Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 28
Malam itu, malam terakhir Pak Woyo melihat tubuh Ibunya yang telah terbujur kaku. Wanita tua itu akhirnya tumbang untuk selama-lamanya dalam cengkraman sosok Hasan, sahabat dari Wira.
Melihat sang Ibu yang sudah tak bernyawa lagi, hal itu membuat Pak Woyo membeku. Pikiranya terbang jauh, takut jika bangsa siluman itu akan menagih janjinya yang dulu selalu Eyang Wuluh berikan setiap tahunnya.
"Pak, Ibu sudah tiada," kata Bu Asih dengan lirih. Meskipun ia tidak begitu akrab dengan sang mertua, namun Bu Asih juga ikut merasa kehilangan.
Nanda hanya memaku ditempatnya. Ia yang memiliki kelebihan melihat makhluk gaib, sejujurnya sudah tahu kejanggalan penyakit yang menimpa Neneknya itu. Namun apa daya, sebagai cucu, baik buruk Neneknya akan menjasi rahasia tersendiri.
'Ya Allah, semoga saja setelah ini Bapak akan sembuh. Hamba mohon, tolong berikan kemudan untuk kami.' Gendhis yang memiliki hati lembut, jujur saja tidak tega melihat wanita tua itu terbujur kaku dengan tubuh terbakar. Namun setiap perbuatan pasti ada konsekuensi yang harus diterima.
"Pasien akan dimandikan malam ini juga. Tolong segera urus data kematiannya ke resepsionis," jabar Dokter menatap salah satu pihak keluarga.
Nandaka hanya mampu mengangguk lemah. Tanpa sepatah kata, ia berlalu keluar mengikuti langkah sang Dokter tadi.
Setelah semuanya siap, pukul 4 pagi jenasah Eyang Wuluh di pulangkan ke rumahnya. Dan pagi itu pula penduduk Desa Sendang di gemparkan dengan meninggalkan sang sesepuh tua itu.
Semua warga sudah melayat, begitu Bu Siti dan Gendhis yang juga ikut membantu hingga prosesi pemakaman selesai. Disana juga ada Juragan Wisnu berserta putra serta istrinya. Beberapa perangkat Desa juga ikut serta dalam pemakaman Eyang Wuluh.
Gayatri mengusap lengan Ayahnya mencoba menguatkan sang Lurah, atas kematian Neneknya. Sebagai cucu yang tinggal di wilayah kota, Gayatri juga tersentak dengan berita kematian Neneknya itu.
"Ikhlaskan Eyang, Pak! Mungkin sudah sudah menjadi takdir yang di atas," lirih Gayatri dengan terus menguatkan sang Ayah.
Pak Woyo hanya dapat menatap kaku, kala jenasah Ibunya sudah dimasukan ke liang lahat. Sorot mata itu kosong. Wajahnya tenang, namun seolah kini tengah menanggung masalah berat, lebih berat daripada kehilangan hari ini. 'Bagaimana nasib Ibu setelah ini?' batinnya menatap gundukan tanah yang masih basah itu.
Beberapa orang berangsur kembali. Begitu juga pihak keluarga. Sebagai anak yang selalu mendapat kasih yang lebih, Gayatri tahu jika Ayahnya tidak begitu suka terhadap adiknya-Nanda. Ia agak menunduk untuk membantu Ayahnya bangkit. "Ayo kita pulang! Bapak juga butuh istirahat setelah ini."
Nanda hanya dapat menoleh kebelakang sekilas. Ia lalu kembali melanjutkan jalannya dengan sang Ibu dan keluar meninggalkan area permakaman.
"Nda, setelah ini bantu Ibu untuk membersihkan kamar Eyangmu!" kata Bu Asih sambil berjalan.
Nanda mengangguk. Sorot matanya tampak sendu. Sebagai sesama anak, terkadang ia merasa tersisih melihat kedekatan sang Ayah dengan Kakak perempuanya itu. Sejak dulu pun ia selalu mendapat sikap acuh sang Ayah. "Lebih baik kita ijin dulu sama Bapak, Bu! Nanda hanya nggak ingin kalau Bapak marah-marah kepada Ibu!"
Bu Asih menunduk setuju.
Beberapa orang yang tadi membantu di rumah sang Lurah, kini saling berangsur kembali pulang setelah selesai. Gendhis dan Bu Siti juga sudah pulang sejak pukul 11 siang tadi.
***
"Bapak dimana?" Tanya Bu Siti kepada adik perempuan Gendhis.
"Tadi di kamar kok, Bu! Tapi ini kok nggak ada ya?!"
