Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegundahan Arabella & Sholat Istikharah
...BAB 24...
...KEGUNDAHAN ARABELLA & SHOLAT ISTIKHARAH...
Selesai kajian, udara malam di halaman masjid Pondok Pesantren milik Kiyai Hasyim terasa sangat sejuk, tapi tidak bagi Arabella. Di bawah cahaya lampu taman yang temaran, berdiri sosok yang membuat waktu seolah berhenti.
Kaisar. Dengan postur tegap, jubah putih rapih, dan sorot mata tajam yang membuat siapa pun merasa sedang difokuskan oleh kamera zoom 10x. Para Ustad dan Ustadzah yang melintas pun tak bisa menyembunyikan reaksi mereka, senyum kikuk, tatapan kagum dan langkah yang sedikit melambat.

“Assalamualaikum, Ustad,” sapa mereka.
Kaisar hanya mengangguk, tenang tanpa senyum. Tetap memancarkan aura misterius dan elegan. Tak jauh dari situ, Dina, Elis dan Sari baru saja keluar dari masjid dan melihat punggung lebar Kaisar.
“Waduh... tu orang nunggu Bella?” bisik Dina.
“Wah, nggak bisa dibiarin nih!” ujar Elis.
“Bener... harus dikasih ruang!” Sari buru-buru menarik tangan kedua sahabatnya.
“Eh... kita ke toilet yuk! Penting banget ini!”
Padahal kenyataannya? Nggak ada yang kebelet. Mereka Cuma ingin jadi tim suportif. Beberapa menit kemudian, Arabella keluar dari masjid sambil memeluk mukena. Langkahnya santai, wajahnya kembali absurd dan polos. Tapi saat...
“Raiya.”
Langkah Arabella berhenti seketika. Mendadak bumi terasa berputar lebih cepat dari biasanya. Dia tidak berani menoleh, tapi napasnya menahan.
“Raiya...” Kaisar kembali memangil, lembut tapi cukup menggetarkan dunia Arabella.
Arabella memalingkan wajah. “Ck... Nama gue Arabella Ya, bukan Raiya!” ucapnya dengan suara pelan, tapi tegas.
Kaisar menghela napas pendek, lalu melangkah pelan ke arah Arabella. “Bisa kita ngomong sebentar? cuma sebentar. Saya Cuma mau jelaskan semuanya.”
Arabella cepat-cepat melangkah mundur, menjaga jarak. “Nggak baik berdua-duaan... apalagi bukan muhrim.”
Kaisar menyipitkan mata, lalu tersenyum iseng, “Kalau gitu... kamu mau jadi muhrim saya?”
“What the— Apa??!” Arabella langsung memalingkan muka, wajahnya mulai memanas. “Isshhh... Bukan itu maksudnya! Biasanya yang ketiga itu Setan!” serunya cepat.
Kaisar justru menahan tawa. “Yang ketiga iya... tapi ini ada yang keempat, kelima juga.”
Kaisar menunjuk ke belakang Arabella. Arabella buru-buru menoleh. Devan, Balwa dan Balwi, mereka bertiga sedang ngumpet... setengah badan dibalik tiang masjid, dengan ekspresi caught in action.
“Ciyeeee...” ujar Devan sambil nyengir.
“Kita Cuma lewat, demi menghindari fitnah,” Balwa pasang wajah polos.
“Tapi kita bersedia jadi saksi kalau kalian mau akad!” sahut Balwi jahil.
“YAAAAAAAA!!!”Arabella menunjuk tajam sambil memerah. “KALIAN MAU GUE SAMBAR PETIR KALI YA?!”
Mereka bertiga langsung kabur ketawa terbahak-bahak, meninggalkan Kaisar yang tersenyum puas dan Arabella yang mematung... bingung antara marah, malu atau... Rindu? Dan malam itu, bukan hanya suara jangkrik yang jadi saksi, tapi juga detak hati yang belum sempat dijelaskan sepenuhnya.
Arabella masih berdiri gelisah di hadapan Kaisar. Napasnya berat, dadanya sesak dan pikiranya berisik. Dia belum siap. Belum siap menghadapi semua rasa yang dulu dia kubur paksa. Matanya menyapu sekitar.... dan... cekrek! Target terkunci. Yupz dia melihat Ustadzah Rina.
