Bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu kalah oleh masa lalu suami sendiri?
Raisha tak pernah menyangka, perempuan yang dulu diceritakan Rezky sebagai "teman lama”itu ternyata cinta pertamanya.
Awalnya, ia mencoba percaya. Tapi rasa percaya itu mulai rapuh saat Rezky mulai sering diam setiap kali nama Nadia disebut.
Lalu tatapan itu—hangat tapi salah arah—muncul lagi di antara mereka. Parahnya, ibu mertua malah mendukung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Barra Ayazzio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Honeymoon
Malam itu, langit Toronto masih membawa angin musim semi yang dingin, seolah ikut menambah berat suasana hati Roy. Gawainya bergetar beberapa kali—foto yang dikirim temannya memenuhi layar: Nadia tersenyum di pelaminann dengan gaun dusty blue mewah, berdiri di samping seorang pria bernama Rizal. Bahagia. Utuh. Lengkap.
Roy sempat terpaku. Dunia seakan berhenti sejenak, lalu runtuh dengan suara yang tidak terdengar. Hanya dentuman pelan di dadanya yang terasa seperti dihantam batu besar. Ia menelan ludah, berusaha tertawa kecil, tapi tenggorokannya tercekat. “Jadi… sudah benar-benar terjadi,” gumamnya, hampir tidak bersuara.
Beberapa jam kemudian, Club Nighthaven—tempat di mana Roy biasanya bekerja sebagai bartender—justru dipenuhi suara botol yang bersentuhan, bukan oleh para tamu, tapi oleh Roy sendiri. Malam itu ia tidak bekerja. Ia duduk di pojokan meja bar, menenggak minuman yang biasanya tidak pernah ia sentuh sebanyak itu.
Lampu neon membentuk garis-garis warna keunguan di wajahnya yang merah karena alkohol. Musik EDM yang membahana tidak berhasil menenggelamkan rasa pedih yang mengalir di dadanya. Dia memukul-mukul meja pelan, seperti mencoba mengusir sakit yang menumpuk.
"Gila… dia menikah. Dia—menikah.” Suaranya serak.
Tidak ada yang benar-benar mendekatinya, kecuali satu orang yang memperhatikannya sejak tadi: Allysa.
Perempuan itu berdiri di dekat pintu masuk staf, tubuhnya tegang, tatapannya cemas. Dia tahu Roy jarang seperti ini. Terluka, hancur, tidak berdaya. Dan malam itu, melihat Roy tenggelam dalam gelas demi gelas, hatinya ikut tercabik—bukan karena Nadia, tapi karena ia tidak tahan melihat orang yang ia cintai merusak dirinya sendiri.
Allysa mendekat perlahan.
"Roy,” Panggilnya lembut, tapi suaranya tenggelam di antara musik.
Dia menyentuh lengan Roy, membuat pria itu menoleh.
"Woy, Allysa” Roy nyaris tidak fokus. “Nadia udah… merit, tahu nggak? Merit.” Ia tertawa getir, dagunya bergetar. “Dan gue cuma… gue cuma lihat dari foto.”
Allysa menahan napas. Sakit mendengar nama itu lagi-lagi disebut, tetapi ia tersenyum tipis. "Ayo pulang. Kamu udah nggak bisa di sini.”
Roy buru-buru berdiri, tapi tubuhnya limbung. Allysa sigap memeganginya, membiarkan Roy bersandar padanya. Beberapa staf mengamati dengan cemas, namun Allysa memberi isyarat bahwa semuanya terkendali.
Keluar club, udara musim semi malam itu menusuk lembut. Roy gemetar kecil, entah karena alkohol atau patah hati. Ia terus bergumam, “Harusnya gue bilang dari dulu… harusnya….”
Di pinggir jalan, Allysa memanggil taksi. Begitu pintu terbuka, ia membantu Roy masuk. Kepala pria itu bersandar di bahunya, berat dan panas. Allysa menatap wajah Roy yang kusut, matanya memerah, bibirnya gemetar. Hatinya mencelos.
"Andai lu tahu dari dulu Roy, kalau ada orang yang diam-diam selalu memilihmu." Batin Allysa.
Perjalanan menuju apartemen Roy terasa panjang. Ia menggenggam lengan Roy agar pria itu tidak jatuh ke depan. Sesekali Roy tertidur setengah sadar, sesekali menggumam nama Nadia lagi—dan setiap gumaman itu menghantam dada Allysa seperti pisau kecil.
Setibanya di lobi apartemen, Allysa mengucapkan terima kasih pada supir taksi, lalu jatuh bangun membantu Roy berdiri. Dengan susah payah, ia membimbingnya masuk lift. Roy menyandarkan kepalanya di dinding lift, matanya setengah tertutup. “Thanks, Allysa,” gumamnya lemah. "Kamu… baik banget, tapi gue hanya mencintai Nadia”
Allysa menelan perih itu. "Gue tahu Roy, gue cuma nggak mau lu kenapa-kenapa.”
