NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Anime / Reinkarnasi
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Lidelse

Reni adalah pemuda pekerja keras yang merantau ke kota, dia mengalami insiden pencopetan, saat dia mengejar pencopetan, dia tertabrak truk. Saat dia membuka mata ia melihat dua orang asing dan dia menyadari, dia Terlahir Kembali Menjadi Seorang Perempuan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidelse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Invasi - 1

Lyra, dalam balutan pakaian tidurnya, duduk di meja belajarnya. Cahaya rune redup menyinari kertas yang baru saja ia selesaikan, sebuah dokumen yang merinci potensi ancaman dari Valerius dan kebutuhan akan Gulungan Sihir Jiwa. Ia melipat kertas itu dengan rapi dan menyimpannya di dalam lacinya, di balik buku-buku tebal.

Selesai dengan urusan strategisnya, Lyra menyandarkan kepalanya di meja. Rasa kantuk yang luar biasa menyerang, hasil dari pelatihan malam bersama Aen dan analisis mendalam tentang gerakan musuh.

Tiba-tiba, Lyra merasakan sentuhan ringan di bahunya.

"Lyra, ini sudah malam, ayo tidur."

Suara itu milik Murad, teman asramanya.

Lyra mengangkat kepalanya yang berat.

"Ah, Murad. Aku sudah selesai. Hampir."

"Hampir apa pun yang kau lakukan, bisa menunggu besok. Kau terlihat seperti mayat hidup,"

tegur Murad, nadanya khawatir.

Lyra mengangguk.

"Ya, baiklah. Aku butuh tidur."

Lyra menyeret dirinya ke kasurnya. Begitu kepalanya menyentuh bantal, dia langsung terlelap, tetapi pikiran bawah sadarnya masih berputar pada Mana Darah Gilga dan Gulungan Sihir Jiwa.

Di kelas sihir tingkat tinggi milik Seraphine, suasana tegang seperti biasa. Seraphine, dengan rambut merah dan matanya yang biru menyala, sedang menjelaskan cara kerja sihir Crimson Night miliknya.

Lyra duduk di auditorium, berusaha keras untuk tetap terjaga. Meskipun dia Archmage Ruang-Waktu, dia masih manusia yang membutuhkan tidur. Kepala Lyra terasa berat.

Saat Seraphine berbalik untuk menulis rumus sihir di papan, Lyra tiba-tiba kehilangan kesadaran selama beberapa detik. Tubuhnya mulai limbung ke samping, siap jatuh dari bangku auditorium yang tinggi.

Grep.

Tangan yang kuat dan sigap menahan bahunya.

Lyra tersentak bangun. Aen Pendragon duduk di sebelahnya, memegang bahu Lyra agar dia tidak jatuh. Wajah Aen terlihat khawatir.

"Lyra! Bangun,"

bisik Aen.

Lyra berkedip, pandangannya kabur sesaat, lalu fokus kembali. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Terima kasih, Aen."

"Kenapa kau seperti ini? Kau begadang lagi, Lyra?"

tanya Aen, suaranya pelan dan menuntut penjelasan.

Lyra menggeleng.

"Tidak. Hanya kurang tidur. Aku harus menyelesaikan beberapa penelitian yang mendesak. Kau tahu, urusan akademis."

Aen memicingkan matanya, tidak yakin.

"Pastikan penelitianmu tidak membunuhmu, Archmage Astrea. Sulit untuk bersekutu dengan hantu."

Lyra hanya memberinya senyum kecil sebagai balasan, memaksa dirinya untuk fokus pada papan tulis, tetapi kantuk itu masih terasa menusuk.

Lyra berjalan menyusuri koridor yang ramai selama jam istirahat. Dia berjalan seperti zombie, matanya setengah tertutup. Pikirannya masih berkutat antara rumus sihir Seraphine dan laporan Valerius yang ia simpan di laci.

Karena kurang fokus, Lyra yang mengantuk berbelok di sudut koridor dan BUGH!, dia menabrak seseorang.

Lyra segera mendongak, siap meminta maaf.

"Maafkan aku, aku-"

"Hai. Elara."

Lyra terpaku. Itu adalah Gilga.

