NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ternyata selama ini,aku hanya mengisi kekosongan sementara

Sesampainya di rumah, aku langsung terduduk di sofa. Tubuhku lemas, seperti tak lagi punya tenaga untuk sekadar bernapas. Mataku panas menahan air mata yang sedari tadi ingin tumpah. Sakit di dada ini terasa luar biasa, seperti ditikam dari dalam.

Saat aku tiba, kebetulan bapaknya Bang Rendra sedang duduk di depan rumah sambil bermain dengan Keenan. Tatapan heran terpancar dari wajahnya ketika melihat aku pulang dengan wajah kusut dan mata sembab. Ia sempat berdiri, hendak menanyai, tapi aku memilih diam.

Tak lama kemudian, Bang Rendra menyusul masuk dengan langkah tergesa-gesa. Nafasnya memburu, wajahnya cemas. Ia langsung duduk di lantai, tepat di hadapanku.

“Aini… maafkan Abang,” katanya lirih, suara itu bergetar, seperti menahan tangis.

Aku tetap diam. Bibirku kelu. Semua kata-katanya kini tak ada artinya lagi. Dia sudah menghancurkan perasaanku yang tulus, mencabik-cabik kepercayaan yang dengan susah payah kubangun.

“Abang ngaku salah sama kamu. Abang udah bohongi kamu… Abang khianati kamu,” lanjutnya, matanya mulai berkaca-kaca.

Aku menatapnya dingin. “Apa yang mau kamu jelaskan kali ini, Bang? Sekarang semuanya udah jelas. Kamu bukan cuma selingkuh sama Dela… tapi malah diam-diam menikahinya secara siri.”

Suara yang keluar dari mulutku terdengar parau, nyaris tanpa tenaga.

Bang Rendra menunduk. “Jujur, Aini. Pertemuan Abang sama Dela waktu itu nggak direncanain. Abang ketemu dia di warung, waktu lagi beli rokok. Siapa sangka, pertemuan itu bikin jantung Abang berdebar lagi, sama kayak dulu waktu pertama kali Abang jatuh cinta sama dia.”

Aku memejamkan mata, menahan getir yang makin menyesak.

 “Dia cerita kalau dia baru cerai dari suaminya,” lanjut Bang Rendra.

“Katanya suaminya sering kasar, KDRT. Abang kasihan. Dulu, tujuh tahun Abang sama dia, Abang nggak pernah berani kasar sama Dela. Tapi hubungan kami waktu itu nggak direstui orang tuanya. Abang akhirnya pergi merantau, sampai dengar kabar dia dinikahin sama orang lain. Hancur hati Abang waktu itu, Aini.”

Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam.

“Tapi waktu Abang ketemu kamu, semua rasa itu hilang. Kamu baik, kamu tulus, kamu sembuhin luka Abang. Abang pikir perasaan Abang ke Dela udah mati. Tapi ternyata waktu ketemu lagi, semuanya muncul lagi.”

Aku menatapnya lama. “Jadi, Abang terbawa suasana? Merasa bisa mengulang masa lalu yang gagal itu?” tanyaku dengan suara bergetar.

Bang Rendra menunduk makin dalam. “Awalnya Abang coba menjauh, tapi Abang nggak bisa bohongi perasaan ini. Abang masih sayang sama dia, Aini.”

Aku mengembuskan napas panjang, perih rasanya.

 “Dia malah bantu Abang cari kerja di rumah sakit, jadi satpam. Ayahnya akhirnya setuju sama hubungan kami. Abang bilang ke mereka kalau kamu setuju… Abang pikir kamu bisa mengerti.”

Aku terbelalak tak percaya.

“Dela nggak masalah jadi istri kedua,” lanjutnya cepat.

“Dia nggak minta banyak, nggak minta hak lebih. Nih, gaji Abang bulan ini. Dia cuma minta lima ratus, sisanya buat kamu dan Keenan.”

Aku menatapnya tajam, air mataku akhirnya jatuh.

“Dia nggak masalah, tapi bagi aku itu masalah besar, Bang! Kamu pikir aku nggak terluka dengan semua ini? Kamu bangga, ya, punya istri kedua yang katanya nggak nuntut hak? Kamu pikir itu bukti dia baik? Nggak, Bang! Itu bukti kamu egois!”

Tanganku mengepal di dada. “Kamu bilang kamu masih punya perasaan buat dia. Terus aku ini siapa? Aku apa di hidup kamu, hah, Bang?”

Air mataku mengalir deras sekarang. Dada terasa sesak luar biasa.

Bang Rendra mencoba mendekat, “Abang sayang sama kamu, Aini…”

Aku tertawa getir. “Bohong! Kamu nggak sayang. Selama ini aku cuma pelarian, kan? Kamu nikahin aku buat ngisi kekosongan karena cinta pertama kamu nikah sama orang lain. Dan begitu dia balik, kamu campakkan aku seolah aku nggak pernah ada!”

Wajahnya menegang, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi aku sudah bulat.

“Aku mau kita cerai,” ucapku pelan namun tegas.

Bang Rendra langsung memegang tanganku. “Abang nggak mau cerai, Aini! Abang sayang sama kamu, sama anak kita.”

Aku menarik tanganku kasar. “Aku nggak bisa bertahan, Bang. Aku nggak bisa hidup dengan kebohongan. Aku udah capek.”

Tanpa banyak kata, aku bangkit menuju kamar, membuka lemari, dan mulai memasukkan baju ke dalam koper. Tanganku gemetar, tapi aku tetap melakukannya. Air mata jatuh satu per satu membasahi kain yang kulipat.

Keenan datang menghampiri dari luar kamar. “Mama mau ke mana?” tanyanya polos.

