"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 27
Pesta debutan Putri Eleanor tinggal beberapa hari lagi, dan ibu kota ramai dengan kegembiraan atas undangan kekaisaran. Musim sosial telah resmi dimulai.
Salon dan toko pakaian sudah ramai pengunjung. Para penjual perhiasan terus-menerus mengunjungi rumah-rumah bangsawan, ambang pintu mereka sudah aus karena seringnya diinjak.
Tak seorang pun berniat melewatkan acara yang begitu dinantikan malah, banyak yang memanfaatkan koneksi mereka untuk menemani mereka yang telah menerima undangan.
Di kalangan wanita bangsawan, perbincangan tentang pesta debutan tidak dapat dielakkan, dan tak pelak, satu nama terus muncul dalam perbincangan mereka.
"Kudengar Yang Mulia Putri Mahkota mengawasi pesta tahun ini. Apakah itu berarti beliau juga akan hadir di perjamuan?"
"Sepertinya dia akan nampak begitu menawan, sayang sekali karna Putra Mahkota harus pergi memimpin pasukan perang"
Setiap kibasan kipas berbulu mereka mengirimkan gelombang halus ke udara, ekspresi mereka penuh simpati yang berlebihan. Namun, suara mereka menyiratkan rasa geli dan penasaran.
"Tapi Yang aku dengar mereka membawa dua peserta calon Putri Mahkota kembali ke istana, apa Putra Mahkota belum yakin dengan yang terpilih?"
"Kalau tidak salah namanya Lady Camilla"
"Iya.. sepertinya Putra Mahkota tidak tertarik dengan Lady Camilla"
Suara mereka begitu keras sehingga gosip mereka terdengar di setiap sudut tempat itu.
“Apa yang menurutmu sedang kau lakukan?!”
Tirai beludru tiba-tiba ditarik ke belakang, dan suara marah menggelegar di seluruh ruangan.
Seorang wanita dengan mata merah mencolok dan garis-garis abu-abu di rambut gelapnya berdiri dengan amarah yang membara.
"Bergosip terang-terangan di tempat umum, sungguh memalukan! Apalagi memfitnah anggota keluarga kekaisaran?"
Mendengar teguran Duchess Vandell, para wanita bangsawan langsung berdiri dengan panik. Dalam keadaan panik, rok mereka kusut, dan beberapa bahkan menjatuhkan kipas mereka karena terburu-buru.
“Aduh! Duchess, kami tidak bermaksud begitu..”
"Aku tidak mau dengar! Bagaimana mungkin wanita bangsawan, yang seharusnya memberi contoh bagi orang lain, bergosip seperti orang jalanan biasa? Aku benar-benar kecewa pada kalian semua!"
Wajah para wanita bangsawan itu memucat pucat pasi, seolah-olah mereka akan mati lemas di tempat. Wajar saja, mereka telah ditandai dengan jelas oleh orang dari keluarga Vandell yang bergengsi, yang dikenal karena pengaruhnya di seluruh kekaisaran.
“M-maaf, Duchess Vandell. Kami salah bicara.. Mohon maafkan kami.”
“Kamu seharusnya mencari pengampunan bukan dariku, tapi dari Putri Mahkota.”
"Aku sudah ingat semua wajah kalian. Kalian semua akan menghadiri perjamuan mendatang, kan? Aku akan mengawasi kalian dengan saksama untuk melihat bagaimana kalian bersikap."
Hawa dingin menjalar ke seluruh ruangan, meskipun berada di dalam ruangan. Para wanita bangsawan secara naluriah mencengkeram erat selendang renda mereka di bahu untuk menangkal angin dingin yang seolah berasal dari sang Duchess sendiri.
Keesokkan harinya di istana, Camilla sibuk menyusun daftar prioritas baru. Setelah berhari-hari mengatur anggaran, kini ia harus memastikan logistik pesta berjalan sempurna.
Mary membawa baki berisi teh hangat. “Yang Mulia, ini teh chamomile. Anda harus minum dulu, kalau tidak, Anda akan tumbang.”
Camilla menoleh sebentar, tersenyum lemah. “Kalau aku tumbang, pesta ini juga akan tumbang. Aku tidak bisa berhenti sekarang.”
Ia kembali menunduk pada daftar panjang di depannya, daftar tamu kehormatan, rangkaian hiburan, dekorasi aula, menu makanan, hingga jadwal latihan untuk pelayan. Semua harus disusun rinci, dan waktu yang tersisa hanya sembilan hari.
Mary duduk di kursi seberang, memperhatikan tuannya dengan cemas. “Tapi Anda tidak perlu melakukan semuanya sendiri. Annette dan Seraphina juga diberi tugas oleh Ibu Suri.”