Gilga berdiri tegak, memancarkan aura dingin dan terkendali. Dia memanggil Lyra dengan nama intiman mereka, Elara. Namun, ada sesuatu yang salah. Suara Gilga terdalam, lebih tegas, dan matanya... mata merahnya yang dulu dipenuhi cinta protektif kini terasa hampa. Dia terlihat sempurna, Archmage Darah yang sangat disiplin.

Lyra merasakan firasat buruk, tetapi dia mengabaikannya, menghubungkannya dengan rasa kantuk.

"Gilga,"

Lyra membalas, rasa canggung muncul lagi, bercampur dengan kehangatan dari ciuman di pipi kemarin.

"Kau... baik-baik saja? Kau terlihat sangat fokus."

Gilga menggeser Sabit Merahnya yang tergantung di punggung.

"Aku baik-baik saja, Elara. Aku menyelesaikan beberapa pekerjaan yang mendesak."

Dia menatap Lyra dengan intensitas yang tidak wajar.

"Aku harus memverifikasi beberapa hal. Aku pergi ke suatu tempat kemarin malam, mencari sesuatu yang seharusnya milikmu."

Lyra mengerutkan kening. Apakah Gilga sedang merujuk pada Gulungan Sihir Jiwa?

"Kau menemukannya?"

tanya Lyra hati-hati.

"Aku menemukan apa yang harus ditemukan,"

jawab Gilga. Nada suaranya datar, tanpa emosi.

"Dan sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan untuk melayanimu. Aku akan tetap dekat denganmu. Menjadi benteng yang sempurna, seperti yang selalu kau minta."

Lyra tersenyum, lega dengan pengakuan kesetiaan itu. Dia tidak tahu bahwa janji itu kini adalah janji yang dipaksakan oleh Gulungan Sihir Jiwa.

"Terima kasih, Gilga,"

kata Lyra, Mana-nya menjadi hangat.

"Aku merasa lebih tenang. Kau adalah sekutu terbaikku."

Gilga hanya mengangguk.

"Aku tahu."

Kemudian, Gilga mencondongkan tubuh sedikit. Lyra mengira Gilga akan menciumnya seperti yang dia lakukan di kantin. Jantungnya berdebar.

Namun, Gilga hanya berbisik di telinga Lyra, suaranya nyaris tidak terdengar.

"Aku akan mengawasimu, Elara. Setiap langkahmu."

Gilga menarik diri dan berjalan menjauh tanpa senyum, tanpa pamit.

Lyra berdiri di koridor, bingung. Kata-kata itu terdengar seperti janji, tetapi intonasinya terasa seperti ancaman. Lyra menyingkirkan keraguannya. Itu pasti hanya efek kelelahan Gilga, sama seperti dia.

Lyra menggelengkan kepalanya dan melanjutkan jalannya

Arena duel Akademi penuh sesak. Lyra, yang masih berjuang melawan kurang tidur, dipanggil untuk duel pelatihan melawan seorang murid laki-laki bernama Bart, seorang petarung jarak dekat yang handal dalam menggunakan Palu Perang dan sihir Adept Petir.

Lyra berjalan ke arena, mengenakan jas formalnya. Rambut merah mudanya sedikit berantakan, dan matanya yang hijau zamrud tampak setengah tertutup. Dia tampak seperti baru bangun dari tidur singkat yang diganggu.

Di seberangnya, Bart menyeringai, Mana Petirnya berderak mengelilingi Palu Perangnya. Palu itu sendiri memancarkan aura Adept yang kuat.

"Aku akan mengakhiri ini dengan cepat, Nona Astrea!"

teriak Bart, penuh percaya diri.

Lyra hanya menguap lebar, nyaris tidak menutupi mulutnya dengan sarung tangan putihnya.

Wasit memberikan sinyal.

PRANG!

Bart menerjang. Palu Perangnya yang dialiri Petir Adept berayun ke bawah dengan kecepatan dan kekuatan yang luar biasa. Jika serangan itu mengenai, bahkan Mana Archmage pun akan kesulitan menahannya.

Lyra, yang matanya masih setengah tertutup, melakukan gerakan minimal. Dia tidak menggunakan Mana Ruang-Waktu untuk pertahanan besar, tetapi hanya untuk perubahan spasial mikro yang sangat presisi.

Lyra menggerakkan kepala sejengkal ke kiri.

BOOM!

Palu Bart menghantam udara di samping telinga Lyra. Pukulan itu begitu dekat sehingga angin dari Palu itu mengurai rambut Lyra. Bart terkejut karena dia yakin serangannya sudah dihitung sempurna.

