Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Ratih merasakan sesuatu yang lain—kekuatan yang tak terduga mengalir dari dalam dirinya.
Kekuatan itu BUKAN hanya cahaya dari liontin, melainkan panas yang membakar dari intisari keberadaannya, darah yang mengalir di nadinya. Ia ingat kata-kata Tuk Guru: “Kekuatan untuk menenun kembali segel itu. Para leluhurmu tidak hanya menyegel 'Penjaga Kabut', mereka juga menanamkan sebagian kekuatan mereka pada keturunan mereka.”
Saat jari-jari berkabut 'Penjaga Kabut' hampir mencengkeram liontinnya, Ratih membuka matanya. Bola matanya kini memancarkan kilau merah yang sama dengan permata di liontinnya, tapi jauh lebih intens, seolah api purba telah dinyalakan.
🔥 Detik-Detik Penenunan
Dengan sebuah teriakan yang jauh lebih kuat dari raungan 'Penjaga Kabut'—teriakan yang bukan miliknya sendiri, melainkan gabungan suara para leluhurnya—Ratih tidak menarik diri. Sebaliknya, ia mendorong maju.
Ia melepaskan satu baris terakhir dari aksara kuno yang belum sempat ia ucapkan keras-keras. Bukan dengan suara, melainkan dengan kehendak murni yang dilepaskan bersama gelombang darah keturunannya.
$\text{Aksara Kuno Berbicara: Darah Menjadi Tali, Jiwa Menjadi Pasak. Segel Terpatri, Selamanya!} $
Tangan 'Penjaga Kabut' yang tadinya akan merobek liontin itu, kini berhenti di udara. Kabut hitam yang menyelimutinya mulai bergolak hebat, seolah entitas itu tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa.
Liontin perak berbentuk daun di leher Ratih tidak hanya memancarkan cahaya, melainkan mulai bergetar dan mengeluarkan benang-benang cahaya merah tipis—benang-benang yang terjalin di setiap urat nadinya, seperti yang dikatakan Tuk Guru. Benang-benang itu melesat keluar dari tubuh Ratih, menembus kabut hitam, dan menancap kuat pada tujuh pilar cahaya biru yang mengelilingi gubuk.
Ini bukan mantra, ini adalah penenunan.
'Penjaga Kabut' meraung, raungan itu kini dipenuhi kepanikan. "TIDAK! KETURUNAN TERAKHIR! KAU TIDAK AKAN MENGAMBIL KEKUATANKU LAGI!"
Dia mencoba menarik tangannya, tapi benang-benang cahaya merah itu telah mengikatnya. Saat benang-benang itu mengencang, wujud kabutnya mulai menyusut, tertarik dengan paksa ke dalam lingkaran tujuh pilar cahaya. Wujud aslinya, yang berupa gumpalan bayangan, mulai terlihat, dan di tengah-tengahnya, berdenyutlah sebuah jantung gelap yang dipenuhi aura kejahatan.
Ratih tahu, secara naluriah, bahwa jantung itu adalah inti dari 'Penjaga Kabut', dan benang-benang yang ia tenun harus mengikatnya.
🛡️ Pemasangan Segel
Di saat yang sama, Tuk Guru, meskipun terluka parah, bangkit. Ia mengambil kotak kayu kecil dari Pohon Pengetahuan itu dan melemparkannya ke Ratih.
"KUNCI! LETAKKAN KUNCI DI JANTUNGNYA!" teriak Tuk Guru, suaranya serak namun mendesak.
Ratih menangkap kotak itu. Dalam sekejap, ia mengerti. Kotak itu bukan hanya wadah, tapi kunci terakhir dari segel leluhurnya.
Ia mengumpulkan seluruh kekuatannya. Benang-benang merah yang diaktifkan oleh darahnya dan liontinnya, menarik paksa 'Penjaga Kabut' ke tengah-tengah pilar cahaya. Dengan dorongan terakhir dari kehendaknya, Ratih melemparkan kotak kayu usang itu.
Kotak itu, yang kini bersinar terang, melesat dan menancap tepat di jantung gelap 'Penjaga Kabut'.
∗∗∗KLIK!
Saat kotak itu mengunci, 'Penjaga Kabut' meledakkan jeritan yang memekakkan telinga. Tujuh pilar cahaya biru tiba-tiba bergetar dan menyatu, bukan di atas, melainkan di sekitar entitas itu, membentuk sangkar energi yang solid. Benang-benang merah Ratih mengikat sangkar itu dengan pola rumit yang membentuk Segel Enam Bintang, tepat seperti cetak biru di perkamennya.
