NovelToon NovelToon
Akad Yang Tak Kuinginkan

Akad Yang Tak Kuinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikah Kontrak
Popularitas:15.6k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.

Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.

Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Trauma Masa Kecil…

Lorong kantor itu sudah lengang ketika senja mulai merayap turun. Lampu-lampu neon masih menyala, tapi kursi-kursi kerja sebagian besar kosong. Hanya suara AC yang berdengung pelan bercampur bunyi langkah kaki karyawan terakhir yang pulang.

Jingga masih duduk di mejanya, menumpuk beberapa dokumen. Matanya lelah, tapi ia tetap bersenandung kecil untuk mengusir jenuh.

“Ayo semangat…,” gumamnya lirih. Ia lalu berdiri, meluruskan badan yang pegal, dan melangkah santai ke arah kamar mandi tanpa sedikit pun curiga.

Di balik lorong itu, dua pasang mata mengikutinya. Lidya dan Runa. Mereka saling bertukar tatapan ketika melihat Jingga masuk. Begitu pintu tertutup, Runa cepat-cepat mengunci dari luar. Lalu memasukkan kuncinya ke dalam tas tangan Lidya. Senyum puas terselip di wajah mereka.

Tak lama, seorang petugas kebersihan datang membawa troli berisi alat pel.

“Permisi, toiletnya saya bersihkan dulu ya, Bu,” ujarnya sopan. Tapi Lidya buru-buru menahan.

“Jangan. Toilet itu rusak, jangan dipakai dulu. Nanti bisa-bisa kamu yang kekunci di dalam, bersihinnya besok saja, tunggu diperbaiki teknisi.” katanya tegas. Petugas itu mengangguk ragu lalu pergi.

Di dalam, Jingga tidak tahu apa-apa. Ia mencuci tangan, merapikan rambut, lalu bersiap keluar. Tapi ketika gagang pintu diputar, pintu itu tidak bergerak. Ia mencoba lagi, makin keras. Masih terkunci.

“Eh? Kok… nggak bisa?” bisiknya panik.

Beberapa kali ia mengguncang pintu, sampai akhirnya ia menggedor keras. “Halo! Ada orang di luar?! Tolong bukain pintunya!” Suaranya menggema, tapi lorong itu sudah sepi. Pintu yang tebal membuat teriakannya teredam.

Rasa dingin menjalari tubuhnya. Ingatannya melompat pada masa kecil. Usia lima tahun, menangis terkurung di ruangan gelap. Berkali-kali ayahnya mengunci dirinya di toilet sebagai hukuman. Bau apek, dingin, gelap, suara jeritnya tak pernah digubris. Kadang sampai berjam-jam, pernah juga semalaman. Luka lama itu tiba-tiba menindih, membuatnya gemetar.

Sementara itu, di lantai atas, ruangan kerja Savero masih menyala. Jarum jam menunjuk pukul sepuluh malam. Ia baru saja membereskan map terakhir dan berdiri, berniat pulang. Asistennya mengikuti dari belakang.

Tanpa sengaja, langkah Savero membawanya melewati ruangan kerja Jingga. Gelap dan kosong. Namun sesuatu membuatnya berhenti. Sebuah tas masih tergeletak di meja. Keningnya berkerut.

“Dia belum pulang? Apa dia lembur?” gumamnya.

“Ren, coba cek. Ada jadwal lembur nggak hari ini?”

Asistennya yang bernama Rendi itu cepat membuka tab di tangannya. “Hari ini Bu Jingga dan Bu Nisa, Pak.”

Savero melirik meja Nisa yang kosong. Ia segera menekan nomor Nisa. Sambungan terhubung.

“Aku sudah di rumah dari tadi, Kak. Papa sama Mama ngajak makan malam di rumah, jadi lemburnya diganti besok,” jawab Nisa di seberang.

Savero menutup panggilan dengan wajah makin tegang. Tatapannya jatuh pada ponsel Jingga yang bergetar pelan di meja, nada dering tak dijawab.

“Dia nggak mungkin keluar tanpa tas dan ponsel…” gumamnya. Suaranya berubah cemas.

“Cari dia di pantry, tangga darurat, semua ruangan. Cepat,” titahnya singkat.

Asistennya mengangguk dan segera pergi.

Savero sendiri bergegas ke ruang kontrol CCTV. Matanya menajam menatap layar. Jingga terakhir kali terlihat jam enam lewat, melangkah ke lorong penghubung menuju toilet dan smoking area. Setelah itu, tak ada rekaman di lorong yang memang tanpa CCTV itu. Dan Jingga pun tak terlihat kembali lagi dari lorong itu.

“Dimana dia?” batinnya, jantung berdegup lebih cepat.

Asistennya kembali dengan napas terengah. “Tidak ada, Pak. Satpam bilang Bu Jingga juga belum keluar gedung.”

Savero tidak menunggu lagi. Langkahnya cepat, hampir berlari menuju lorong. Saat mencoba pintu kamar mandi, ternyata terkunci rapat. “Jingga!” panggilnya. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lebih keras, lalu menghantam. Hening.