"Terlalu lambat,"

gumam Lyra, suaranya seperti bisikan orang yang mengigau.

Bart marah. Dia menarik Palunya dan memfokuskannya dengan Mana Petir untuk serangan kecepatan penuh.

"Jangan anggap remeh aku!"

teriak Bart. Dia mengayunkan palunya dengan serangkaian pukulan cepat, ditambah dengan gelombang kejut petir.

ZZZZTTT!

Lyra mulai bergerak, tetapi hanya dengan sentuhan-sentuhan Temporal Leap yang tersembunyi. Dia tidak bergerak sejauh satu meter pun, melainkan hanya bergeser satu sentimeter ke kiri, satu sentimeter ke atas, dan satu sentimeter ke bawah semua hanya untuk menghindari pusat serangan.

Setiap pukulan Palu Bart, yang diresapi petir, hanya menyerempet udara di sekeliling tubuh Lyra. Lyra seolah-olah menari di antara hujan Palu.

Lyra menggunakan teori yang ia ajarkan pada Aen, Langkah Kuantum. Dia memicu Temporal Leap mikro di sekitar Palu, menciptakan ruang hampa udara sesaat di depan Palu, yang menyebabkan serangan Bart sedikit melenceng dan kehilangan momentum. Bart, yang tubuhnya mengandalkan kecepatan Petir, tidak bisa memahami mengapa setiap serangannya tiba-tiba menjadi tidak akurat.

Lyra, dalam keadaan mengantuknya, menyadari bahwa duel ini terlalu lama. Dia harus kembali tidur.

Saat Palu Bart meluncur dalam ayunan horizontal yang kuat, Lyra, dengan mata yang kini terbuka hanya seperempat, merapal Mana.

Lyra melipat jarak kecil, muncul di sisi luar bahu Bart. Itu adalah Temporal Leap yang cepat dan sangat efisien.

Lyra tidak menyerang dengan sihir. Dia menggunakan Pedang Hitam Ramping pemberian Racel, dan dengan gerakan yang begitu cepat sehingga Bart hanya melihat kilatan hitam, Lyra menyentuhkan pedangnya ke pergelangan tangan Bart, tepat di sendi ototnya.

Pedang Lyra tidak memotong, melainkan hanya menyentuh dan menekan.

Bart menjerit. Mana Petirnya langsung terputus, dan Palu Perangnya jatuh ke lantai dengan suara keras. Pukulan Lyra sangat tepat di sebuah titik vital yang melumpuhkan kemampuan Bart untuk memegang senjata atau merapal sihir Petir melalui tangannya.

Lyra menarik kembali pedangnya, tidak ada setetes darah pun yang tumpah.

"Maafkan aku, Tuan Bart,"

kata Lyra, suaranya sekarang terdengar sedikit sadar.

"Kau sangat lambat. Dan kau membuang-buang Mana Petirmu. Kau terlalu boros."

Lyra lalu melangkah mundur.

Wasit, yang tercengang oleh kecepatan akhir pertempuran, akhirnya mengumumkan.

"Lyra Elara Von Astrea menang!"

Lyra tidak peduli dengan tepuk tangan di auditorium. Dia hanya menunduk hormat dengan cepat, lalu berbalik dan berjalan cepat keluar arena, bergumam pada dirinya sendiri.

"Aku butuh satu jam tidur. Hanya satu jam..."

Lyra berhasil menyelinap ke perpustakaan setelah duelnya. Dia menemukan tempat yang tersembunyi di balik rak buku sejarah kuno, yang jarang dijamah murid lain. Dia duduk di meja, menyandarkan kepalanya di atas buku tebal, dan segera tenggelam dalam tidur yang sangat dibutuhkan.

Lyra terbangun oleh sentuhan lembut dan bau yang menyenangkan.

Mata Lyra terbuka. Aen Pendragon berdiri di depannya. Di tangan Aen ada sebuah roti panas yang baru dipanggang dari kantin. Aen meletakkan roti itu langsung ke tangan Lyra yang dingin.

"Makan,"

perintah Aen pelan.

"Kau butuh Mana Gizi."

Lyra, yang masih setengah sadar, meraih roti itu dan mulai menggigitnya. Rasa kantuknya perlahan menghilang.

"Aen... jam berapa ini?"

