NovelToon NovelToon
DIARY OF LUNA

DIARY OF LUNA

Status: tamat
Genre:Bullying dan Balas Dendam / Balas dendam pengganti / Cintapertama / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

"Dunia boleh jahat sama kamu, tapi kamu tidak boleh jahat sama dunia."

Semua orang punya ceritanya masing-masing, pengalaman berharga masing-masing, dan kepahitannya masing-masing. Begitu juga yang Luna rasakan. Hidup sederhana dan merasa aman sudah cukup membuatnya bahagia. Namun, tak semudah yang ia bayangkan. Terlalu rapuh untuk dewasa, terlalu lemah untuk bertahan, terlalu cepat untuk mengerti bahwa hidup tidak selamanya baik-baik saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KENANGAN

DELAPAN TAHUN KEMUDIAN...

Sore itu, jalanan kota dipenuhi riuh dan cahaya yang berkelindan. Langit mulai berwarna jingga keemasan, tapi keindahan senja itu tertahan di balik deretan kendaraan yang nyaris tak bergerak. Klakson bersahutan di antara suara mesin yang meraung pelan, menciptakan irama khas jam pulang kerja.

Asap tipis dari knalpot bercampur dengan aroma hujan yang baru saja reda, meninggalkan udara yang pengap namun hangat. Lampu rem mobil-mobil berderet panjang, memantulkan cahaya merah ke kaca spion dan kap mobil di depannya. Barisan kendaraan melingkar seperti ular besi yang tak kunjung sampai ke ujung.

Di dalam salah satu mobil, Luna tampak menatap keluar jendela. Jemarinya mengetuk setir pelan, mencoba menahan sabar. Dari speaker mobil terdengar alunan lagu lembut yang nyaris tenggelam oleh kebisingan luar. Pandangannya sesekali beralih ke cermin depan—melihat pantulan wajah yang lelah, tapi tenang.

Ia menarik napas panjang, memandangi langit yang mulai redup. Senja memantul di kaca depan, membias warna jingga di matanya. Meski terjebak dalam kemacetan, ada sesuatu yang tenang dalam suasana itu—seolah waktu sengaja melambat agar ia bisa berhenti sejenak, merenungi perjalanan hari ini sebelum malam datang sepenuhnya.

Tak lama, dering sebuah ponsel berbunyi di jok samping. Luna segera meraih benda itu dan menempelkannya pada daun telinga.

"Halo, Bu?" Katanya kemudian. Matanya masih terfokus pada kemudi.

"Luna kamu dimana?"

"Aku masih di jalan Bu. Terjebak macet jalanan. Oh ya..." Mata Luna melirik jam di lengannya. Jarum jam menunjuk ke angka tiga lewat sepuluh menit. "Bu. Aku sudah janji untuk bertemu Indah sore ini. Ijinkan aku pulang sedikit terlambat ya, Bu?"

"Baiklah, Nak. Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa ijin juga pada Bapak."

"Terima kasih ya, Bu. Luna sudah bilang pada Bapak waktu keluar kantor tadi."

"Syukurlah. Kabari Ibu ya, Nak."

"Baik, Bu."

Tuuuut.

Luna mematikan sambungan dan menyimpan ponselnya di jok sebelah, geRakannya tenang namun sarat ketegasan yang dulu tak pernah ia miliki. Rambutnya kini terurai sebahu, sedikit berantakan karena angin sore yang menelusup lewat celah jendela mobil. Tatapannya mantap ke depan, sorot matanya menandakan bahwa gadis itu telah tumbuh—bukan lagi remaja pemalu yang mudah diabaikan, melainkan perempuan dewasa yang tahu ke mana harus melangkah.

Ketika mobilnya berbelok memasuki jalan yang dulu begitu akrab, napasnya tertahan sejenak. Deru kendaraan dan sorot lampu senja yang memantul di aspal seakan mengembalikan ingatannya—tentang masa ketika ia masih menunggu ayah di depan rumah, tentang suara lembut ibu yang selalu memanggilnya pulang untuk makan malam. Setiap tikungan membawa gema kenangan: tawa, kehilangan, dan perjuangan yang membentuk dirinya kini.

Sore itu, di antara hiruk pikuk jalan yang macet dan lampu kota yang mulai menyala satu per satu, Luna sadar—ia telah kembali bukan sebagai gadis yang dulu sering diremehkan, melainkan sebagai seseorang yang akhirnya berdamai dengan masa lalunya.

Namun, ada satu hal yang tak pernah bisa ia lupakan. Di antara semua kenangan yang perlahan memudar, satu nama tetap melekat kuat di ingatannya—Arga.

Dulu, saat dunia seolah menutup diri darinya, salah satunya ada Arga yang tetap peduli. Ia yang mendengarkan tanpa menghakimi, yang hadir ketika semua orang menjauh. Tapi waktu telah memisahkan mereka tanpa sempat berpamitan dengan benar. Kini, Luna bahkan tak tahu di mana Arga berada, apakah masih di kota ini, atau sudah jauh meninggalkan semua yang dulu mereka lalui bersama.

Hatinya mengerut pelan di balik keheningan sore itu. Ada sesal yang tak bisa ia sembunyikan—karena di saat ia sibuk membangun dirinya, ia justru kehilangan seseorang yang pernah tulus menjaganya saat ia rapuh.

