NovelToon NovelToon
Lahir Kembali Di Medan Perang

Lahir Kembali Di Medan Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Penyelamat
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28

Waktu berlalu satu menit dan satu detik.

Bima yakin bahwa jika ada jam di dekatnya, ia pasti sedang memperhatikan detakan jarum yang makin mendekati waktu serangan.

Namun, yang ada kini hanyalah senapan tua di tangannya. Ia menggenggamnya erat, sementara matanya menatap gugup ke arah jembatan kecil di tepi Kota Yogya.

Dalam kegelapan, tampak beberapa sosok Belanda berlarian, sibuk mempersiapkan diri sambil mengangkut peti-peti amunisi.

Tentara Belanda itu jelas terlatih, kebanyakan veteran perang Eropa. Sementara Surya dan kawan-kawan hanyalah para pemuda laskar yang baru bergabung setelah kota mereka jatuh ke tangan Belanda.

Hal itu membuat Surya merasa sedikit minder. Selama ini, mereka hanya bertempur dari balik parit atau berlindung di balik pepohonan, lalu menembak seadanya. Lebih mirip bertahan daripada menyerang.

Tapi malam ini berbeda. Malam ini mereka harus menyerbu.

Meski begitu, Surya sadar, mereka bukan lagi anak-anak baru. Dua hari berturut-turut mereka sudah merasakan panasnya pertempuran dan berhasil selamat. Itu membuat mereka berubah.

Tiba-tiba, tiga suar merah melesat ke udara.

Sejurus kemudian, suara tembakan meledak dari segala arah. Jembatan di pinggiran Yogya yang tadinya sunyi seketika pecah oleh cahaya tembakan dan ledakan granat. Laskar dan Belanda saling tembak, sebagian besar masih membabi buta karena tak benar-benar melihat siapa yang ditembak.

Ketika suar lain menyala, seluruh area sekitar jembatan tampak terang benderang. Parit-parit, bangunan terbengkalai, dan tubuh-tubuh yang merunduk di baliknya terlihat jelas seakan diseret keluar dari kegelapan neraka.

Dengan hentakan keras di bahunya, peluru pertama Surya meluncur. Ia melihat seorang tentara Belanda jatuh tersungkur.

Perlahan, ia mulai terbiasa. Ketegangan selalu datang sebelum pertempuran, tapi begitu peluru beterbangan, pikirannya hanya tertuju pada dua hal: menembak musuh dan tetap hidup.

“Bang!” tembakan lain dilepaskannya. Seorang Belanda yang tadi berteriak gugup lewat radio lapangan jatuh tersungkur menimpa perangkat komunikasinya.

Kali ini Surya sadar dirinya membaik.

Dulu, ia hanya menembak asal mengarahkan laras ke musuh. Kini, ia mulai memilih sasaran. Ia mengamati medan perang, mencari siapa yang paling penting untuk dilumpuhkan.

Seorang operator radio misalnya, jelas sedang meminta bantuan artileri atau melaporkan keadaan darurat.

Tapi dia keburu mati.

Satu peluru lagi dari Surya menjatuhkannya, memastikan pesan itu tak pernah sampai ke markas mereka.

Surya semakin yakin, target utama mereka bukan hanya tentara bersenjata, tapi juga alat komunikasi. Selama Belanda tidak bisa mengabarkan keadaan, pasukan Republik bisa menekan mereka habis-habisan.

Malam itu, lebih dari enam ratus laskar dikerahkan di sekitar jembatan. Sebagian kecil tetap bertahan di belakang untuk menghalau serangan balasan, tapi kekuatan utama diarahkan ke titik ini.

Dan Bima, pemuda Yogya yang baru dua minggu lalu masih menjadi siswa sekolah menengah, kini berada di tengah riuhnya perang.

Tentara Belanda yang berjaga di jembatan itu hanya satu kompi, sekitar seratus orang lebih sedikit.

Mereka meremehkan kekuatan rakyat. Komandan Belanda mengira pasukan utama Republik akan bertahan di pusat kota atau bergerak ke utara, bukan menyerang dari sisi jembatan kecil ini.

Untuk mengambil keputusan cepat, Kapten Purwanto komandan laskar setempat berteriak lantang hanya beberapa menit setelah pertempuran pecah:

“Pasang bayonet! Siap serbu!”

Pilihan itu terasa gila, tapi justru tepat. Laskar memiliki jumlah lebih banyak, apalagi ini malam hari. Jika ragu-ragu, Belanda bisa memanggil bala bantuan lewat radio. Hanya dengan serangan mendadak, mereka bisa disapu sekaligus.

