Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merumuskan Rencana Balasan
Ia menyentak napas dingin, jemarinya yang mungil bergetar memegang perkamen itu seolah-olah kertas itu adalah bilah belati yang menancap tepat di jantung Nayyirah.
Umm Shalimah yang berdiri di belakangnya tidak sempat melihat isinya, namun raut pucat Yasmeen sudah menjadi jawaban yang jelas.
Apakah Zahir. Sengaja menjatuhkannya di lantai untuk menarik perhatiannya? Tidak mungkin. Surat ini adalah kecerobohan belaka, sebuah tanda betapa buru-burunya Zahir bergerak sebelum ia benar-benar pergi.
“Sayyidah, apa itu?” bisik Umm Shalimah cemas.
Yasmeen tidak menjawab. Ia cepat-cepat melipat surat perjanjian yang tidak pernah ia temukan di kehidupan masa lalu.
Pegunungan Selatan. Tambang perak. Aset yang diam-diam akan dijual kepada klan yang bersekutu dengan Permaisuri Hazarah.
Rencana Zahir tidak hanya mencakup pernikahan politiknya; itu mencakup pemotongan sumber daya vital Nayyirah hingga habis, sehingga Emirat itu hanya menjadi gurun tandus yang tak lagi bernilai setelah ia kembali—jika ia kembali.
Yasmeen menoleh ke pintu. Tariq baru saja keluar untuk mengumpulkan para pengawal. Ruangan ini kosong. Ia segera menyelipkan perkamen itu ke balik ikat pinggang sutranya, di bawah jubah besarnya. Tindakan ini harus cepat, tersembunyi, dan sempurna.
Jaddī, aku tahu sekarang. Pengkhianatannya sudah berakar terlalu dalam. Ini bukan lagi soal aku pergi atau tinggal. Ini adalah pertarungan untuk memastikan Nayyirah tidak mati di bawah keputusannya.
Perasaan mual bercampur amarah. Zahir telah lama merencanakan ini, mengabaikan bahwa ia adalah putrinya sendiri, hanya melihatnya sebagai tiket keluar dari gurun yang membosankan ini.
“Umm Shalimah, aku ingin teh dingin segera,” ujar Yasmeen, memaksa suaranya terdengar normal. “Dan siapkan kembali ruangan ini. Aku harus bertemu dengan para Wazir setelah ini.”
Umm Shalimah mengangguk, masih tampak cemas. “Baik, Sayyidah.”
Ketika Umm Shalimah pergi, Yasmeen menarik napas dalam-dalam. Surat itu terasa dingin dan kaku menempel di kulitnya. Dua jam. Ia membutuhkan waktu dua jam untuk mengumpulkan dirinya, merumuskan rencana balasan yang harus lebih tajam daripada mata Zahir, dan memposisikan kembali pikirannya untuk rapat penting yang baru saja diinterupsi. Rapat yang akan menentukan nasibnya dan nasib Emiratnya.
*
Dua jam kemudian.
Khalī Tariq memastikan setiap sudut di ruang kerja Emir tertutup tirai sutra berat yang menyaring debu gurun, menciptakan suasana remang-remang yang tenang namun resmi. Di balik pintu utama, Tariq dan dua pengawal bersenjata berjaga. Tidak ada gangguan yang diizinkan.
Yasmeen telah berganti pakaian menjadi tunik linen putih polos, warna yang selalu dikenakan Jaddīnya saat membahas masalah suksesi—sebuah simbol kesucian niat. Ia duduk di kursinya yang kebesaran, kini dengan bantal tambahan, memastikan pandangannya sejajar dengan tiga Wazir utama yang duduk di hadapannya.
Tiga pria itu, Wazir Khalid (Administrasi Agung), Wazir Abbas (Keuangan), dan Wazir Ghanim (Logistik dan Perdagangan), semuanya adalah pria yang setia pada mendiang Emir, namun loyalitas mereka bersyarat pada kekuasaan yang stabil.
Wazir Khalid, yang paling senior dengan janggut abu-abu panjang dan mata yang penuh kebijaksanaan pragmatis, memimpin pandangan skeptis itu.
“Sayyidah,” Wazir Khalid memulai, suaranya dipenuhi rasa hormat yang kaku. “Kami kembali karena menghormati perintah Tuan Tariq dan memori Emir Agung. Namun, kami harus memahami. Dalam rapat pertama tadi, Sayyidah menegaskan penolakan atas tawaran pendidikan dari Kota Agung.”
Yasmeen mengangguk pelan. “Itu benar.”
