cerita ini aku ambil dari kisah aku sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agnura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps # Tiba - tiba kak Angga nembak " mengutarakan hatinya '
--
Malam itu aku sedang rebahan di kasur, lampu kamar remang, dan udara malam terasa sedikit dingin. Dari luar terdengar suara jangkrik bersahutan, menambah suasana tenang yang sebenarnya, bikin hati aku tenang. Baru saja aku selesai shalat Isya, niatnya mau istirahat sambil main HP sebentar sebelum tidur. Tapi belum juga sempat membuka hp, tiba-tiba ponselku bergetar kencang.
“Kringggg… kringggg… kringggg…”
Nada dering itu memecah keheningan. Aku menatap layar dan terkejut—nama “Kak Gio” terpampang di sana.karena di hp aku nama kak Gio belum di ganti jadi Angga
Aku sempat ragu beberapa detik sebelum menjawab. Hati kecilku berdebar aneh, campur aduk antara senang dan bingung. Akhirnya, dengan jari yang sedikit gemetar, aku geser tombol hijau.
“Hallo, Kak…” suaraku pelan.
Di ujung sana terdengar suara yang sudah tak asing. Lembut tapi selalu punya cara bikin deg-degan.
“Lagi apa, Dek? Udah makan belum? Aku ganggu nggak nih?” tanyanya dengan nada santai tapi penuh perhatian.
Aku refleks tersenyum kecil walau tak terlihat.
“Enggak kok, Kak. Aku lagi rebahan aja, baru beres salat Isya.”
Dia tertawa kecil, tawa yang khas banget ada sedikit serak di ujungnya, seperti tawa orang yang mencoba menahan rasa gugup.
“Oalah, pantes suaranya adem banget. Eh, aku mau ngomong sesuatu, boleh?” tanya kak Angga
Aku langsung tegak duduk, jantungku berdetak cepat. “Ngomong apa, Kak?”
“Hmm… tentang tadi sore,” katanya lirih.
"Tadi sore kita kan ketemu di di warung. Cuma ngobrol sebentar aja kamu gimana rasanya, tapi entah kenapa perasaan aku agak berbeda dari biasanya. Ada sesuatu di matamu, aku pikir tatapan itu tatapan yang lebih dalam bukan hanya sekadar tatapan biasa,
“ emang ada apakah tadi sore ada yang aneh?” tanyaku mencoba tenang.
Hening sejenak. Hanya suara napasnya yang terdengar samar. Lalu tiba-tiba, dengan suara mantap namun lembut, dia berkata,
“Dek, aku suka sama kamu. Aku serius. Mau nggak jadi pacar aku?”
Aku terdiam. Antara percaya dan tidak. Rasanya waktu berhenti sejenak, seperti angin pun ikut menunggu jawabanku.
“Ka… kamu beneran? Nggak serius kan?” kataku terbata, mencoba memastikan.
“Beneran, adek. Aku suka sama kamu. Aku nggak main-main.” suaranya kali ini tegas, tapi hangat.
Aku menggigit bibir, bingung harus bagaimana. Setengah diriku ingin langsung bilang iya, tapi setengahnya lagi takut. Takut kalau semua ini cuma candaan atau perasaan sesaat. Tapi lalu dia menambahkan sesuatu yang membuatku benar-benar terdiam.
" jadi bagaimana dia mau nggak jadi pacar aku??" tanya dia
“kalau dibilang percaya nggak, nggak percaya juga nggak, tapi coba aja ngomong ke mamah aku, Bilang aja kaka mau minta izin sama beliau.” ucap ku
" iya dek boleh aku mau bicara sama mama, coba mamanya di mana kasih aja hp-nya ya"
Aku menatap layar HP lama, kaget bukan main. Ini baru pertama kalinya ada cowok yang berani bilang suka dan langsung mau minta izin ke mamah. Dalam hatiku ada rasa kagum yang sulit dijelaskan. Tapi juga ada rasa canggung bagaimana aku menjelaskan ini ke mamah?
Akhirnya, dengan napas yang agak berat, aku turun dari kasur, membawa HP yang masih tersambung dengan suara Kak Gio. Aku melangkah ke ruang tengah "di mana mamah " mamah nya gak ada lanjut aku pergi ke dapur ternyata mamah sedang beres2 di dapur ,
“Mah…” panggilku pelan.
“Iya, kenapa, Nak?” mamah menoleh dengan senyum kecil.