Begitu sampai di unit Roy, ia merogoh saku pria itu, mengambil kunci, dan membuka pintu. Apartemen gelap, hanya diterangi lampu jalan dari jendela besar. Allysa membimbing Roy ke sofa dan menurunkannya perlahan. Roy langsung terkulai, napasnya berat, tapi lebih tenang.
Allysa mengambil segelas air dari dapur kecil, meletakkannya di meja dekat sofa. Ia merapikan rambut Roy yang kusut, menatap wajah yang begitu ia hapal dari jarak dekat. “Kamu pantas bahagia, Roy… tapi bukan dengan cara menyakitimu begini.”
Ia berdiri beberapa menit, memastikan Roy tertidur. Sebelum pergi, ia menarik selimut tipis dan menutup tubuh pria itu dengan hati-hati.
Di ambang pintu, Allysa menoleh sekali lagi.
Ada getir dan cinta yang menumpuk di matanya.
"Suatu hari,” bisiknya, "semoga kamu sadar, ada yang selalu ada di sini.”
Lalu ia menutup pintu perlahan, meninggalkan Roy dalam kehangatan.
*****
Sehari setelah resepsi, Jakarta terasa jauh lebih tenang. Di pagi yang lembut, Nadia dan Rizal mulai berkemas. Masih ada rasa lelah di tubuh, tapi senyum tak hilang dari wajah mereka.
Rencana hari itu, mereka mau honeymoon. Tempat yang dipilih adalah Pulau Seribu, karena Rizal khawatir kalau jauh akan bermasalah dengan kandungan istrinya. Keluarga Nadia sempat mempertanyakan kenapa honeymoon di tempat yang dekat. Setelah dijelaskan bahwa mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk honeymoon karena akan pindahan juga ke apartemen Rizal, mereka baru mengerti.
Di perjalanan menuju Marina Ancol, tangan mereka saling bertaut, sesekali Rizal mencuri pandang.
"Masih nggak percaya ya kalau kamu udah jadi istriku?” godanya.
Nadia tertawa kecil. “Aku juga masih nggak percaya kalau k?Mas Rizal beneran nikahin aku.”
Motor boat yang mereka tumpangi melaju memecah permukaan laut. Angin laut menerbangkan anak rambut Nadia, membuatnya menahan tawa setiap kali Rizal mencoba membetulkan anak rambutnya yang menghalangi wajah. Langit cerah, menyambut mereka seolah tahu hari itu adalah awal baru.
Tiba di Pulau menjelang siang. Mereka memilih salah satu pulau resort yang tidak terlalu ramai, suasananya tenang dan bersih. Pasir putih menyentuh kaki Nadia, lembut dan hangat. Cottage mereka menghadap langsung ke pantai, dengan jendela besar yang mempersilakan cahaya masuk begitu ramah.
Begitu masuk kamar, Nadia terharu melihat rangkaian bunga sederhana dan tulisan kecil yang ditaruh pihak resort: "Happy Honeymoon.”
Rizal mendekat dan berbisik, "Semoga setiap hari setelah ini rasanya kayak hari ini.”
Setelah istirahat dan makan siang, mereka mencoba snorkeling. Rizal memegangi tangan Nadia agar tidak takut saat pertama kali masuk ke air.
"Kalau kamu tenggelam, aku ikut,” Kata Rizal, separuh bercanda.
Nadia mendorong bahunya pelan. "Kamu jangan jadi beban ya.”
Di bawah permukaan air, ikan-ikan berwarna-warni berenang di antara karang. Nadia sempat melambai ke arah Rizal di bawah air—dan Rizal malah menyahut dengan membentuk tanda hati dengan tangannya. Nadia tertawa sampai snorkelnya hampir copot.
Setelahnya mereka duduk di tepi pantai, basah dan kelelahan, tapi sangat bahagia.
Menjelang senja, mereka berjalan mengelilingi pulau kecil itu. Langit berubah jingga keemasan yang memantul di permukaan laut. Angin sore meniup lembut rambut Nadia, sementara Rizal merangkul bahunya.
"Sayang, makasih ya udah mau nerima semua kekuranganku,” Ucap Rizal perlahan.
Nadia menatapnya, matanya lembut. "Buat aku, kamu lebih dari cukup.”
Mereka duduk di dermaga kayu melihat matahari tenggelam pelan-pelan, seperti mencatat momen itu dalam ingatan.
Malamnya, mereka makan malam di resto outdoor kecil milik resort, hanya berdua di meja paling dekat pantai. Cahaya lampu temaram membuat suasana terasa sangat hangat.
Setelah makan, mereka kembali duduk di pantai, kaki terbenam di pasir. Ombak kecil berkejaran di bawah cahaya bulan. Nadia menyandarkan kepala di bahu Rizal.
Malam itu mereka tidak banyak bicara—karena ketenangan itu sendiri sudah cukup untuk membuat hati mereka penuh.