"sudahlah mas, jangan marah terus"
bujuk Selina pada suaminya Dante yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil dan sangat possesif..
"kau tau kan apa yang harus kau perbuat agar amarahku surut"
ucap Dante sambil membelakangi tubuh Selina..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
di mobil
Malam turun perlahan, membawa dingin yang lembut menelusup ke sela-sela dinding rumah. Dari dapur, aroma sup hangat dan nasi baru matang memenuhi udara. Selina menyiapkan semuanya dengan tenang, berusaha menekan debar di dadanya setiap kali mendengar suara langkah kaki Dante yang baru pulang.
Dante duduk di meja makan tanpa banyak bicara. Selina menyajikan makanan dengan rapi, senyumnya tipis namun tulus.
“Mas, makan dulu. Sudah kubuatkan kesukaanmu.”
Dante hanya mengangguk, sorot matanya tajam namun tersembunyi sesuatu di balik itu, rasa lelah, juga rasa rindu. Ia menatap Selina dalam diam, seolah ingin memastikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.
Setelah makan malam, Selina membereskan meja dengan tenang, lalu berjalan ke kamar. Ia sudah menyiapkan segalanya seperti kebiasaannya: handuk bersih tergantung di kamar mandi, piyama diletakkan rapi di atas ranjang. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda.
Ia berdiri di depan cermin, mengenakan lingeri satin merah, lembut berkilau diterpa cahaya lampu. Bibirnya dihiasi lipstik merah marun, memberi kesan berani dan elegan. Tatapannya di cermin sedikit gugup, namun dalam hatinya ada tekad yang tumbuh.
Malam ini aku akan jadi istri yang diinginkan Dante. Tak ada lagi penolakan, tak ada jarak.
Ketika Dante keluar dari kamar mandi dengan handuk di pinggang, tubuhnya masih basah oleh sisa air. Tatapannya langsung tertuju pada Selina, dan waktu seakan berhenti.
Selina menunduk sedikit, lalu pura-pura sibuk merapikan bedak di meja rias.
Namun langkah Dante mendekat, tenang dan berat. Lalu tanpa peringatan, lengannya melingkari pinggang Selina dari belakang. Napas hangatnya menyentuh kulit lehernya.
“Mas… ganti baju dulu,” bisik Selina, berusaha terdengar tenang meski suaranya bergetar.
Dante tersenyum kecil. “Buat apa, Sel? Nanti juga kau yang melepas semua, kan?”
Nada suaranya rendah, menggoda, tapi mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan, ada kepemilikan, ada rasa rindu yang tertahan,
Selina menatap bayangan mereka di cermin. Ia tersenyum, bibirnya melengkung pelan.
“Katanya mau di dalam mobil, Mas…” ucapnya lembut, penuh godaan.
Dante membeku sesaat. Jantungnya berdetak kencang.
Ia tak percaya Selina benar-benar menuruti permintaannya. Ada rasa bahagia, bangga, juga haru bahwa di balik semua pertengkaran, istrinya masih ingin membuatnya bahagia.
Ia akhirnya bergegas mengenakan piyama, lalu menuntun tangan Selina menuju garasi. Langkah mereka pelan, tapi setiap sentuhan jari terasa seperti percikan api kecil di antara udara malam.
Namun ada satu hal yang terlupa malam itu.
Sebuah hal kecil, tapi bisa mengubah segalanya.
Dante lupa meminum obat pencegah kesuburan, obat yang ia pesan diam-diam dari luar negeri. Ia melakukannya tanpa sepengetahuan Selina, karena tak ingin istrinya tahu bahwa selama ini ia memang tidak menginginkan bayi dalam kehidupannya.
Malam itu, di dalam mobil yang sunyi dan hangat, hanya ada bisikan, napas beradu, dan cinta yang akhirnya menemukan bentuk paling manusiawi.
Hasrat dan semua fantasi Dante yang selama ini ia pendam tumpah kembali bersama kelembutan Selina yang menyerah bukan karena lemah, tapi karena cinta.
Dan di luar sana, bulan menggantung tenang di langit, menjadi saksi bahwa malam itu mungkin bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang takdir baru yang mulai tumbuh tanpa mereka sadari.
Dante menatap Selina lekat, napasnya masih berat setelah badai keintiman itu mereda. Lampu garasi yang temaram membuat bayangan mereka tampak samar di dinding mobil.
“Sel…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan. “Kau nggak nyaman ya di sini?”
Selina menatapnya dengan lembut, rambutnya berantakan namun senyumnya tetap manis. “Iya lah, Mas. Lagian… kita punya tempat tidur yang empuk di rumah, masak malah di sini.”
Dante tertawa pelan, kelelahan bercampur dengan rasa puas. Ia menatap wajah istrinya seolah dunia hanya milik mereka berdua.
“Betulkan pakaianmu, Sel. Kita lanjut di dalam. Kali ini, aku ingin membuatmu benar-benar nyaman…” ucapnya pelan tapi tegas.
Selina menggeleng sambil tersenyum tipis. “Bukan begitu, Mas. Aku udah cukup. Kita tidur aja, ya?”
Tatapan Dante berubah. Tajam, dalam, tapi tak lagi keras, lebih seperti seseorang yang tak ingin kehilangan. Ada kerinduan yang belum tuntas.
Selina terdiam sesaat. Di balik pandangan itu, ia membayangkan wajah Melda yang baru saja pindah di depan rumah. Bayangan itu membuat dadanya sesak, bukan karena cemburu semata, tapi karena takut kehilangan cinta yang sudah ia perjuangkan.
Ia menghela napas pelan, lalu dengan suara manja berbisik, “Ya udah, Mas… tapi gendong aku, ya. Aku capek.”
Dante menatapnya lama, lalu tersenyum samar. Ia mengangkat tubuh istrinya dengan lembut, seolah Selina adalah sesuatu yang rapuh namun berharga.
Malam itu, mereka kembali ke kamar. Di bawah cahaya redup lampu tidur, hanya ada bisikan lembut, tawa kecil, entah berapa kali kenikmatan itu menjalani tubuh mereka berdua, hingga puncak terakhir mereka terkapar lemas, dalam hangatnya dua hati yang masih berusaha saling memahami, meski di antara cinta mereka, selalu ada badai kecil yang tak pernah benar-benar hilang.
Dante telah lebih dulu terlelap dan sebelum terlelap juga, Selina sempat berpikir lirih, “Mungkin beginilah caraku mencintai mas Dante… lelah, tapi tak pernah ingin berhenti.”
Akhirnya Selina memakai lingerinya kembali.. mengenakan piyama kembali pada tubuh Dante yang hanya menggeliat tanpa sedikit pun membuka mata.. lalu berbaring di dada bidang Dante dan terlelap dalam dekapan Dante..