Pernikahan tanpa Cinta?
Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?
Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
“Mbak Naya…” panggil Diandra pelan sambil mendorong pintu ruang rawat inap. Ia masuk dengan membawa beberapa makanan di tangannya. Di atas ranjang, Qiara putri Kanaya yang sedang tertidur pulas.
Kanaya sontak menoleh. Wajahnya tampak pucat dan tegang, seolah setiap detik adalah ancaman.
“Dok… apa saya benar-benar aman di sini?” tanyanya lirih, suaranya bergetar dipenuhi rasa takut.
Hati Diandra terasa ngilu melihat kondisi itu. Ia tahu, trauma yang dialami Kanaya terlalu dalam. Bahkan setiap kali pintu terbuka, tubuhnya selalu menegang, seakan siap menghadapi teror.
Diandra berusaha menenangkan dengan senyum hangat lalu mendekat. “Saya akan pastikan Mbak Naya aman,” ucapnya lembut, menjaga nada suaranya tetap stabil agar Kanaya ikut merasa tenang.
Kanaya menelan ludah, lalu dengan gugup bertanya lagi, “Apa… sudah ada yang mencari saya?”
“Sejauh ini belum,” jawab Diandra hati-hati. “Dari informasi yang saya terima, suami Mbak masih berada di luar kota. Jadi kemungkinan besar ia belum sadar kalau Mbak Naya sedang tidak ada di rumah.”
Untuk memastikan semuanya, Diandra bahkan meminta bantuan orang kepercayaannya. Ia tahu, dirinya tidak bisa bergerak sendirian menghadapi kasus ini.
“Dan… untuk pengacara?” Kanaya kembali bertanya, matanya penuh harap sekaligus cemas.
Diandra mengangguk mantap. Lingga sudah memberinya nomor salah satu pengacara terpercaya. Ia sengaja tidak menggunakan pengacara keluarga karena terlalu berisiko jadi ia memilih jalur yang lebih aman, dan untungnya Lingga bersedia membantu.
“Apa berkas-berkas yang saya minta sudah siap?” tanya Diandra kemudian.
Kanaya mengangguk pelan, lalu meraih tas kecil di sisi ranjang. Tangannya sempat terhenti di tengah gerakan, ragu apakah ia bisa mempercayakan segalanya.
Melihat keraguan itu, Diandra menatapnya dalam-dalam. Suaranya tegas tapi penuh empati.
“Saya janji, Mbak. Saya akan melindungi Anda. Apa pun yang terjadi.”
_____
“Ini yang kamu minta,” ujar Diandra sambil menyerahkan sebuah map berwarna biru pada Lingga.
Siang itu, Lingga memang menyempatkan diri datang ke rumah sakit, bukan untuk menjenguk, melainkan menindaklanjuti kasus yang sedang mereka tangani.
“Lengkap?” tanya Lingga singkat. Tangannya membuka map tersebut, matanya langsung meneliti lembar demi lembar di dalamnya.
“Aku kurang tahu,” jawab Diandra, sedikit gelisah. “Berkas-berkas itu diantarkan asisten rumah tangganya. Katanya, dia sendiri tidak berani pulang.”
Rahang Lingga menegang. Tatapannya menusuk setiap dokumen yang ia baca, seakan mencoba mencari sesuatu yang tersembunyi.
“Dia di mana sekarang?” tanyanya, suaranya berat.
“Di ruangan yang sengaja aku siapkan,” jelas Diandra. “Hanya perawat dan dokter tertentu yang boleh masuk. Aku nggak mau ada risiko dia ketahuan orang luar.”
Lingga menutup map itu perlahan, lalu menatap Diandra. “Kita ke sana.”
Diandra sempat mengernyit bingung, sikap Lingga tampak berbeda. Namun tanpa banyak tanya, ia mengantarkan pria itu menuju ruang perawatan Kanaya dan anaknya.
Sesampainya di depan pintu, Lingga berhenti sejenak. Napasnya terdengar lebih berat dari biasanya. Tanpa ragu, ia mendorong pintu dan melangkah masuk.
Di dalam, Kanaya yang sedang duduk di samping ranjang putrinya langsung menoleh. Begitu matanya menangkap sosok itu, tubuhnya menegang, lalu wajahnya berubah pucat.
“Mas… Lingga?” suaranya bergetar. Air mata seketika jatuh membasahi pipinya. “Mas… di sini?”
Diandra menatap keduanya, bingung dengan reaksi yang sama sekali tak ia duga.
Namun keterkejutan Diandra semakin bertambah ketika tanpa sepatah kata pun, Lingga melangkah cepat lalu merengkuh Kanaya dalam pelukannya. Erat.
Diandra membeku di tempatnya, matanya bergantian menatap Lingga dan Kanaya. Reaksi itu terlalu nyata untuk dianggap kebetulan. Seolah keduanya memang memiliki hubungan.
Hatinya dipenuhi rasa bingung. Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, namun ia memilih untuk menahannya. Mungkin memang ada sesuatu yang harus mereka bicarakan tanpa kehadirannya.
