Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 1: Alibi dan KRS
“Gua udah nyampe gedung B, nih!” seru Selina, nafasnya tersengal-sengal karena habis berlari dari depan gerbang Fakultas.
“Buruan! Pak Bimo udah di kelas,” ujar seseorang di ujung telepon.
”Eh… lantai berapa? Ruang berapa?” Kebiasaan Selina, sering kelupaan sebuah informasi penting. Dari ujung telepon terdengar desahan pelan.
“B3-10”
“Anjing! Lantai tiga?!” Selina buru-buru lari menuju tangga. Sialnya Fakultas Sastra di kampus ini merupakan gedung lama, jadi belum ada lift. Selina langsung menutup telepon itu. Nafasnya sudah terasa di ujung seperti sebentar lagi dia akan tumbang.
Hari ini adalah kegiatan persetujuan KRS oleh dosen wali. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah KRS disetujui sistem kampus, walaupun tidak semua dosen wali menyuruh mahasiswanya untuk datang menemui mereka, tapi sebagai anak wali Pak Bimo yang bijak, Selina tetap menemui beliau. Lagipula, Selina punya rencana lain setelah ini.
Ruang 10 akhirnya berada di depan matanya. Badannya sedikit dibungkukkan untuk menenangkan pernafasannya sebelum mengetuk pintu itu. Dengan perlahan dia buka, semua mata tertuju padanya.
“Permisi… Pak,” sapa Selina kepada Pak Bimo yang sudah sibuk menandatangani KRS temannya.
“Selina. Sudah semester lima, kamu masih telat aja,” ledek Pak Bimo santai. Untungnya, ini bukan kelas resmi, jadi dia bebas dari teguran maut beliau.
Selina terkekeh, “Harusnya gak telat sih, Pak. Tadi saya lupa kalau taxi kampus gak beroperasi karena masih libur,” jawabnya jujur sambil berjalan ke tempat duduk kosong di sebelah jendela. Pak Bimo hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Dia tersenyum dengan Megan yang memberinya tatapan sinis—temannya yang tadi di telepon.
*“Stop being too casual with him*. He’s still your dosen!” bisik Megan dari kursi belakang.
”Tenang aja. Perkuliahan belum mulai,” celetuk Selina.
“Tapi… seriusan? Lo lupa gak ada taxi kampus?” tanya Megan, badannya dimajukan sedikit karena tidak mau mengganggu yang lain.
Selina berdehem kecil, menyerongkan duduknya. “Alibi,” bisiknya. Megan menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya.
“Anak stress!”
*“Actually*, gua salah set alarm—kesingan deh gua,” lanjutnya sambil mengambil kertas KRS yang sudah di-print dari tasnya.
“Lo abis darimana semalem? Sampe kesiangan gitu…”
Megan adalah temannya sejak masa orientasi kampus. Tentu saja selama dua setengah tahun ini Megan sudah mengenal Selina lebih dalam. Dia paham betul kepribadian Selina yang tiba-tiba hilang tanpa jejak karena rasa ingin mengeksplor kota sangat besar—sekali kedipan dia sudah berada di kota tetangga.
“Vikram invited me to Campus Corner,” jelas Selina. Sebelum Megan bisa menanyakan lebih lanjut, nama Selina sudah dipanggil duluan. Dia bergegas menghampiri Pak Bimo.
Sedangkan Megan digantung dengan nama asing yang terucap dari mulut Selina. “Who the fuck is Vikram?” gumamnya.
Tidak mau mati tergantung, dia menyenggol teman di sebelahnya. “Lo kenal Vikram gak?”
Temannya hanya menggeleng. Megan mengerucutkan bibirnya, alisnya berkerut, dia sedang berpikir. “Aneh… nama baru lagi. What is her thing with Campus Corner?” gerutunya pelan.
*Campus Corner* itu salah satu tempat tongkrongan mahasiswa Universitas Grahadhika. Lokasinya tepat di seberang gedung universitas. Campus Corner isinya ada beberapa cafe dan tempat makan yang harganya terjangkau bagi mahasiswa, makanya banyak yang langganan di sana.
“Tau Vikram gak?” tanyanya pada teman yang duduk di sisi kirinya—masih berusaha mencari jawaban. Lagi-lagi, yang didapat hanya gelengan kepala.
Megan membuang nafas kasar, matanya melirik ke arah Selina yang lagi serius ngobrol sama Pak Bimo. Wajahnya santai, tidak kelihatan bersalah atau semacamnya.
“Selina Lakeisha. Gimana? Ada masalah gak sama perkuliahannya?” tanya Pak Bimo, matanya bolak-balik menelaah kertas KRS milik Selina dan layar laptopnya.
“Sejauh ini belum ada sih, Pak. Aman,” jawab Selina terlalu santai, yang diterima anggukan sang dosen wali.