Dengan secepat kilat dan suara seolah penuh kepentingan, Arabella langsung berseru.
“Ustadzah RINAAA!! Tadi Ustadzah nyari saya kan ya? Mau nyuruh apa ya. Ustadzah?”
Ustadzah Rina yang sedang jalan santai sambil membawa buku tafsir mendadak menghentikan langkahnya. Matanya melebar, ekspresi bingung terpampang nyata.
“Loh.. saya? Saya nggak manggil kamu kok Bel, Saya bahkan baru liat kamu sekarang.”
Deg.
Cengo? Pastinya. Arabella mati gaya. Seluruh rencana penyelamatan diri hancur dalam satu kalimat. Kaisar tertawa. Lantang dan bahagia. Tawa yang cukup membuat Arabella ingin menghilang dari bumi dan terjun bebas ke dalam karung goni.
“Wah... usaha kaburnya makin kreatif ya?” ucap Kaisar sambil menahan geli. “Tapi sayangnya gagal total.”
Arabella mengerucutkan bibir, cemberut total sambil bergumam, “Ya Allah, kenapa sih Ustadzahnya nggak bisa diajak kompromi banget?!”
Kaisar menatapnya, kali ini lebih tenang. “Raiya... saya Cuma butuh beberapa menit. Saya Cuma mau jelasin semuanya. Nggak lebih.”
Arabella menatap Kaisar sebentar. Lalu menunduk. Ada pertarungan dalam batin yang tak bisa dipungkiri di wajahnya. Dia ingin tau. Tapi dia takut. Takut kenangan lamanya kembali menguncangnya.
“Hah... Lima menit. Di bawah lampu taman. Deket aer mancur.”
Kaisar menunjuk lalu dengan nada ringan... “Kalau lebih dari lima menit, kamu boleh siram saya pake air kolam.”
Arabella masih manyun. Tapi akhirnya melangkah... pelan... ke arah lampu taman. “Inget jaga jarak! Gue di kursi taman, lo deket tiang lampu biar tenang!” ketusnya.
Kaisar menganguk tersenyum tipis, mengikutinya. Dan malam pun kembali menyimpan cerita yang akan mengubah segalanya. Di bawah cahaya remang lampu taman, Kaisar duduk di samping Arabella. Angin malam membelai lembut, membawa wangi bunga kenanga yang tumbuh di pinggir halaman pondok. Kaisar mulai menjelaskan... dengan suara tenang dan penuh penyesalan.
Tentang kenapa dia menghilang. Tentang orang tuanya yang kecelakaan. Tentang perusahaan yang harus dia ambil alih. Tentang kuliah yang dipindahkan ke Yaman. Dan tentang hatinya... yang tak pernah berubah untuk Arabella.
“Raiya... Gue tau Gue salah. Tapi percaya deh, gue pergi, trus rasa ini ikut hilang juga. Justru... Setiap hari gue berdoa bisa ketemu lagi sama lo. Bisa langsung bilang, kalau rasa ini masih utuh.”
Namun tidak ada jawaban. Kaisar pun menoleh dan... Arabella tertidur. Dia duduk bersandar di bangku taman, tas selempangnya masih menempel, wajahnya damai, sesekali helai rambut menyembut dari kerudungnya. Napasnya tenang. Nyenyak sekali.
Kaisar menghela napas lalu tersenyum lembut. Tatapannya menelusuri wajah Arabella dengan rindu yang selama ini dia pendam. Gadis ini... satu-satunya yang mampu membuatnya pulang.
“Ck... Masih lucu dan absurd kayak dulu...” bisiknya lirih.
Namun keheningan itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan, langkah tenang mendekat. Ya... dia adalah Ustad Izzan. Dingin, datar, tapi dalam diamnya banyak yang tersembunyi. Matanya menatap Kaisar yang masih memandangi Arabella. Dan saat itu... sesuatu menusuk hatinya.

“Seandainya saya bisa seperti itu.. bisa dekat, bisa melihat wajahnya tanpa harus mencuri-curi pandang dari kejauhan.”
Dia menelan ludah. Dia,. Tapi langkahnya tak berhenti. Dia mendekat lalu berdiri di samping Kaisar.