"Ini sudah jam pelajaran praktik Seraphine. Dia memanggil namamu lima kali di lapangan latihan. Aku bilang kau sedang melakukan penelitian kritis dan membutuhkan istirahat,"

jelas Aen. Wajahnya menunjukkan kekesalan, tetapi juga ada kepedulian.

Aen duduk di seberang Lyra.

"Kau beruntung aku ada di sana. Jika Seraphine tahu kau tidur di jam pelajarannya, dia pasti akan menciptakan kristal merah di dadamu."

Lyra tersenyum kecil, ucapan Aen merujuk pada kekuatan Seraphine, Crimson Night.

"Aku berutang budi padamu, Tuan Pendragon."

"Ya, kau memang berutang,"

balas Aen.

"Jadi, sebagai gantinya, aku ingin kelanjutan dari aliansi kita. Aku memberimu roti, kau memberiku strategi. Kekalahan terbesar Elemendorf."

Lyra mengangguk. Dia tahu Aen sedang memintanya untuk memvalidasi alasan doktrin Pendragon.

"Baiklah. Kekalahan terbesar Elemendorf bukanlah Pertempuran Sona, karena Sona berhasil dipertahankan,"

kata Lyra, Mana-nya mulai kembali fokus.

"Kekalahan terbesar kami adalah Perang Silvania Tiga Abad Lalu."

Aen terdiam, matanya menyipit penuh minat. Perang Silvania adalah topik yang jarang dibicarakan, tetapi sangat sensitif bagi militer.

"Perang Silvania,"

Aen memulai, suaranya menjadi berat.

"Itu adalah aib bagi militer Elemendorf. Kami dikalahkan oleh Kerajaan di barat, yang hanya terdiri dari ras minoritas. Kerajaan yang bahkan tidak memiliki Archmage resmi."

"Ya,"

Lyra mengangguk, mencerna roti panasnya.

"Elemendorf saat itu berada di puncak arogansi. Kita memiliki Archmage Api dan Archmage Air yang tak tertandingi, dan kita menganggap Kota Silvania, yang merupakan kota spiral, hanya sebagai tempat komersial yang sepele."

"Elemendorf mengirimkan Archmage mereka dengan keyakinan sihir saja sudah cukup. Tetapi musuh... mereka memanfaatkan topografi kota mereka. Struktur Spiral Silvania."

Lyra menjelaskan, nadanya kini penuh analisis militer.

"Musuh tidak menggunakan sihir besar. Mereka menggunakan perang gerilya yang sangat terorganisir. Mereka memikat Archmage Elemendorf ke Lower Ring (cincin bawah), di mana Mana mudah terdispersi dan mantra besar sulit digunakan. Mereka menggunakan jebakan mekanis, serangan cepat, dan penghancuran jalur pasokan."

"Archmage Elemendorf, yang terlalu bergantung pada mantra besar dan kekuatan Mana, tidak bisa beradaptasi. Mereka adalah senjata yang sempurna, tetapi ditempatkan di medan perang yang salah. Mereka tidak memiliki disiplin fisik dan kelincahan untuk bertarung dalam perang gerilya di labirin spiral."

Lyra mencondongkan tubuh ke depan, matanya tajam.

"Hasilnya, Elemendorf menderita kekalahan yang memalukan. Kita kehilangan kendali atas Silvania. Dan yang lebih penting, kita kehilangan kepercayaan diri. Kekalahan itu membuktikan bahwa Mana terbesar sekalipun dapat dikalahkan oleh strategi dan lingkungan."

Lyra mengakhiri penjelasannya.

"Kekalahan Silvania adalah bukti bahwa doktrin Pendragon benar. Disiplin fisik dan pemahaman akan medan perang jauh lebih berharga daripada kekuatan Mana yang boros. Itulah mengapa Archmage sejati tidak boleh hanya mengandalkan mantra."

Aen menyimak setiap kata Lyra. Kekalahan Silvania adalah rahasia yang disimpan ketat, tetapi Lyra menjelaskannya dengan analisis militer yang dingin dan tak terbantahkan.

"Kau benar, Lyra,"

kata Aen, menghela napas panjang.

"Kekalahan itu mengubah segalanya. Militer Elemendorf mulai kembali ke dasar, kembali ke pedang dan disiplin fisik, hanya menggunakan sihir sebagai pelengkap, bukan tumpuan."