“Dengan segala hormat, Sayyidah,” potong Wazir Abbas, yang dikenal berhati-hati dengan masalah keuangan dan menghindari risiko, “penolakan ini dapat memicu murka Permaisuri Hazarah. Kita adalah provinsi perbatasan, kita sangat bergantung pada stabilitas Kesultanan. Menolak tawaran pendidikan dan penyerahan Sayyidah kepada Azhar adalah sama dengan mengibarkan bendera perlawanan.”
Di masa lalu, Yasmeen mungkin akan gemetar mendengar ancaman tak terucapkan itu. Tapi ia ingat tahun-tahun kepemimpinannya sebagai boneka. Ia tahu betul harga dari stabilitas semu itu.
“Biar kuberitahu sebuah fakta, Wazir Abbas,” balas Yasmeen, suaranya begitu lembut, kontras dengan beban yang dikandungnya. “Di bawah stabilitas semu itulah Nayyirah akan disedot darahnya hingga kering. Dan di bawah kedok pendidikan, aku akan dijadikan pion dalam permainan politik mereka.”
Wazir Khalid menghela napas. “Sayyidah, itu adalah retorika politik yang kejam. Kami tidak meragukan bahwa Emirah yang meninggal telah didorong untuk menerima kenyataan itu. Bukankah lebih baik kita berkompromi?”
Yasmeen tersenyum tipis. Ini adalah inti masalahnya: mereka melihat Zahir, sang Wali, telah berkompromi dan mereka khawatir Yasmeen yang kecil akan mengacaukan rencana yang sudah terlanjur basah.
“Tidak akan ada kompromi yang dimulai dari penyerahan hak asasi kita,” tegas Yasmeen. “Wasiat Jaddīku sudah jelas: Aku harus memimpin Nayyirah setelah beliau tiada. Dan aku akan memimpinnya. Jika kalian masih meragukan kemampuanku hanya karena usia, biarkan aku membuktikan keabsahan klaimku.”
Keheningan kembali melingkupi ruangan itu, tetapi kali ini lebih dingin. Yasmeen melirik ke Wazir Abbas, yang matanya menunjukkan sedikit kecemasan.
“Wazir Abbas,” Yasmeen melanjutkan, menjulurkan jarinya ke arahnya, “Aku telah meninjau kembali laporan inventaris koin tembaga di perbendaharaan utara, tepatnya inventaris bulanan terakhir Jaddīku. Angka-angka yang kau masukkan, menunjukkan peningkatan signifikan dalam pembelian gandum dari pasar Badr, tetapi koin tembaga yang seharusnya dibelanjakan untuk gandum itu kurang tepat.”
Wazir Abbas tertegun. Ia mencoba menutupinya dengan batuk. “Aku… aku yakin angka itu sudah dikoreksi, Sayyidah. Itu adalah laporan sebelum aku secara resmi mengambil alih setelah Jaddī…”
“Tidak, Wazir,” potong Yasmeen tajam, ia ingat betul insiden kecil ini dari kehidupannya yang lalu. Ini adalah embelzement kecil yang terungkap setahun kemudian dan hampir menghancurkan karir Wazir Abbas, yang menyebabkan ia menjadi alat tumpul Zahir di masa lalu. “Ada kekurangan tiga karung koin, disamarkan sebagai pembelian benih kurma premium dari pedagang yang berbasis di Gurun Al-Ghab. Aku tahu karena Jaddī selalu membeli benih dari kabilah lokal. Benih Al-Ghab tidak pernah dimasukkan dalam pembukuan resmi kami, apalagi dengan harga yang begitu tinggi.”
Wazir Abbas membeku di tempat. Wazir Khalid dan Wazir Ghanim saling pandang, raut terkejut. Detailnya terlalu spesifik. Hanya Jaddī, Wazir Abbas, atau seseorang yang memiliki akses rahasia yang tahu detail ini.
Yasmeen menatap Abbas lurus-lurus. “Apakah kau akan tetap mengatakan bahwa aku tidak mampu memimpin, Wazir Abbas? Atau apakah kau mulai berpikir, mungkin, ada alasan mengapa Jaddīku menemuiku dalam mimpi, dan membisikkan angka-angka rahasia kepemimpinannya?”
Kewibawaan, yang selama ini dicari Yasmeen, memancar keluar dari dirinya, bukan dari ukuran tubuhnya, melainkan dari presisi pengetahuannya.
Wazir Abbas langsung berdiri, menunduk hingga janggutnya hampir menyentuh karpet Persia. “Hamba… hamba mohon maafkan ketidaksopanan hamba. Hamba tunduk pada perintah Sayyidah. Kejelian Sayyidah tidak terbantahkan. Hamba akan menyelidiki kembali masalah koin tembaga dan benih Al-Ghab, dan mengoreksinya secepat mungkin.”