“Bangunkan dia. Ini bukan tempat untuk tidur!” ucapnya tegas, walau nadanya tetap tenang.
Kaisar tersenyum kecil, lalu menepuk pelan tangan Arabella. “Raiya... bangun... ayo pindah tidur!”
Arabela mengerang kecil, lalu bergumam setengah sadar. “Rayyan... jangan pergi lagi...”
Kaisar membeku. Senyum tipisnya berubah haru. Sementara Ustad Izzan?? Mengatupkan rahangnya.
“Hah... Bahkan dalam tidur pun ... dia masih menyebut nama itu.” Lama terdiam, lalu melangkah pergi. Dalam hatinya berkata, “Mungkin... sudah saatnya saya berhenti. Karena cinta yang saya perjuangkan... ternyata sejak awal telah memilih untuk menetap di tempat lain.”
Langkah Izzan menyatu dalam gelap, meinggalkan dua sosok yang mungkin sudah saling menemukan... namun masih butuh waktu untuk saling menyembuhkan.
Arabella menggeliat pelan, kelopak matanya mulai terbuka, menangkap cahaya taman yang mulai redup. Angin malam masih setia menyapa, dan suara jangkrik mengiringi kesadarannya yang perlahan pulih. Dia mengerjapkan mata. Lalu mendongak. Dan...
“KYYAAAAA!!!” refleks Arabella langsung melompat menjauh dari bangku taman, hampir saja terjungkal karena belum sepenuhnya sadar. Wajahnya memerah, tangan buru-buru merapihkan kerudung dan bajunya yang sempat kusut.
“GUEE? HEH... KENAPA GUE ADA SINI?!” teriaknya panik.
Kaisar yang duduk di ujung bangku, terkekeh sambil menahan tawa. “Tenang Raiya. Nggak ada yang aneh. Lo Cuma ketiduran pas gue lagi cerita.”
“Ish... dibilangin jangan panggil gue Raiya! Dan jangan ketawa, ini tuh malu-maluin tau nggak?!” Arabella berteriak panik, sambil terus menunduk menutup wajahnya yang sudah merah seperti tomat matang.
Kaisar berdiri, menatapnya sambil tersenyum sabar. “Lo masih suka tidur sembarangan ya, persis kayak dulu. Tapi jujur, gue lega bisa liat lo... masih jadi diri lo yang dulu.”
Arabella mendengar itu makin gelisah. Pandangannya bergerak ke kanan dan ke kiri memastikan tak ada yang melihat, dan saat dia menoleh ke belakang... tampak tiga bayangan kecil cepat-cepat masuk ke balik pilar taman. Ya... Siapa lagi kalau bukan, Devan, Balwa dan Balwi.
“ASTAGFIRULLA KALIAN NGITIP LAGI?!” jerit Arabella.
Terdengar suara cekikikan dari balik tembok,
“Romantis juga kalian... kayak sinetron.”
“Ada yang tidur di taman bareng cowok... ukkhuk ukkhuk.”
Arabella menutup wajah dengan kedua tangannya. Malu, gemas, kesal, semua campur aduk. Kaisar Cuma berdiri santai, melipat tangan di dada sambil tersenyum lebar.
“Udah gue bilang jangan kabur, eh malah tidur. Sekarang jadi tontonan kan?”
Arabella mendengus, “Ya semua ini salah lo! Dateng-dateng bikin rusuh! Mangil-manggil nama aneh, trus sekarang dituduh pacaran sama lo!”
“Tapi lo yang tidur di sebelah gue, Raiya,”
“BELLA! ARABELLA!” potongnya cepat. “Nama gue Arabella!A.R.A.B.E.L.L.A! paham? Rayyan si manusia masa lalu!”
Kaisar mengangguk pelan, ekspresinya tiba-tiba berubah lebih serius. “Iya, gue tau. Tapi lo tetep Raiya di hati gue.”
Deg.
Arabela terdiam. Beberapa detik hanya sunyi yang terdengar. Hingga akhirnya Arabella berbalik, melangkah cepat menjauh sambil bergumam,
“Gue tidur gegara ngantuk, bukan gara-gara lo ngomong! so nggak usah kegeeran.”