Aen menatap Lyra, ekspresinya dipenuhi rasa hormat yang mendalam.

"Aku mengerti mengapa kau Archmage Ruang-Waktu. Kau tidak hanya memiliki kekuatan; kau memiliki pikiran seorang komandan. Aku akan memberimu data topografi terperinci tentang Silvania nanti. Sekarang, tidurlah. Aku akan berjaga."

Lyra tersenyum dan menyandarkan kepalanya lagi.

"Racel Astrea..."

bisik Lyra, suaranya hampir tak terdengar.

Aen, yang duduk di seberangnya dan sedang mengawasi, mendengarnya. Aen menatap Lyra, ekspresi hormat yang mendalam menyelimuti wajahnya.

"Nona Astrea,"

kata Aen pelan, memastikan Lyra mendengarnya.

"Kau tidak menyadari betapa besarnya nama itu bagi kami, bagi Elemendorf, dan terutama bagi faksi militer."

Lyra membuka matanya sedikit, meskipun masih mengantuk, rasa penasaran militernya bangkit.

"Papaku... hanya seorang Dewan,"

gumam Lyra.

Aen menggelengkan kepala, ketidaksetujuan terlihat jelas di matanya.

"Dia lebih dari sekadar Dewan. Racel Astrea adalah pilar Kerajaan, Nona Lyra. Dia adalah pengejawantahan dari doktrin yang kita bicarakan."

Aen melanjutkan, suaranya kini dipenuhi kekaguman yang nyaris heroik.

"Pengaruh Astrea bukan terletak pada gelar bangsawan atau jumlah tanah. Itu terletak pada Pedang."

"Ayahmu, Dewa Pedang, adalah satu-satunya orang di Elemendorf yang diakui memiliki keahlian pedang yang melampaui kemampuan sihir. Bahkan Archmage terkuat pun tidak bisa mengalahkannya dalam duel pedang murni. Dia adalah orang yang pertama kali menyandingkan kekuatan militer murni dengan otoritas politik. Dia mendirikan Garda Perbatasan yang saat ini melindungi kita dari kerajaan lain."

Lyra merasakan Mana-nya sedikit bergetar, terkejut mendengar betapa besarnya penilaian militer terhadap ayahnya.

"Faksi Militer, termasuk Pendragon, menempatkan Astrea di posisi yang sangat tinggi. Dia adalah perisai Elemendorf. Dia menjaga perbatasan, memastikan keamanan di luar Ibu Kota, sementara Dewan disibukkan dengan intrik di Heaven Grail."

Aen menambahkan dengan nada yang lebih pribadi.

"Dan dia melindungi keluarga dan putrinya dengan cara yang sama. Nona Lyra, kau adalah pewaris dari legenda ini. Keahlian pedangmu, yang bahkan membuat seorang Pendragon kesulitan saat duel, adalah warisan langsungnya."

"Setiap Archmage di Elemendorf menghormati Racel Astrea. Dia adalah alasan mengapa militer tidak sepenuhnya tunduk pada intrik politik Ibu Kota. Dia mewakili kehormatan dan disiplin yang telah hilang,"

tutup Aen.

Lyra terdiam. Ia baru menyadari, pengorbanan ayahnya untuk menjaga perbatasan dan melarangnya masuk Akademi bukanlah bentuk pengekangan belaka, tetapi upaya Dewa Pedang untuk melindunginya dari politik internal yang ia benci, sambil tetap menjalankan peran pentingnya di perbatasan. Ayahnya adalah penjaga Kerajaan, dan Lyra, kini, adalah aset yang paling ia jaga.

Lyra mengangguk pelan, rasa hormat yang mendalam memenuhi jiwanya.

"Aku mengerti, Tuan Pendragon,"

bisik Lyra.

"Terima kasih atas informasinya. Sekarang, biarkan aku tidur sebentar."

Lyra akhirnya memejamkan mata, hatinya terasa lebih tenang, mengetahui bahwa ia adalah putri dari Dewa Pedang yang dihormati, Racel Astrea, sang penjaga perbatasan Elemendorf. Aen Pendragon tetap duduk, menjaganya.

1
Anonymous
ceritanya wahhh, sih. cuma kayaknya penulisan nya bisa lebih emosional lagi
Anonymous
gila plot twist nya
Moge
episode 4 udah mulai seru jir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!