“Kita dobrak,” desisnya tegang pada asistennya. Bersama-sama mereka mendobrak hingga kunci itu jebol.

Pintu terhempas. Savero menahan napas. Di dalam, Jingga meringkuk di lantai, wajahnya basah air mata, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya menutupi telinga seolah ingin menahan suara yang tak ada. Wajahnya pucat, riasan sudah berantakan.

“Tolong… aku takut… tolong… jangan kunci aku lagi ayah…,” ucapnya berulang-ulang dengan suara lirih.

Savero segera berlutut, melepas jasnya, lalu menyelimutkan ke tubuh Jingga yang dingin. Ia menunduk, suaranya lembut namun cemas.

“Jingga… sudah, saya di sini. Kamu aman sekarang.”

Tapi Jingga tak merespons. Ia justru menangis semakin keras, tubuhnya kaku seperti membeku. Tanpa berpikir panjang, Savero meraih bahunya, lalu menarik Jingga ke pelukannya.

“Tenang… sudah… kamu aman,” bisiknya lagi, kali ini sambil memeluk erat.

Asistennya berdiri terpaku di ambang pintu, kaget melihat pemandangan itu. Savero yang biasanya dingin, kini panik setengah mati.

Tak tahan melihat Jingga terus gemetar, Savero menggeser tubuhnya dan mengangkatnya dalam gendongan.

“Panggil dokter. Cepat,” perintahnya tegas.

Asistennya segera berlari. Sementara Savero melangkah mantap, membawa Jingga ke ruangannya. Gadis itu masih terisak, wajahnya menempel di bahu Savero. Setiap langkah yang bergema di koridor malam itu hanya mempertegas satu hal, Jingga benar-benar terluka jauh lebih dalam dari yang pernah Savero bayangkan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Savero melangkah cepat di lorong kantor yang lengang, tubuh Jingga digendong erat di pelukannya. Lampu neon di atas kepala terasa terlalu terang, menyilaukan mata yang penuh air mata. Jemari Jingga mencengkeram jasnya begitu kuat, seolah jika ia melepaskannya, kegelapan akan kembali menelan dirinya.

“Tenang… kamu sama saya sekarang,” bisik Savero sambil mempererat pelukannya.

Begitu sampai di ruang kerjanya, ia menendang pintu hingga terbuka. Ia menurunkan Jingga perlahan ke sofa, kemudian mengambil gelas dan menuangkan air mineral. Tapi Jingga menolak, tubuhnya justru mundur ke sudut sofa, lututnya ditarik rapat ke dada, tangannya masih menutupi telinga.

“Jangan… jangan kunci aku… jangan…” suaranya parau, berulang-ulang, lirih dan menusuk.

Savero tercekat, napasnya berat. Ia berjongkok di hadapan Jingga, menatapnya lekat. “Jingga, dengar aku. Tidak ada yang mengunci kamu lagi. Saya di sini. Lihat saya Jingga…”

Tapi mata Jingga kosong, pandangannya kabur karena tangisan. Tubuhnya terus bergetar. Savero akhirnya duduk di sampingnya, menariknya ke pelukan tanpa memberi ruang untuk melawan. “Sudah, tenanglah. Kamu aman.”

Jingga menunduk, bahunya terguncang. “Saya… saya takut, Pak… jangan tinggalin saya… saya benci kamar mandi… saya benci… tolong…”

Savero memejamkan mata, dadanya perih mendengar itu. Jemarinya mengusap punggung Jingga yang lembap oleh keringat dingin. “Saya nggak akan tinggalin kamu. Saya janji.”

Pintu ruangannya diketuk, lalu asistennya masuk terburu-buru bersama seorang dokter perusahaan yang sudah dipanggil. Dokter itu membawa tas kecil berisi perlengkapan.

“Pak, ini dokternya,” ujar asisten tergesa.

Savero mengangguk, ia masih memeluk Jingga, tak peduli tatapan asistennya yang penuh tanya. “Cepat periksa dia. Sepertinya dia trauma berat, Dok.”

Dokter mendekat, berkata lembut. “Bu Jingga, saya periksa sebentar ya…”

Tapi begitu tangan dokter terulur, Jingga langsung menepis panik. “Jangan sentuh saya! Jangan kunci saya lagi!” Ia menjerit, wajahnya memucat, napasnya makin cepat.

Savero segera meraih tangannya, menggenggam erat. “Hei, hei… lihat saya. Tidak ada yang akan mengunci kamu. Saya di sini. Dengar saya Jingga.”

Tatapan Jingga beralih, kacau, lalu terhenti pada wajah Savero. Ada tatapan meyakinkan di sana. Isaknya melemah, meski tubuhnya masih bergetar hebat.

Savero menatap dokter. “Beri dia waktu sebentar.”

Dokter mengangguk mengerti, lalu mundur beberapa langkah. “Saya akan siapkan sesuatu untuk menenangkan kalau dibutuhkan.”