Wazir Khalid menelan ludah. Ia tidak lagi melihat anak kecil di hadapannya. Ia melihat seorang Emir yang keras dan tak terduga, didukung oleh entitas yang tidak bisa ia bantah: warisan spiritual dan presisi administrasi.
Yasmeen duduk tegak. “Bagus. Sekarang, kita kembali ke masalah utama.”
Ia menoleh ke Wazir Khalid. “Khalid, seperti yang aku katakan sebelumnya, aku mencabut peran Abīku dari semua urusan diplomasi dan administrasi terkait Azhar. Mulai sekarang, kau akan menjadi Wazir yang bertanggung jawab penuh atas sambutan utusan Permaisuri Hazarah. Berikan alasan apa pun yang membuat mereka menunggu, tetapi buat mereka menghormati penolakanku untuk pergi. Bisakah kau melakukan ini?”
Wazir Khalid membungkuk lebih dalam daripada Abbas, rasa takutnya kini bercampur dengan kagum. “Hamba dapat melakukannya, Sayyidah. Hamba akan mengulur waktu dan menuntut mereka memberikan jaminan tertulis untuk semua tuntutan Emirat sebelum mereka diizinkan bertemu dengan Sayyidah.”
“Dan satu hal lagi, Wazir Khalid. Jangan pernah biarkan Abīku—Sayyid Zahir—mendekati utusan itu atau dokumen apa pun yang berhubungan dengan mereka. Peran resminya telah dicabut, ia kini hanyalah seorang Ayah yang merawat keluarganya.”
“Perintah akan dilaksanakan, Sayyidah,” jawab Khalid, matanya yang tua tampak menyala dengan kegembiraan yang baru. Mereka telah menemukan kembali pemimpin yang kuat setelah sekian lama.
Yasmeen tersandar. Perintah itu resmi. Pijakan politiknya sedikit menguat. Zahir telah sepenuhnya dilucuti dari kekuasaan administratif di mata loyalis Emirat.
Keheningan berlangsung lama, para Wazir sibuk menulis catatan di buku kulit mereka. Setelah memastikan semuanya tertulis dan jelas, Wazir Khalid mengangkat kepalanya, ekspresinya kembali berubah menjadi hati-hati.
Ia adalah Wazir Agung. Dan sebagai seorang negarawan, ia harus berhadapan dengan badai yang akan datang.
“Sayyidah, satu hal yang belum terjawab,” ucap Khalid, nadanya merendah. “Jika Sayyidah menolak tawaran pendidikan dari Permaisuri, kita berhadapan langsung dengan kekuasaan di Kota Agung. Kekuasaan itu diikat oleh kebutuhan diplomasi terbesar kita: perjanjian damai dengan Emir Harith Al-Qaim di perbatasan timur. Sultan sangat bergantung pada pernikahan Sayyidah dengan Harith sebagai jaminan perdamaian perbatasan itu.”
Khalid menatapnya lekat-lekat, menyadari bahwa ia baru saja menyentuh isu yang paling sensitif, isu yang telah menghancurkan kehidupan Yasmeen di masa lalu. Harith Al-Qaim. Calon suaminya yang dingin, yang ia tinggalkan di masa depan.
“Jika Sayyidah tidak mau menjadi murid di sana, lantas, bagaimana dengan pernikahan itu? Itu adalah takdir politik kita, Sayyidah,” desak Wazir Khalid, ketakutannya kini berpusat pada kemungkinan perang jika perjanjian pernikahan dibatalkan secara sepihak.
Yasmeen mengeras. Ia tidak pernah ingin menikahinya. Pernikahan itu adalah hukuman mati yang lambat. Namun, ia tidak boleh menghancurkan aliansi, setidaknya belum.
Senyum yang begitu dingin muncul di bibirnya. Senyum yang penuh dengan keangkuhan dan kesadaran politik yang tidak wajar untuk usianya.
“Wazir Khalid,” jawab Yasmeen, membiarkan suaranya menembus keraguan mereka. “Aku tidak pernah menolak perdamaian, tapi aku menolak kompromi yang menjadikanku korban.”
Ia bersandar, matanya menyapu ketiga pria itu, seolah memastikan tidak ada satu pun yang berani membantahnya.
“Dengarkan aku baik-baik. Jika aku harus menikah untuk memastikan kedaulatan Nayyirah, aku akan memilih calonku sendiri. Aku akan melakukannya sebagai Emirah, bukan sebagai kompensasi.”
Ia berhenti sejenak, mencondongkan tubuh ke depan, memberikan penekanan dramatis pada kata-kata terakhir yang menghancurkan semua asumsi mereka tentang perannya di masa depan.
“Dan aku tidak akan pergi ke Kota Agung untuk belajar, aku akan belajar bagaimana menjadi seorang Emir di rumah ini.”