Dengan menarik napas pelan, Diandra akhirnya mundur beberapa langkah. “Aku… tunggu di luar,” ucapnya singkat, mencoba terdengar tenang meski pikirannya penuh tanda tanya.
Ia pun melangkah keluar dari ruangan, menutup pintu perlahan. Di balik pintu, terdengar isak Kanaya yang semakin pecah, sementara Lingga tetap memeluknya erat seakan tak rela melepas.
“Siapa yang ada di dalam?”
Diandra terperanjat. Ia menoleh dan mendapati Kevin sudah berdiri di sampingnya, ikut melongok ke kaca kecil di pintu.
“Lingga,” jawab Diandra pelan.
Kevin mengangkat alis tinggi, lalu sedikit mendorong tubuh Diandra agar bisa melihat lebih jelas. “Laki lo?” tanyanya tidak percaya.
Tatapan Kevin makin tajam begitu melihat pemandangan di dalam, Lingga yang tengah memeluk Kanaya.
“Dia kenal sama Kanaya?” Kevin balik bertanya, nada suaranya penuh rasa penasaran.
Diandra hanya bisa mengangkat bahu. “Kalau dari cara mereka berinteraksi sih… kelihatan kenal.”
Kevin mendengus. “Lo nggak cemburu, Ra? Laki lo lagi melukin cewek lain, ngelus-ngelus kepala pula.” Nada suaranya kali ini jelas seperti kompor.
Alih-alih marah, Diandra justru terkekeh kecil, meski matanya masih menyimpan keterkejutan. “Gak lah, Kalau bener mereka punya hubungan, justru bagus, Pin. Gue jadi nggak perlu repot-repot nyari cara buat cerai dari dia.” Ucapannya terdengar tenang, tapi hatinya jelas masih kaget.
Kevin sempat melongok lagi ke dalam ruangan, tatapannya melekat pada sosok Kanaya. Senyum samar terbit di wajahnya. “Cantik juga ya, Kanaya,” gumamnya tanpa sadar.
Diandra ikut melirik sekilas, lalu mengangguk santai. “Heem,” sahutnya ringan.
Namun tiba-tiba Kevin berbalik menatap Diandra, matanya menyipit nakal. “Tapi lo tetap lebih cantik sih, Ra.”
Diandra langsung mencebik, bibirnya mengerucut. “Apa jangan-jangan… dia mantan Lingga?” suaranya penuh curiga.
Kevin buru-buru menggeleng. “Bukan. Setau gue, mantan pacar Lingga itu seorang model.”
Alis Diandra terangkat tinggi. “Model?” nada suaranya jelas penuh penasaran. “Serius lo?”
Kevin mengangguk mantap. “Iya, lima tahun lalu sempat heboh, Ra. Beritanya ada di mana-mana. Lo aja sih, nggak pernah mau buka berita gosip.”
Diandra mendengus pelan. “Buat apa gue kepo sama masa lalu dia? Nggak penting juga.”
“Penting tau,” Kevin membalas cepat, ekspresinya setengah menggoda.
Diandra memutar bola matanya, malas menanggapi lebih jauh. “Daripada ngintipin orang terus, mending kita ke kantin aja yuk, Pin. Gue laper.”
Kevin mengangkat bahu sambil nyengir. “Oke, tapi jangan nyalahin gue kalau nanti ketinggalan drama.”
Diandra hanya menghela napas, malas menanggapi. Keduanya lalu beranjak meninggalkan ruang perawatan dan berjalan menuju kantin rumah sakit. Koridor terasa lengang, hanya sesekali suara langkah kaki dan obrolan perawat terdengar. Begitu sampai, aroma kopi bercampur dengan wangi sup panas langsung menyambut, memenuhi ruangan yang cukup ramai siang itu.
Mereka memilih meja kosong di sudut dekat jendela. Diandra duduk sambil membuka kotak nasi yang baru saja ia beli, sementara Kevin sibuk mengaduk jus jeruknya dengan sedotan.
“Ra,” panggil Kevin, menyandarkan dagu di tangannya sambil menatap iseng. “Lo beneran nggak penasaran sama hubungan Lingga sama cewek tadi?”
Diandra menyuap nasi, pura-pura santai. “Nggak.”
“Bohong.” Kevin terkekeh. “Tadi muka lo jelas kaget banget. Gue sampe yakin lo nahan diri biar nggak langsung nanya ke mereka.”
Diandra mendesah, lalu menatap Kevin dengan malas. “Pin, kalau gue kepo, yang ada gue makin ribet sendiri. Lagian, buat apa? Ujung-ujungnya gue tetep pengen cerai.”
Kevin mengangkat bahu. “Ya, tapi… siapa tau masa lalu dia ada hubungannya sama kasus Naya sekarang.”
Kali ini, Diandra terdiam. Kalimat Kevin memang masuk akal. Ia mencoba mengabaikan rasa penasaran itu, tapi entah kenapa bayangan Lingga memeluk Kanaya masih terus menari di kepalanya.