Luna menyeka kasar matanya yang basah, mematikan mesin saat mobilnya memasuki pekarangan toko yang nampak berbeda. ia kemudian beringsut turun dari mobilnya. Bunyi beep dia kali membuat seseorang keluar dari balik pintu toko.

"Ndaaah!" Gumamnya, memeluk erat Indah, sahabatnya—salah satu sosok pahlawan yang menyelamatkan hidupnya.

"Lo akhirnya datang." Katanya. "Yuk, masuk!"

Luna mengangguk. Langkahnya mulai mengikuti Indah, lalu duduk di badan sofa.

"mau minum apa, Lun?"

"Apa aja."

"Oke." Angguk Indah melangkah melewati meja kasir menuju dapur.

Sesaat, Luna tersenyum. Ini memang tak sekali dua kalinya ia datang kemari. Namun setiap kali langkahnya kembali menjejak lantai toko bunga itu, selalu ada rasa hangat yang berbeda. Udara di dalam ruangan dipenuhi aroma segar mawar dan melati yang menenangkan, berpadu dengan semilir musik lembut dari radio tua di sudut meja kasir.

Dulu, tempat ini bukan sekadar toko baginya—melainkan saksi perjuangan yang ia jalani diam-diam. Ia masih ingat bagaimana setiap pagi ia harus datang lebih awal, menata bunga satu per satu sambil menahan kantuk dan lelah setelah pulang dari sekolah. Tangannya yang dulu sering terluka karena duri kini menggenggam dengan tenang vas-vas kaca yang berkilau di bawah cahaya senja.

Ia menatap sekeliling, setiap bunga seolah bercerita tentang masa lalu yang pernah getir namun kini terasa manis. Senyum itu kembali muncul di bibirnya—senyum seorang perempuan yang telah tumbuh, yang pernah jatuh dan belajar bangkit dengan tangan penuh kelopak bunga.

"Buat lo." Ucap Indah mengejutkan, Tiba-tiba datang sambil membawa segelas minuman teh hangat dan kudapan kecil yang ia letakan di atas meja.

"Lo tahu seberapa besarnya gue pengen balik lagi ke masa lalu?" Lirih Luna dengan mata berbinar.

"Karena Arga?" Celetuk Indah. "Itukah salah satunya lo pengen ngulang masa lalu? Lo pengen ngubah hal yang gak seharusnya lo tinggalin, karena sadar kalau Arga itu berharga buat lo?"

Luna tertawa kecil, Seolah menertawakan dirinya sendiri. Ada getir yang samar di balik senyum itu—seakan ia sedang menertawakan betapa kerasnya dulu ia berusaha hanya untuk bertahan. Betapa dulu ia pernah merasa dunia terlalu sempit, terlalu berat, sementara kini segalanya terasa lebih ringan, lebih bisa diterima.

Matanya menatap jauh ke arah deretan bunga di etalase, kelopak-kelopak lembut yang dulu sering ia sentuh dengan tangan gemetar kini tampak seperti simbol dari perjalanannya sendiri—rapuh, tapi mampu tumbuh indah meski di antara duri.

"Bodoh banget ya, gue..." Gumam Luna pada dirinya sendiri.

"Lun..." Seru Indah dengan suara pelan, tapi cukup membuat gadis itu menangkap lagi wajahnya. "Gak ada yang salah dari masa lalu. Setiap yang lo lalui di masa itu... semuanya ngebentuk lo jadi kayak sekarang.”

Luna mengangguk tanpa suara.

"Sebenarnya, Lun..."

Dering ponsel membuat sepotong kata Indah terputus, matanya melirik benda tipis itu di atas meja. Sementara, Luna segera meraih ponselnya lalu menyentuh ikon hijau ke atas.

"Halo, Pak?" Kata Luna kemudian, menanggapi. Ia menegakkan tubuhnya, matanya sekilas menatap ke arah Indah yang kini ikut terdiam memperhatikan. “Aku masih di toko bunga, Pak,” Jawabnya perlahan. "Iya, Pak. Luna pulan sekarang."

Tuuuuut.

"Siapa?"

"Bokap nyuruh gue pulang cepet."

Indah hanya mengangguk sambil membulatkan bibirnya membentuk vokal O. "Balik sekarang?"

Luna mengangguk sambil beranjak dari kursi. "Gue pulang dulu, Ya Ndah. Yang penting... gue seneng ketemu lo hari ini, lo nyediain tempat buat gue mengenang masa lalu di hari ini."

Indah tertawa. "Jangan terlalu nengok masa lalu, nanti nabrak. Ibarat lo mengendarai mobil, nengok terus ke spion belakang... yang ada lo malah nabrak kendaraan di depan."

Lagi, Luna mengangguk dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. “Iya, gue tahu,” Ucapnya pelan, suaranya seperti hanyut di antara harum bunga dan lagu lembut yang mengalun dari radio tua di sudut ruangan. “Cuma… kadang yang di belakang itu belum selesai.”

Indah memutar bola matanya kecil, lalu mencondongkan tubuh di meja, menatap sahabatnya itu dengan ekspresi setengah menggoda, setengah prihatin. “Lun, hidup itu bukan soal siapa yang dulu sempat singgah, tapi siapa yang masih mau tetap ada sekarang.”

Kata-kata itu membuat dada Luna terasa hangat, sekaligus perih. Ia tahu, Indah benar. Tapi di balik setiap kelopak bunga yang ia tata, ada kenangan yang menolak gugur.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!