Kaisar hanya tersenyum, memandangi punggung gadis yang hatinya masih keras, tapi diam-diam... masih menyimpan rindu. Arabella melangkah cepat, wajahnya masih panas karena kejadian di taman bersama Kaisar. Gerutuan terus keluar dari mulutnya dengan suara lirih tapi penuh semangat.
“Dasar! Rayyan nyebelin! Enak banget dia... dateng-dateng langsung ngerusak kestabilan mental orang... ngeselin banget emang! Sumpah ngeselin—“
BBBRRRUUUUKKK
Tubuh Arabella tiba-tiba terpental ringan karena menabrak sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang.
“Aduh... Maaf saya nggak liat—“ ucapannya terputus saat dia mendongak dan melihat siapa gerangan yang ditabraknya.
Seketika mata besarnya bertemu dengan sepasang mata teduh namun tajam milik Ustad Izzan, pria dingin yang selalu bisa membuat para santriwati diam tanpa perlu bicara. Tangan Izzan memegang lengannya, menahannya agar gadis itu tidak jatuh. Namun justru posisi itu membuat mereka terlalu dekat. Jarak yang tak biasa. Arabella membeku. Wajahnya makin panas, napasnya tertahan. Izzan juga tak kalah gugup. Wajahnya tetap dingin di luar, tapi di dalam... hatinya berdentum hebat seperti bedug adzan magrib.
“Ma... Maaf, saya nggak sengaja,” gumam Arabella buru-buru mundur satu langkah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila.
“Tidak apa-apa,” jawab Izzan singkat, namun suaranya terdengar lebih dalam dar biasanya.
Beberapa detik, hanya keheningan yang ada di antara mereka. Mata Izzan masih menatap Arabella, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi, hanya diam yang keluar. Arabella menunduk, wajahnya hampir merah sempurna.
“Saya... Saya ke kamar dulu, Ustad.” Katanya cepat, lalu langsung melesat seperti roket menuju arah asrama.
Ustad Izzan masih berdiri di tempat, satu tangannya satu mengepal pelan menahan gejolak dalam dadanya. Tak banyak yang tau kalau di balik raut dinginnya, lelaki itu sedang menghadapi badai dalam diam.
“Apa saya masih punya harapan?” batinnya lirih.
Dia pun melangkah pergi... namun jejak langkah Arabella masih jelas terasa dalam hatinya. Arabella membuka pintu kamar dengan wajah campur aduk— kesal, malu, bingung dan ngantuk. Baru saja hendak menjatuhkan tubuh ke kasur, tiba-tiba...
“BEELLAA!!” suara kompak Sari, Dina dan Elis mengguncang seisi kamar.
“Kamu habis ngobrol sama Kaisar, kan? Hah? Hah? Udah tau alesannya belum?”
Sari langusng duduk di kasur Arabella, menatap penuh semangat seperti wartawan infotaintment.
“Dia jelas-jelas manggil kamu Raiya di depan semua orang! Itu panggilan sayang nggak sih??” ucap Elis menambahkan matanya melebar penuh drama.
“Gimana reaksi kamu?! Kamu denger dia ngomong apa? Kamu nangis? Kalian baikan?” ucap Dina yang paling heboh, bahkan sudah duduk bersila sambil nyodorin bantal ke Arabella seolan itu mic interview.
Arabella yang awalnya masih lelah dan belum sepenuhnya mendarat dari kejadian sore tadi, malah menguap lebar.
“Hah? Oh, alesan dia? Entah... gue ketiduran.”
“Apa??!”
Trio kamar langsung beku. Detik berikutnya, ruangan pecah oleh seruan kaget.
“Kamu tidur? Di depan dia?” ucap Elis hampir copot sendal.
“Itu cowok baru buka hati, kamu malah nutup mata?” Sari menepuk jidat.
“Astagfirullah, Bella... emang kamu absurd sih, tapi nggak nyangka bakalan separah ini...” Dina geleng-geleng sambil nyengir. Tapi belum selesai mereka heboh, mata Dina membelalak seperti baru dapet wahyu.
“Eh, Eh! Tadi aku liat loh! Kamu nabrak Ustad Izzan!” Dina langsung nunjuk Arabella.
