat, ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh kening Nala. Ekspresi wajah seketika berubah saat merasakan tubuh Nala sedikit hangat.
“Kamu masih demam,” ucap Gaza pelan.
Nala ikut menyentuh keningnya, benar saja ia bisa merasakan hangat tubuhnya. Pantas saja dia merasa suhu kamar ini terlalu dingin, ternyata dia belum benar-benar sembuh.
“Aku panggil dokter!” Gaza bergegas, tapi belum sempat ia melangkah Nala suda menarik tangannya. “Ada apa?” tanyanya lagi.
Nala menghela nafas, suaminya ini bisa juga jadi orang yang lambat dalam berfikir.
“Pencet tombol itu aja gak sih?” Nala menunjuk tombol berwarna merah pada sisi tempat tidurnya.
“Oh…” Gaza merasa malu, tapi dengan cepat tangannya menekan tombol merah yang baru saja di tunjuk oleh Nala.
Saat Nala ingin melepas pegangan tangan dari Gaza, suaminya itu dengan cepat menahannya dan berbalik menggenggam tangan Nala.
“90 hari, boleh?” tanya Gaza lagi.
“Mas, besok!” jawab Nala tegas.
Akhirnya Gaza menangguk dan memilih duduk di kursi tanpa melepas genggaman tangannya dari Nala.
Nala hanya bisa menatap tangannya yang digenggam erat oleh Gaza. Nala belum terbiasa dan ia merasa ini aneh. Tapi lebih aneh, Nala justru ikut menggenggam tangan Gaza.
Susana seketika hening, Gaza beberapa kali melirik ke arah pintu. Ia kesal karena perawat belum ada yang datang melihat keadaan Nala, padahal ia sudah melakukan panggilan.
“Semoga bukan Dokter Reza,” gumam Gaza tanpa sadar.
Nala tersenyum sinis. Kecewa, sepertinya suaminya itu berharap yang datang adalah Anggia, kakaknya.
“Kenapa kalau dokter Reza?” tanya Nala iseng.
“Gak suka,” jawan Gaza masih dengan wajah datarnya.
“Yakin? Bukan karena kamu berharap yang datang Kak Anggai?” tanya Nala langsung.
“Gak! Aku gak suka dia memuji kamu didepan aku?” ucap Gaza jujur.
Nala mengerutkan keningnya, ia merasa Reza tak pernah memujinya.
“Kapan?” tanya Nala sembari mengulang semua memori di otaknya.
Gaz menghela nafasnya, ia menatap Nala yang benar-benar kebingungan.
“Pagi tadi,” ucap Gaza akhirnya.
Nala tertawa pelan, ia melirik Gaz yang sedang kesal apalagi melihat dirinya tertawa.
“Dia memuji Kak Anggia, bukan aku.” Nala meluruskan kesalahpahaman itu.
Gaza menggeleng, ia menolak pendapat Nala. Yang ia lihat, Dokter Reza memuji istrinya tepat di depan mukanya.
“Sudahlah, gak penting juga diluruskan.” Nala menyerah.
Suara ketukan pintu terdengar. Serentak Nala dan Gaza menoleh ke arah pintu. Gaza berharap bukan Reza, sedangkan Nala ia menggu bagaimana reaksi Gaza jika yang membuka pintu adalah Dokter reza.
“Selamat malam, Nala?”
Dokter Reza masuk di temani seorang perawat, senyumnya merekah dan terlibat menawan dengan jas dokternya. Tapi bagi Gaza, pria itu biasa-biasa saja.
“Maaf lama, tadi saya di ruangan sebelah dulu memeriksa pasien yang lain.” Reza menjelaskan alasan keterlambatannya. “Ada keluhan?”
Reza mengeluarkan stetoskopnya, Nala mengangkat sedikit bajunya agar Reza bisa memeriksa.
Gaza yang melihat itu semua sedikit kesal, ia bahkan belum pernah menyentuh perut Nala, bagaimana bisa Reza bebas menyentuhnya seperti itu.
“Suhunya 38 Dok, sedikit demam,” ucap perawat sambil memperlihatkan termometer di tangannya.
“Mual muntahnya bagaimana?” tanyanya sembari menatap Nala.
“Hanya tadi pagi, setelah diberi obat, mualnya sudah berkurang dan tidak ada muntah lagi.” Nala menjelaskan sesuai yang ia rasakan.
Reza melirik ke arah Gaza yang terus menatap tangannya yang baru saja menyentuh Nala. Senyum tipis terbit di sudut bibir dokter muda itu.
“Baiklah, sepertinya obat demam di lanjutkan saja, kita lihat besok pagi, jika membaik sudah bisa pulang,” jelas Dokter Reza.