Tangan Pak Bimo lihai mengetik sesuatu—kemungkinan catatan mahasiswa—di laptopnya. “Ini kenapa satu kelas gak kamu ambil? Kamu masih ada sisa SKS-nya ini,” seketika dahi Pak Bimo mengernyit.
Mampus.
Strateginya langsung ketahuan.
Dia menelan ludah. “Itu… sebenarnya saya mau ambil, Pak. Tapi… kelasnya penuh.” Berharap alasannya masuk akal.
Pak Bimo pun kembali sibuk dengan laptopnya. Matanya fokus pada layar. “Ah… alesan aja kamu,” ujarnya tiba-tiba.
“Serius, Pak—”
“Ini apa?” katanya, sambil memutar laptop itu ke arah Selina. Layar kotak itu menampilkan satu kelas kosong yang bisa diambil. Tapi… itulah alasan dia tidak mengambil kelas Survey of American Literature. “Ambil matkulnya, kalau gak, saya gak akan acc KRS kamu,” tambahnya.
“Yah… Pak, jangan dong…”
Pak Bimo tidak berdebat lagi, dia hanya mengembalikan kertas KRS-nya. “Saya tunggu sampai sore ini di ruang dosen.” Suara beliau sangat jelas dan terasa intimidasinya. Inilah Pak Bimo yang asli.
Tolonglah… Selina hanya tidak ingin mengambil kelasnya karena tersisa kelas dosen yang terkenal dengan ‘ramah, tapi ngasih nilai kecil’. Ini sudah semester lima, dia harus menyelamatkan IPK-nya agar bisa mengambil skripsi tahun depan.
Selina kembali ke kursinya dengan wajah cemberut. Dia langsung membuka ponselnya untuk mengubah KRS itu.
“Woi! Vikram siapa anjir?”
Selina tetap diam, jempolnya sibuk mengklik matkul yang harus dia ambil dengan berat hati.
“Sel!” Megan teriak berbisik di telinganya.
“Sabar. Gua lagi berhadapan dengan hidup atau mati,” sahutnya.
Megan melirik ke ponsel Selina, kemudian menatapnya bingung. “What’s wrong?” tanyanya.
Selina melirik Megan sambil cemberut. “Gua disuruh ambil kelasnya dia…”
Megan memiringkan kepalanya, “Dia siapa?”
“Pak Baskara…”
“Kenapa? Lo masih gak suka sama beliau?” tanya Megan, alisnya dinaik-turunkan.
“Gua gak suka branding dia sebagai dosen ramah tapi ngasih nilai kecil. Ramahnya dimana?” tukas Seline, kedua tangannya dilipat di sepan dada, pipinya menggembung.
Megan tertawa kecil. Jelas, karena dia salah satu dari mereka yang mengidolakan Pak Baskara. “Ramah tuh gak selalu harus ngasih nilai bagus. Beliau emang ramah, kalau dibandingin sama dosen sastra yang lain. Soal nilai mah… urusan otak masing-masing. Beliau hanya menilai sesuai kemampuan kita.”
Wow… Megan terdengar seperti sedang menulis essay.
*“Meg… lo dibayar berapa? Buzzer* ya?” celetuk Selina, kaget—matanya membulat. “Lo ngebela dia, like your life depends on him,” lanjutnya.
Megan memukul lengan Selina pelan, kemudian bangun dari kursinya. “Udah kan? Cabut, ayo! Gua laper.”
“Temenin gua nge-print KRS baru dulu,” rengek Selina yang diikuti dengan anggukan Megan.
Mereka keluar kelas, suara langkah sepatu tidak perlu beradu dengan sepinya koridor kelas yang hanya ada beberapa mahasiswa. Selina meremas kertas KRS lama di tangannya sambil menghela nafas.
“Gua heran deh… setiap semester, pasti ada aja drama KRS lo,” celetuk Megan sambil melipat tangan.
Selina nyengir, tidak merasa bersalah. “Biar hidup gua ada plot twist dikit.”
“Hidup lo tanpa dibuat-buat juga selalu plot twist, Sel. Semua orang tau itu,” tambah Megan sambil memutar kedua bola matanya. Selina tertawa mendengarnya.
Kenyataannya, hidup Selina memang selalu punya jalannya sendiri untuk berubah jadi drama. Bukan drama yang bikin air mata ngalir, tapi kejadian absurd yang tiba-tiba muncul di waktu yang absurd juga.
Semester pertama, dia pernah salah masuk kelas dan baru sadar setelah setengah jam duduk manis sambil nyatet mata kuliah semester tujuh.
Semester kedua, dia sudah curhat panjang lebar tentang dosen-dosen sastra sama orang yang baru dikenalnya di Campus Corner, ternyata beliau adalah dosen Sastra Rusia.