“Eh? Beneran? Nabrak? Yang bener kamu? Trus-trus gimana tuh?” Sari dan Elis langsung nyerbu.
Arabella langsung menutup wajah pakai bantal, suaranya teredam.
“Iya.... aku nabrak dia.. terus dia nangkep aku...”
KYYAAAAAA...
Sari langsung guling-guling di kasur.
“Ini drama islami apa sinetron senin-jumat sih?” Elis hampir nangis ngakak.
“Duh, Bellaaa, kamu tu pusat gravitasi semua cowok apa gimana sih?”
Dina nyubit pipi Arabella gemas. Arabella menjerit kecil.
“Stop Woy! Gue tuh bingung! Kaisar dateng, gue belum siap, trus ustad Izzan makin sering muncul di depan gue, gue kan jadi pusing!”
Sari nyengir nakal, “Pusing karena laki-lakinya banyak ya?”
“NGGGAAAAKK! Pusing gara-gara hati gue retak, ngerti?!”
Arabella memeluk bantal seakan itu pelampiasan emosinya. Tapi di balik semua keributan itu, tak ada yang benar-benar tau, bahwa hati Arabella sedang diuji diantara kenangan masa lalu dan rasa yang mulai tumbuh dalam diam...
Malam semakin larut. Di dalam kamar asrama, suasana mulai mereda dari kehebohan siang dan sore tadi. Sari Dina dan Elis duduk melingkar di atas karpet bersama Arabella yang kini terlihat sedikit lebih tenang, walau tetap membawa aura absurd andalanya.
“Bell, kita mikir deh...” ucap sari memulai sambil melipat sajadah kecilnya.
“Kenapa kamu nggak sholat istikharah aja?”
Arabella langsung melotot. “Hah? Istikharah? Buat apa?”
“Ya buat minta petunjuklah, siapa yang harus kamu pilih, Kaisar atau...” Dina sengaja mengantung ucapannya dengan senyum nakal.
“Atau Ustad Izzan~” Elis ikut mengoda, bahunya naik turun menahan tawa. “Atau malah Ustad Azzam?” tambahnya.
Arabella langsung meringis dramatis sambil guling-guling ke kasur. “Ngak! Nggak mau! Ngak siap, Sist!”
“Loh, kenapa?” tanya Sari penasaran.
Arabella bangkit, duduk dengan gaya sok misterius. “Gue takut... Gue Istikharah, eh yang nongol malah si Devan, Balwa saama si Balwi!”
Semua langsung tertawa keras.
“Astagfirullah Bella! Itu trio penganggu!” Dina ngakak sampai nangis.
“Kebayang nggak tuh, mereka bertiga muncul pake sorban di mimpi kamu, trus kayak bilang ‘kami jodohmu!’?” Elis makin menggila.
Arabella ikut ngakak tapi tetap dengan wajah serius dramatis, “Makanya gue takut. Jangan sampe deh.. apalagi si Devan tuh... ngeledek mulu tiap hari. Amit-amit dijodohin sama bocah tengil begitu!”
Sari nyengir, “Ya makanya kamu niat, Bell. Bukan sekedar ‘main istikharah’. Hati kamu juga harus tenang, niat minta petunjuk Allah, bukan malah mikir halu trio bocil!”
Arabella menarik napas panjang, menatap sahabat-sahabatnya. “Kalo muncul Kaisar, gimana?” nadanya pelan.
“Ya berarti itu jawabannya...” Dina lembut menjawab.
“Trus kalo Ustad Izzan yang muncul?” Elis ikut menimpali.
“Atau malah Ustad Azzam” tambah Sari.
Arabella membenamkan muka ke bantal. “Fix sih ini... gue makin bingung.” Suasana jadi hening sejenak sebelum Arabella nyeletuk lagi, “Tapi kalo tiba-tiba muncul Mang Aming si penjaga gerbang, gimana dong?”
Semua langsung ketawa lagi.
“Bell... sumpah ya.. kamu tuh spesies langka deh.. aslinya!” Sari masih terpingkal.
Arabella cengar-cengir, tapi dalam hatinya mulai berpikir... mungkin memang saatnya minta petunjuk, bukan karena bingung memilih siapa yang terbaik, tapi siaa yang paling Allah ridhoi untuk mendampinginya.