Nala seketika tersenyum, membayangkan bisa pulang, ia sudah sangat senang. Setidaknya di rumah ia bisa berada di kamar sendirian, tanpa Gaza tentunya.
Beberapa hari satu ruangan dengan Gaza membuat kerja jantungnya tak aman. Lagi pula, hatinya gampang luluh. Modal sandiwara saja ia jatuh cinta, apalagi tadi dirinya dan Gaza sudah berbicara cukup banyak. Jika diingat-ingat, hari ini dan kemarin adalah obrolan terpanjang mereka setelah menikah.
“Walaupun gak sehat, tetap boleh pulang ya Dok. Ada Kak Anggia yang merawat saya di rumah. Disini membosankan,” curhat Nala membuat Reza tertawa, suaranya menggema membuat Nala ikut tertawa.
“Baiklah, saya lihat apa Anggia bersedia? Beberapa hari ini dia sangat sibuk, pasiennya banyak. Mungkin karena dia cantik dan lemah lembut, jadi pasien-pasien betah berlama-lama untuk konsultasi.” Reza menjelaskan dengan antusias.
Ucapan Reza menyadarkan Gaza, bahwa yang Nala ucapkan benar. Reza memuji Anggia bukan istrinya. Sepertinya Gaza harus belajar lebih banyak mengenai ini semua.
“Kak Anggia memang cantik.” Nala ikut memuji, ia senang jika Kakaknya banyak yang menyukai.
“Kamu juga cantik,” piji Reza serius.
Sontak saja Gaza menatapnya tajam. Baru saja Gaza menyesali kesalah pahamannya mengenai Reza. Ia menarik ucapannya, Nala yang harus banyak belajar agar tau saat orang-orang memujinya.
Nala tertawa kecil, “terima kasih, Dok. Perempuan memang harus cantik, kalau ganteng berarti perlu di pertanyakan.”
“Nah cerdas.” Reza menjentikan jarinya pelan, ia setuju dengan ucapan Nala. “Baiklah, aku ingin lebih lama di sini. Tapi, aku takut diterkam oleh seseorang. Jadi besok saja, bersama Anggia.”
“Oh baik, sekali lagi terima kasih, Dokter.”
Reza menangguk sembari tersenyum ke arah Nala. Ia beralih menatap Gaza. “Ada yang ingin ditanyakan, Pak Gaza?” tanya Reza pelan.
Gaza tersenyum kaku, tangannya terangkat sembari menunjuk asal. “Sepertinya tidak ada,” ucap Gaza, seketika senyum di wajahnya lenyap.
Reza mengangguk sambil mencibirkan bibirnya. “Padahal kemarin di UGD, Pak Gaza yang paling panik. Saya masih mengingatnya.” ucap Reza dengan nada mengejek.
Gaza ingin membalas tapi Nala sudah menahan dengan menggenggam tangannya.
“Baiklah, saya permisi. Selamat malam!”
Reza berlalu tanpa menunggu jawaban, ia tersenyum senang melihat ekspresi Gaza. “Naif…” bisiknya.
Gaza melihat gerakan bibir Reza, entah kenapa itu menambah rasa tidak sukanya pada pria itu. Sepertinya ia harus meminta untuk mengganti dokter penanggung jawab untuk Nala besok.
“Ganti dokter!” ucap Gaza tiba-tiba.
“Lah kenapa?” Nala bingung, apalagi yang akan suami pura-puranya ini lakukan.
Gaza tak ingin menjelaskan, mendorong tubuh Nala agar berbaring. Tangannya menarik selimut untuk menutupi tubuh Nala.
“Tidur, besok kalau gak pulang kita ganti dokter. Jangan membantah.”
Nala menurut, ia berbaring dan melihat Gaza bukannya istirahat di sofa justru duduk di sampingnya sembari membuka buku yang tadi di bawah oleh Zanna.
“Mas gak tidur?” tanya Nala lagi.
Gaza menggeleng, ia kembali fokus dengan buku bacaannya. Ia berusaha mengabaikan Nala yang masih menatapnya hingga perlahan-lahan mata istrinya terpejam. Suara dengkuran halus terdengar teratur menandakan Nala sudah terlelap. Gaza meletakkan bukunya, ia mengusap pelipis Nala yang sedikit berkeringat. Obat demamnya telah beraksi.
“Ternyata kita bisa ngobrol selama ini. Setelah ini, aku harap obrolan kita tentang masa depan,” bisik Gaza. Entah dorongan dari mana, ia mengecup singkat kening Nala. Kali ini ia sadar sepenuhnya, bukan karena tuntutan sandiwara tapi karena ia ingin dan wanita itu adalah istrinya, Nala.