Aku menatap mamah sejenak, lalu memberanikan diri berkata, “Mah, Kak Angga… eh, Kak Gio maksudnya, mau ngomong sama mamah. Katanya mau izin. Dia bilang suka sama aku dan mau jadi pacar aku.”
Mamah yang semula santai langsung terdiam. Tatapannya berubah sedikit serius. Lalu, dengan nada datar tapi lembut, beliau berkata,
“Gak mau ah, nak. Kamu tuh tiap punya pacar, ujung-ujungnya gak pernah serius. Mamah capek ngelihat kamu sedih terus.”
Deg. Kata-kata itu langsung menohok hati. Aku tahu mamah benar. Sebelumnya aku memang sering kecewa dikhianati, ditinggal tanpa alasan, dijanjikan sesuatu tapi tak ditepati.
Tapi kali ini… entah kenapa aku merasa berbeda. Ada sesuatu di cara Kak Gio bicara, di ketulusannya. Aku yakin dia nggak seperti yang lain.
“Nggak, Mah… ini beda. Dia beneran serius,” kataku, memohon sedikit.
Mamah masih menatapku lama, lalu menghela napas.
“Ya sudah, kalau gitu kasih aja HP-nya. Biar mamah aja yang ngomong.”
Tanganku gemetar waktu menyerahkan ponsel itu. Dalam hati aku berdoa semoga Kak Gio benar-benar serius seperti yang dia bilang.
“Assalamualaikum,” suara mamah terdengar tegas tapi sopan.
“Waalaikumussalam, Bu,” jawab Gio dari seberang. Suaranya terdengar gugup tapi sopan.
Mamah tersenyum kecil mendengar cara bicaranya.
“Jadi ini kamu yang namanya Angga, ya? Cila sering cerita tentang kamu.
“Iya, Bu,” jawabnya tanpa ragu. “Saya tahu mungkin terdengar tiba-tiba, tapi saya suka sama Cila. Saya nggak mau cuma main-main, makanya saya mau izin sama Ibu dulu.”
Suasana jadi hening sejenak. Aku memperhatikan wajah mamah yang sulit ditebak antara menahan senyum dan masih ragu.
Mamah menatapku sekilas, lalu berkata ke telepon,
“Kamu tahu kan, nak, anak saya ini gampang percaya sama orang. Tapi kalau disakiti, susah banget sembuhnya. Jadi kalau kamu benar-benar serius, buktikan dengan sikap. Jangan cuma kata-kata.”
“Iya, Bu. Saya ngerti,” jawabnya mantap. “Saya bakal jaga kepercayaan Ibu. Saya juga bakal jaga Cila sebaik mungkin.”
Mamah tersenyum lemah, lalu berkata, “Ya sudah. Ibu percaya. Tapi inget ya, pacaran jangan kebablasan. Tetap tahu batasnya.”
“Iya, Bu. Terima kasih,” jawab Gio pelan tapi bahagia.
Setelah itu, mamah menyerahkan lagi ponselku sambil berkata lirih,
“Hati-hati ya, Nak. Mamah cuma nggak mau kamu terluka lagi.”
Aku mengangguk pelan, menatap mamah dengan mata yang hampir berkaca-kaca.
“Terima kasih, Mah.”
" Kalo Begitu aku pamit ke kamar ya mah"sambil aku menempelkan HP ke telinga.
“Ka…” panggilku pelan.
“Hei, adek…” suaranya kini terdengar lega. “Aku senang banget mamah kamu mau kasih izin. Aku janji nggak bakal main-main.”
Aku tersenyum, meski air mata menetes pelan tanpa kusadari.
“Terima kasih ya, Kak. Aku juga mau coba percaya.”
“Boleh aku bilang sesuatu?” tanya dia lagi.
“Apa?”
“Mulai malam ini, kamu resmi jadi pacar aku ya?” katanya sambil tertawa kecil.
Aku ikut tertawa malu-malu. “Iya, Kak…”
Malam itu, entah kenapa, terasa berbeda. Ada kehangatan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Dari telepon yang sederhana, dari kata-kata yang tulus, dari keberanian seseorang yang akhirnya membuatku percaya lagi bahwa tidak semua cinta berakhir dengan luka.
Aku menatap layar HP yang menampilkan nama “Kak Gio” dan senyumku mengembang.
Mungkin ini awal yang baru.
Mungkin, untuk kali ini, aku benar-benar jatuh cinta lagi—tapi dengan cara yang lebih tenang, lebih yakin, dan lebih tulus.
lalu aku mengganti nomor kak gio dengan panggilan sayang,
---