Sekarang… baru juga KRS semester lima—perkuliahan pun belum dimulai, dia berhasil bikin drama karena tidak mau mengambil kelas Pak Baskara dengan cara berbohong kelasnya penuh.
Dia pintar, tapi kadang suka impulsif.
Sesampainya di tempat print, dia langsung menghampiri komputer yang kosong. Buru-buru menyelesaikan drama yang dibuatnya sendiri.
“Eh! Kan… gua lupa!” cetus Megan tiba-tiba. Selina berdehem, menunggu Megan melanjutkan kalimatnya. “Who’s Vikram? Lo belum jawab!”
“Dear, God! Lo masih aja nanyain itu,” pungkas Selina, sambil membenarkan kertas HVS di tempat dalam printer.
Megan menyeret kursi kosong di sebelah Selina. “Gua udah nyanya ke yang lain, gak ada yang kenal… so, siapa?”
*Selina membuang nafas pelan. “Just*… a guy from psychology.”
“Hah?”
Selina mengambil hasil print itu dan berjalan menuju kasir untuk membayarnya. Megan mengint di belakang.
“Kenal darimana?”
“Temennya Tessa,” jawab Selina singkat.
“Terus… kalian ngapain ke Campus Corner?”
“Ya… nongkrong aja, main board game.”
“Sel… lo gak dijadiin objek penelitian kan?” Pertanyaan Megan yang ini berhasil mengambil oerhatian Selina, dia meliriknya tidak percaya.
“Orang gila! Nggak lah!”
“Bisa aja… soalnya kepribadian lo unik,” imbuh Megan sambil cengengesan. Selina berdecak lidah sambil menepuk lengan Megan, sedangkan kakinya masih sibuk jalan keluar gedung fakultas.
“Jangan bikin gua jadi spesies langka deh, Meg.”
“Kenyataannya begitu, Sel. Orang biasa ke Campus Corner buat ngopi, makan, atau main uno. Kalo lo? Bisa pulang bawa cerita aneh yang lo denger dari meja sebelah.”
Benar. Selina suka nguping pembahasan meja sebelah. Menurutnya, kisah hidup manusia itu seru. Ada yang aneh, ada yang menyedihkan, ada yang bikin bahagia dengarnya, ada yang bikin ketawa, ada juga yang bikin… mual.
Selina terkekeh, tapi dalam hati dia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Megan. Memang, malam itu terasa… berbeda. Bukan sekedar nongkrong. Ada sesuatu dibalik undangan Vikram yang bikin suasana terasa misterius.
Bayangan malam itu, masih menempel jelas di pikirannya. Vikram yang biasanya banyak bicara, dia hanya duduk santai sambil memutar gelasnya, seolah dia sedang merancang sesuatu di otaknya. Caranya menatap Selina malam itu, tenang tapi penih rahasia, cukup membuat Selina penasaran.
Ah… persetanan soal itu. Mungkin hanya perasaan buruk.
Setelah sepuluh menit jalan keluar gedung unibersitas, mereka berdua menyebrang menuju Campus Corner untuk makan siang. Menu yang sering dipesan Selina adalah nasi goreng teri sambal ijo. Menurutnya rasanya sangan umami, cocok dengan lidahnya yang suka dengan makanan gurih.
Tempt ini tidak pernah sepi pengunjung walaupun mahasiswa sedang libur pun mereka tidak pernah tutup. Bisa dibilang, mereka buka 24 jam—sangat cocok dengan kehidupan mahasiswa yang sering melakukan kegiatan sampai malam hari.
“Gua abis ini, mau langsung ke fakultas lagi,” ucap Selina sambil menyuap nasi gorengnya.
“Mau gua temenin?” tawar Megan.
“Gak perlu. Gua cuma nyerahin KRS tadi.”
Megan hanya mengangguk dan kembali fokus pada makanannya. Mereka makan dalam keheningan singkat. Selina menghabiskan suapan terakhirnya, lalu meneguk es jeruk hingga tinggal es batu dalam gelas.
“Gua duluan, deh.” Selina bangkit, merapikan bajunya dan menyampirkan tas ke bahu kanan. Megan cuma melambaikan tangannya, mulutnya masih mengunyah. Klasik Megan: makannya lama.
Panas matahari siang langsung menembus baju Selina. Dia memutuskan baik ojek pangkalan, tapi tetap tidak bisa menghindari sengatan matahari di kulitnya.
Setibanya di gedung fakultas, suara pendingin ruangan dan wangi khas memenuhi indramya. Dia langsung menuju ruangan dosen yang berada di lantai dua—demi mendapat tanda tangan sang dosen wali. Untung saja prosesnya cepat, hanya beberapa menit dan tanpa drama. Ketika keluar, dia mendapati sosok yang sama sekali diluar ekspektasinya.
Wangi maskulin tercium mencolok hidung.