Aku menatap wajah mungilnya yang tak tahu apa-apa, lalu tersenyum getir. “Mama dan kamu,akan pergi ke rumah nenek!"

Dengan koper di tangan dan Keenan di gendongan, aku keluar dari kamar. Bang Rendra mengikuti di belakang, terus memohon.

Di depan rumah, bapak mertuaku menatapku heran. “Ada apa lagi ini, Aini? Kok bawa-bawa koper segala?”

Aku berusaha tersenyum meski wajahku sudah basah air mata.

“Aini mau kembali ke rumah orang tua Aini, Pak. Terima kasih selama ini udah baik sama Aini dan Keenan. Bahkan bantu kami di saat bang Rendra belum kerja.”

Bapak mertuaku mengernyit. “Rendra bikin ulah lagi, ya?”

Aku mengangguk pelan. “Kali ini Aini nggak bisa maafin, Pak. Dia udah hancurkan kepercayaan Aini. Padahal baru sebulan Aini coba percaya lagi…”

Bang Rendra yang berdiri di belakang langsung memohon.

“Aini, jangan tinggalin Abang. Keenan masih butuh Abang sebagai ayahnya.”

Aku menatapnya tajam. “Keenan nggak butuh ayah yang munafik dan pembohong seperti kamu.”

Aku memeluk Keenan erat. “Sekarang silakan Abang fokus sama istri baru Abang itu. Hidupilah dia sebaik mungkin dan jangan bikin hidupnya seperti hidupku yang hanya setiap hari memakan sebungkus mie berdua dengan anak kamu!”

" Kenang masa lalu kalian berdua. Aku kali ini sudah selesai dengan kamu bang!”

Tanpa menoleh lagi, aku menyeret koperku, melangkah menjauh dengan Keenan di gendongan. Langkahku berat, tapi tekadku sudah kuat.

Dari kejauhan, terdengar suara tamparan keras, disusul bentakan marah bapak mertuaku.

“Kau bikin malu keluarga, Rendra! Kejar istrimu, minta maaf!”

Bisa kudengar langkah kaki Bang Rendra dari belakang. Suaranya makin dekat, tapi aku memilih diam. Aku berdiri di pinggir jalan, menunggu mobil apa pun yang bisa membawaku kembali ke rumah orang tuaku. Angin sore menyapu wajahku, membawa sisa air mata yang belum kering.

Tiba-tiba seseorang datang menghampiri.

Siapa lagi kalau bukan Dela.

Wajahnya tampak cemas, tapi aku tahu itu bukan kepedulian, melainkan rasa bersalah yang terlambat.

“Aini, kamu jangan tinggalkan Rendra. Dia sayang sama anaknya! Dia sering banget cerita tentang Keenan sama aku,” ucapnya dengan nada memohon.

Aku menatapnya tajam, menahan amarah yang hampir meledak.

“Kamu siapa, berani-beraninya ngatur hidup aku? Sekarang kamu ambil sana cinta pertama kamu itu! Aku nggak butuh! Dan anakku… justru lebih nggak butuh ayah seperti dia!”

Nada suaraku meninggi. Bang Rendra yang kini berdiri di samping Dela hanya terdiam, wajahnya penuh rasa bersalah. Tapi aku sudah tak peduli lagi.

Aku melangkah satu langkah mendekat, menatap mereka bergantian.

“Kalian dengar baik-baik. Sakit yang aku rasain hari ini nggak akan pernah aku lupain. Aku nggak rela, aku nggak ridho. Kalian udah hancurin hati aku sampai berkeping-keping.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang nyaris jatuh lagi.

“Dan kamu, Bang… tunggu aja surat cerai dari aku!”

Dengan tangan gemetar, aku melambaikan tangan ke arah sebuah mobil hitam yang kebetulan melintas pelan di depanku. Aku tak peduli siapa pemiliknya, yang penting aku bisa pergi dari tempat ini secepatnya.

Mobil itu berhenti. Kaca depannya perlahan turun, menampakkan wajah sopir paruh baya yang menatapku heran melihat wajahku yang sembab.

“Ada apa, Neng?” tanyanya pelan.

Aku menghapus air mata di pipi, mencoba tersenyum kecil meski bibirku bergetar.

“Pak, bisa tolong antarkan saya ke Jalan Delima? Nanti saya bayar ongkosnya. Saya punya uang, kok,” ucapku memohon.

Si sopir menoleh ke arah kursi belakang, seolah meminta izin pada seseorang di dalam mobil. Lalu ia mengangguk.

“Baik, Neng. Mari.”

Ia turun, membantuku memasukkan koper ke bagasi.

Bang Rendra masih berusaha menahan.

“Aini, Abang mohon… jangan pergi!” katanya dengan suara parau.

Aku menatapnya sekali lagi, lalu berkata dingin,

“Kamu nikmati aja hidup kamu sama istri baru itu. Dan satu hal—jangan pernah panggil namaku lagi. Aku jijik dengar suara kamu.”

Aku segera naik ke dalam mobil. Begitu pintu tertutup, sopir menyalakan mesin dan melaju perlahan meninggalkan mereka berdua di tepi jalan.

Dari kaca spion, aku masih bisa melihat Bang Rendra berdiri terpaku. Dia mengacak rambutnya sendiri dengan kesal, bahkan menepis tangan Dela yang berusaha memegang lengannya.

Namun aku tak lagi peduli. Semuanya sudah berakhir.

Keenan memelukku erat dari pangkuanku, seolah mengerti apa yang sedang terjadi.

Tangannya kecil tapi hangat, dan genggamannya kuat.

Aku menatap keluar jendela, melihat langit sore yang mulai berubah jingga.Aku cukup lelah untuk hari ini. Emosi ku terkuras habis karena penghianatan tersebut.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!