Camilla terdiam sejenak, lalu mendesah. “Itulah masalahnya. Mereka diberi tugas, tapi aku tidak yakin apakah mereka benar-benar ingin pesta ini sukses, atau hanya ingin melihatku gagal.”
Mary menunduk, tidak berani menanggapi lebih jauh. Ia tahu benar ketegangan yang mengelilingi Camilla sejak dua wanita itu dibawa masuk ke istana.
Di ruangan lain, Annette duduk di depan cermin panjang, membiarkan pelayannya merapikan rambut emasnya. Ia tersenyum samar, memandangi bayangan dirinya sendiri.
“Jadi, Camilla benar-benar mengatur segalanya sendiri?” tanyanya pada salah satu dayang.
“Sepertinya begitu, Lady. Semua perintah datang langsung darinya. Bahkan bendahara pun dipaksa menyetujui anggaran sesuai permintaannya.”
Annette tertawa kecil. “Dia memang keras kepala. Tapi itu akan jadi pedang bermata dua. Kalau pesta ini berjalan lancar, orang-orang akan kagum padanya. Tapi jika ada satu saja kesalahan, semua akan menuding dia. Dan aku akan ada di sana untuk menyaksikannya.”
Ia mengangkat dagunya, sorot matanya bersinar penuh perhitungan.
Sementara itu, Seraphina berdiri di taman istana, memandang bunga mawar yang mulai bermekaran. Ia tidak berbicara dengan siapa pun, hanya termenung lama. Di tangannya, ia memegang daftar kecil berisi tugas yang diberikan padanya, memastikan keamanan dan protokol penyambutan tamu.
Ia tahu tanggung jawabnya penting, tapi pikirannya melayang ke hal lain.
Mengapa aku harus dipaksa bersaing dalam permainan ini?
Apakah ini benar-benar tentang pesta, atau tentang siapa yang akan tetap berdiri di sisi Putra Mahkota saat ia kembali?
Seraphina mengepalkan tangan, lalu memasukkan daftar itu ke dalam saku gaunnya. Aku tidak peduli siapa yang menang. Aku hanya tidak akan membiarkan diriku dipermalukan.
Hari berganti dengan cepat. Gosip di kota terus menyebar, semakin liar. Ada yang mengatakan Camilla hanyalah bayangan, karena Putra Mahkota masih belum mengumumkan rencana pernikahan. Ada pula yang menyebut pesta debutan Eleanor hanyalah panggung untuk menguji Camilla.
Desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga Camilla, dibisikkan oleh Mary saat mereka sedang memeriksa rancangan dekorasi aula.
“Yang Mulia, saya.. saya harus memberitahu sesuatu. Di luar istana, banyak yang membicarakan Anda. Mereka bilang Putra Mahkota belum benar-benar memilih Anda. Mereka.. mereka juga meragukan kemampuan Anda.”
Camilla terdiam, jemarinya berhenti di atas kain sutra yang baru saja ia nilai warnanya. Matanya menajam, tapi bukan karena marah, melainkan karena perasaan getir yang muncul dari dalam.
“Biarkan mereka bicara,” katanya akhirnya, suaranya datar. “Kalau aku sibuk memikirkan semua mulut yang berbisik, pesta ini tidak akan pernah selesai. Dan aku tidak bisa mengecewakan Eleanor.”
Mary menggigit bibirnya, merasa kasihan. Ia tahu Camilla kuat, tapi ia juga tahu seberapa besar beban yang sedang ditanggung tuannya sendirian.
Sore itu, Camilla menerima laporan bahwa sebagian undangan sudah diterima dan tamu-tamu penting menyatakan akan hadir. Namun, ada satu masalah, beberapa keluarga bangsawan yang berpengaruh menolak hadir dengan alasan kesehatan atau perjalanan jauh. Padahal, semua tahu itu hanyalah dalih.
Roman, sang bendahara, yang kembali datang untuk menyerahkan dokumen pencairan dana, berbisik hati-hati, “Yang Mulia.. beberapa bangsawan menolak hadir karena menganggap pesta ini diatur oleh Anda, bukan Permaisuri.”
Camilla menatapnya dingin. “Kalau begitu, biarkan mereka. Jika mereka lebih suka menentang Putri Mahkota, itu pilihan mereka. Tapi ingat, semua orang akan tahu siapa yang tidak hadir di pesta ini. Dan aku akan pastikan nama mereka tercatat.”
Roman menunduk cepat, wajahnya pucat. Ia bisa merasakan aura menekan yang keluar dari Camilla, bukan sekadar seorang gadis muda, melainkan sosok yang perlahan membentuk dirinya sebagai pusat kekuatan baru di istana.