Savero mengusap rambut Jingga yang basah oleh keringat. “Kamu sudah empat jam di sana, dari jam enam. Kenapa nggak berteriak lebih keras, hah?” Nadanya terdengar menahan marah, tapi suaranya parau menahan getir.

“Saya… saya sudah teriak… tapi… nggak ada yang dengar…” jawab Jingga terbata, lalu menangis lagi. “Saya pikir… saya bakal dikurung lagi… kayak dulu…”

Savero menahan napas. “Dulu? Maksud kamu apa?”

Jingga menggigit bibirnya, menunduk. “Waktu kecil… umur lima tahun… ayah saya kalau marah… selalu mengunci saya di kamar mandi. Bisa sampai semalaman. Gelap… dingin… saya… saya ketakutan…”

Suara itu pecah, seperti anak kecil yang tersesat.

Savero terdiam. Matanya menajam membayangkan masa lalu gadis itu. Ia mendekapnya lebih erat. “Sial…” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

“Jangan bilang siapa-siapa, Pak… saya malu…” Jingga berbisik, suaranya gemetar. “Jangan bilang pada Nisa… jangan bilang pada siapa-siapa… tolong…”

Savero menarik napas dalam, menempelkan dagunya di atas kepala Jingga. “Dengar saya. Saya nggak akan cerita pada siapa pun. Kamu aman. Kamu hanya perlu istirahat sekarang.”

Jingga terdiam, hanya isakan kecil yang tersisa.

Dokter mendekat lagi, kali ini lebih hati-hati. “Pak, saya bisa kasih obat penenang dosis ringan, biar Bu Jingga bisa tidur. Dia perlu istirahat, kalau terus-terusan panik begini bisa berbahaya untuk kesehatannya.”

Savero mengangguk, lalu menatap Jingga. “Kamu mau coba tidur sebentar? Saya di sini, dan saya nggak akan pergi.”

Jingga menatapnya dengan mata sembab, masih ragu. “Beneran nggak akan tinggalin saya?”

“Tidak.” Savero menggenggam tangannya, tegas. “Begitu kamu bangun nanti, saya akan tetap ada di sini.”

Jingga mengangguk pelan. Dokter menyuntikkan obat dengan cepat dan lembut. Tak lama, tubuh Jingga mulai melemah. Kepalanya bersandar di bahu Savero, napasnya masih sesenggukan kecil tapi semakin teratur.

Savero menatap wajah lelah itu, hatinya berdesir aneh. Ia menghela napas panjang. Dalam otaknya ia sudah tahu ulah siapa ini.

Asisten yang berdiri di dekat pintu hanya bisa menunduk, merasakan aura bosnya yang tak biasa.

(Bersambung)…

1
Purnama Pasedu
ooo,,,,savero baru tahu,,,pelan pelan ya
Purnama Pasedu
pas tahu jingga dah nikah,gimana Kevin y
Mar lina
Semoga Kak Savaro
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
Nuriati Mulian Ani26
ohhh kasihan jingga
Nuriati Mulian Ani26
😄😄😄😄😄. Thor lucu banget aduhhh
Nuriati Mulian Ani26
😄😄😄😄. keren alurnya thor
Purnama Pasedu
nikmatilah jingga
Nuriati Mulian Ani26
lucuuuuuuu
Nuriati Mulian Ani26
bagusss ceritanya
𝙋𝙚𝙣𝙖𝙥𝙞𝙖𝙣𝙤𝙝📝: halo kak baca juga d novel ku 𝘼𝙙𝙯𝙖𝙙𝙞𝙣𝙖 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙂𝙪𝙨 𝙧𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖 atau klik akun profil ku ya😌
total 1 replies
Mar lina
aku mampir
Nuriati Mulian Ani26
😄😄😄😄😄 lucu menarik sekali
Nuriati Mulian Ani26
aku sangat tertarik kekanjutanya ..keren dari awal ceritanya
Halimatus Syadiah
lanjut pool
Lily and Rose: Siap Kak 🥰
total 1 replies
Purnama Pasedu
survei resepsi pernikahan ya jingga
Lily and Rose: Ide bagus… bisa jadi tempat buat mereka resepsi juga tuh Kak 😁
total 1 replies
Purnama Pasedu
kamu salah jingga
Lily and Rose: Iya, Jingga salah paham terus 😂
total 1 replies
Halimatus Syadiah
Thor up dete kelamaan ya, tiap hari nungguin trus , kl bisa tiap hari ya 👍
Lily and Rose: Siap Kak, Author update sesering mungkin pokoknya 🥰
total 1 replies
Desi Permatasari
update kak
Lily and Rose: Done ya Kak…
total 1 replies
Purnama Pasedu
ada kevin
Lily and Rose: Ide bagus 🥰
total 1 replies
Cookies
lanjut
Lily and Rose: Siap Kak
total 1 replies
Purnama Pasedu
Nisa yg lapor ya pa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!