Kabut hitam itu menghilang, dan yang tersisa hanyalah pilar cahaya berbentuk sangkar yang kini tertanam di tanah gubuk, menyegel entitas purba di dalamnya. Cahaya yang luar biasa itu perlahan meredup.
Gubuk itu sunyi. Satu-satunya suara adalah napas Ratih yang terengah-engah dan rintihan Jaya di sudut. Liontin di leher Ratih terasa hangat, dan matanya kembali normal. Ia telah berhasil.
Ratih berjalan terhuyung-huyung menghampiri Jaya yang tergeletak. "Jaya! Kau baik-baik saja?"
Jaya mencoba tersenyum, meskipun wajahnya pucat. "Hanya... sedikit memar. Sepertinya... parang pendek tidak cukup kuat untuk entitas purba."
"Bagus," kata Ratih, lega. Ia kemudian beralih ke Tuk Guru.
Tuk Guru tersenyum lemah. "Kau berhasil, Ratih. Kau telah menunaikan takdirmu."
"Tapi... Nenek?" tanya Ratih, menatap segel yang kini seperti monumen batu bercahaya redup di tengah gubuk. "Apa yang terjadi dengan Nenekku?"
Tuk Guru menutup matanya. "Dia tidak kembali karena dia tahu dia tidak lagi dibutuhkan. Dia telah menemukan 'cara lain'... cara untuk memastikan kau menemukan kekuatanmu sendiri, tanpa dia mengorbankan dirinya. Dia telah pergi ke tempat para penjaga sejati beristirahat. Tenanglah, Nak. Dia damai."
Air mata Ratih menetes. Rasa sedih bercampur kelegaan. Ia menatap ke luar gubuk. Fajar mulai menyingsing, mewarnai langit dengan jingga dan emas." Desa itu aman sekarang sampai bulan purnama ke 14 dan itu dua Minggu lagi." Ucap tuk guru dengan wajah lega, dan ada kecemasan di dalamnya.
"Maksuk tuk guru apa .?" Tanya Ratih dengan wajah yang lelah.
" Segel itu terlalu lemah, dan peyebab segel itu terbuka belum kita temukan, kalian harus temukan dalang dibalik ini semua, dan temukan dimana nenekmu berada" ucap tuk guru dengan wajah memandang kelangit.
" Jadi segel itu bisa pecah kapan saja tuk..?" Tanya jawab dengan wajah hawatir.
" Iya" sahut tuk guru.
" Kalian bertiga pulanglah kedesa tiga batu, dan cari dalang masalah ini, ingat disana kalian berhati-hati, siapapun bisa jadi tersangka.
Dan yang paling aku yakin, dia masih ada ikatan darah denganmu Ratih" nasehat tuk guru, dan juga peringatan untuk mereka jaga diri
" Baik tuk" sahut mereka berdua.
Dara masih tidur, dan mereka akan berangkat besok malam, karena pagi ini mereka akan mencari persediaan makan dihutan itu.
" Nya sudah, kalian semua istirahat lah" ucap tuk guru kemudian berjalan masuk kedalam rumahnya.
Pagi datang seolah membawa harapan baru pada mereka bertiga, Ratih dan dara awalnya ingin liburan sembari menjenguk neneknya yang sedang sakit, tapi kini dia malah kehilangan neneknya, dan desanya telah menjadi kuburan sunyi tanpa pemakaman.
Dara kini telah sadar, dia terlihat bingung saat mendapati dirinya bangun disebuah gubuk tua.
Disamping nya ada Ratih yang masih memejamkan mata, dan tak jauh dari sana ada jaya juga tengah berbaring.
" Kau sudah bangun?" Tanya tuk guru yang duduk tak jauh darinya.
" Iya kek, kakek siapa?" Tanya dara bingung.
" Saya kakek nya jaya, coba gerakan kakimu masih sakitkah" printah tuk guru.
Dara pun mengikuti ucapan tuk guru, dan saat dia menggerakkan kakinya dia tak merasakan sakit lagi.
" Tidak sakit lagi kek" ucap nya senang.
" Kalau begitu ayok bangun, bantu saya metik buah dan sayuran. Biar kita masak" ajak tuk guru.
Dara hanya menurut patuh.