Surya menggertakkan gigi. Ia menarik bayonet dari pinggang dan menancapkannya di ujung laras senapan. Jantungnya berdegup cepat.

Namun, keraguan tiba-tiba datang. Ia sadar, berlari terbuka ke arah Belanda berarti tubuhnya menjadi sasaran tembakan. Situasinya sama seperti saat mereka dulu ditembaki, hanya saja kini perannya terbalik.

Dalam kepalanya, Surya sempat bertanya:

Haruskah aku meniru cara tentara Belanda, berlari zig-zag ke depan?

Apakah kawan-kawan seperjuangan akan saling melindungi satu sama lain?

Bagaimana kalau sampai harus bertarung jarak dekat dengan bayonet… bisakah aku melakukannya?

Terlalu banyak pertanyaan.

“Saudara-saudara!” teriak Kapten Purwanto lantang. “Saatnya! Untuk Yogya! Majuuuu!”

“MERDEKAAAA!”

Jeritan membelah malam. Dari parit-parit, dari balik pohon, dari reruntuhan rumah, laskar melompat keluar dan menyerbu maju ke arah jembatan.

Surya agak terlambat. Ia sempat menunggu untuk melihat bagaimana kawan-kawannya bergerak. Tapi yang terjadi bukanlah barisan rapi melainkan kawanan lebah yang menyerbu, berlari dengan teriakan menggema.

Tak ada waktu berpikir lagi. Surya ikut melompat, berlari di belakang rekan-rekannya sambil mengacungkan senapan dengan bayonet terhunus.

Otaknya kosong. Semua pelajaran taktik dan latihan sederhana yang ia dapat sebelumnya lenyap begitu saja. Yang ada hanya langkah-langkah kaku seperti robot, mengikuti arus tubuh-tubuh yang menerjang ke depan.

“MERDEKAAAAA!” teriak mereka, seakan mengusir rasa takut dengan suara sendiri.

Bima bisa merasakan keringat dingin mengalir di lehernya, meski malam itu udara lembab. Beberapa kali ia ingin berhenti, ingin berpura-pura jatuh agar bisa tiarap saja di tanah. Tapi kakinya terus bergerak, seolah bukan dirinya yang mengendalikan.

“Rat-tat-tat-tat!” rentetan senapan mesin Belanda meraung. Beberapa kawan di sisi Surya roboh, tubuh mereka menghantam tanah dengan darah memercik ke wajahnya. Hangat, basah, dan membuatnya semakin ngeri.

Lalu terdengar suara whump! diikuti ledakan mortir kecil. Pecahan-pecahan logam beterbangan seperti lebah beracun, menghantam tanah, pohon, bahkan tubuh kawan-kawan seperjuangan. Beberapa mayat terlempar, jatuh di depan langkah Surya.

Seharusnya ia tiarap. Seharusnya ia berhenti. Tapi entah mengapa, tubuhnya tetap berlari, melompati mayat-mayat itu, mendorong dirinya maju.

Di tengah kekacauan itu, Bima tiba-tiba mengerti apa yang dimaksud para pejuang senior: efek kebersamaan.

Ketika orang lain berlari, berteriak, dan menyerbu, tubuhmu tak bisa menolak untuk ikut. Tak peduli betapa takutnya dirimu.

Dan malam itu, di bawah sorotan suar dan hujan peluru, Surya hanyalah satu dari ratusan pemuda yang berlari menuju sejarah.

1
Nani Kurniasih
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻lanjut Thor yg banyak
Nani Kurniasih
berasa ikutan perang
RUD
terima kasih kak sudah membaca, Jiwanya Bima raganya surya...
Bagaskara Manjer Kawuryan
jadi bingung karena kadang bima kadang surya
Nani Kurniasih
ngopi dulu Thor biar crazy up.
Nani Kurniasih
mudah mudahan crazy up ya
Nani Kurniasih
ya iya atuh, Surya adalah bima dari masa depan gitu loh
Nani Kurniasih
bacanya sampe deg degan
ITADORI YUJI
oii thor up nya jgm.cumam.1 doang ya thor 3 bab kekkk biar bacamya tmbah seru gt thor ok gasssss
RUD: terima kasih kak sudah membaca....kontrak belum turun /Sob/
total 1 replies
Cha Sumuk
bagus ceritanya...
ADYER 07
uppppp thorr 🔥☕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!