Gendhis sudah menahan cemas. Wajahnya menahan rasa khawatir yang begitu hebat. Dengan langkah pasti, ia bergegas mencari kebelakang rumah. Dan setelah tiba, Gendhis mendorong pintu kayu itu.
Disana, tepatnya dibawah pohon, rupanya Pak Joko tampak berkebun sama seperti waktu lalu disaat ia belum sakit. Bak seperti sihir, namun kenyataan itu mengoyak pandangan Gendhis beserta Bu Siti. Semakin menatap, pandangan itu semakin berembun.
"Loh, kok pada saling diem ngapain, Buk, Ndis?! Ayo sini bantuin Bapak!" Teriak Pak Joko dengan wajah antusiasnya. Tubuhnya sudah kembali sehat.
Gendhis menatap Ibunya. Sementara Bu Siti sudah menangis sambil bergegas berjalan mendekat. "Pak, Bapak sudah sembuh? Lebih baik kembali ke rumah saja!" katanya sambil menahan tangis.
Pak Joko yang sudah bangkit, menatap Istrinya penuh tanya. "Sakit apa, Bu? Bapak aja kaget, bangun-bangun sudah siang! Biasanya fajar sudah Ibu bangunin. Ini kok nggak!" dumal Pak Joko lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
Bu Siti saking bahagianya, ia peluk suaminya dengan kencang. "Ya Allah, Pak ... Alhamdulillah Bapak sudah sehat. Ibu bersyukur banget."
Gendhis hanya mampu tersenyum penuh syukur melihat keluarganya kembali utuh. Sehat. Dan bahagia.
*
*
Pukul 2 siang, baru saja Gendhis selesai dengan cuciannya, dari luar terdengar suara motor berhenti.
Wira. Dia segera turun dan langsung masuk kedalam memekik salam.
"Nak Wira, ayo silahkan masuk!" Bu Siti mempersilahkan calon menantunya itu untuk duduk.
Namun sebelum duduk, Wira berkata, "Bu ... Bagaimana keadaan Pak Joko?"
"Ya Allah, Nak Wira ... Ibu bersyukur banget Bapakmu sudah sembuh! Tunggu sebentar, orangnya baru ganti baju." Jawab Bu Siti tersenyum lebar.
Dan tak lama Pak Joko keluar dengan Gendhis. Wajah Pak Joko tampak sehat, seolah jejak tumbal yang melekat sudah musnah. "Nak Wira, ayo duduk. Tunggu sebentar baru dibuatin minum sama Ibumu!" Ujar Pak Joko begitu duduk.
Gendhis hanya mampu tersenyum, lalu kembali kebelakang untuk mengambil minuman untuk calon suaminya itu.
"Mas, silahkan di minum dulu! Maaf hanya air," kata Gendhis begitu meletakan secangkir teh hangat untuk calon suaminya.
Setelah obrolan hangat itu, Wira meminta izin kepasa Pak Joko dan Bu Siti, untuk mengajak keluar sekedar jalan-jalan sebentar. Begitu mendapat ijin, keduanya langsung segera pergi.
Siang menjelang sore itu, Wira mengajak calon istrinya pergi makan, dan menikmati hangatnya waktu sore di alun-alun kota. Dengan bergelarkan alas tikar, banyak sekali muda mudi, serta anak-anak yang sedang berlarian, kini begitu asik dengan gelak tawa itu.
"Mas ..." Gendhis memberanikan diri memegang lengan Wira dengan tatapan dalam.
Wira menoleh. Tatapanya semakin dalam. "Ada apa, hem?"
"Terimakasih sudah ikut berjuang dengan kesembuhan Bapak!" Ucap Gendhis seraya mengulas senyum.
Wira tersenyum tipis. "Bapakmu juga akan menjadi Bapakku, Ndis! Oh ya ... Kamu jangan lupa berendam dalam sendang di ujung desa. Nanti saya akan temani. Demi membuang balak tusuk konde itu, alangkah baiknya jika semuanya juga telah bersih."
Gendhis mengangguk lemah. Ia kembali menikmati hangatnya sang mentari dengan melihat anak-anak kecil yang begitu riang berlarian di rumput. Dalam hatinya, tak henti-hentinya ia mengucap Syukur. Dan rupanya benar, semua hal gaib yang keluarganya alami, itu semata-mata hanyalah tipu daya seseorang yang berniat menumbalkan keluarganya. Terutama sang Ayah.
"Kamu sudah siap, karena sebentar lagi pernikahan kita terlaksana," lirih Wira menyapu telinga Gendhis.
Gendhis menoleh, hingga tatapan keduanya bertemu. Tak lama itu mengangguk kecil.