Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28.Dekat karna luka
Semenjak kejadian itu—sejak Keira ditemukan dalam keadaan depresi, terkunci dalam kamar, dan mengurung diri selama tiga hari—sikap Aldi berubah drastis. Tak ada lagi sikap cuek, dingin, dan tegang seperti dulu.
Setiap pagi, motor bebek tuanya yang sedikit berkarat sudah menunggu di depan rumah Keira. Suara knalpotnya yang khas menjadi tanda ia datang. Aldi selalu siap mengantarnya ke perkebunan, duduk tegak di sadel depan, sementara Keira membonceng dengan tangan memegang ujung jaketnya.
Ke mana pun Keira pergi, Aldi berada satu langkah di belakangnya. Mata tajamnya selalu mengawasi, seperti takut Keira kembali hilang atau tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Saat membawa hasil panen ke gudang pun, Aldi tak membiarkan Keira memikul beban sendirian. Ia selalu mengambil sebagian keranjang, bahkan kadang merebut seluruhnya dengan alasan “biar cepat sampai”. Sentuhan-sentuhan kecil perhatiannya mulai jadi bisik-bisik di antara para pekerja.
“Tumben banget, udah berapa hari ini Mas Aldi nempel terus sama Kayla. Udah jadian ya?” celetuk seorang ibu, menyeka peluh di dahinya sambil melirik Aldi penuh arti.
“Kalian akhirnya jadian? Padahal dulu kayak anjing sama kucing. Bawaannya berantem mulu,” sahut ibu yang lain, matanya menyipit nakal. Gelak tawa kecil pun pecah.
“Apa karena sekarang Kayla udah kalem, ya?” timpal yang ketiga, nada suaranya menggoda.
“Iya ya… sejak dia hanyut di sungai dan hilang ingatan, sikapnya jadi beda. Ngomong sama Aldi juga udah sopan banget. Nggak kayak dulu yang maunya marah aja,” tambah yang lain, berbisik tapi cukup nyaring untuk terdengar.
Aldi yang sedang menurunkan keranjang dari bahunya hanya nyengir, menunduk sedikit sambil mengusap lehernya. “Enggak kok, Buk. Kayla masih sama aja kayak dulu. Cuma… otaknya lagi refresh,” ujarnya sambil terkekeh, membuat para ibu terbahak.
Namun tawa mereka mendadak terputus ketika melihat Keira berdiri tak jauh dari sana. Wajahnya datar, tapi tatapan matanya menusuk langsung ke arah Aldi.
Aldi merasakan sorotan itu. Ia segera menghampiri Keira dengan senyum kecut, sedikit mengangkat kedua tangan seperti menyerah. “Aduh… ini gara-gara ibu-ibu, nih. Kayla jadi melototi saya,” bisiknya, lalu buru-buru berjalan cepat mengikuti Keira yang berbalik pergi dengan langkah sedikit menghentak, pura-pura kesal.
Para ibu kembali tertawa, kali ini lebih lepas. “Anak muda kalau udah jatuh cinta emang beda banget, ya,” ucap salah satu dari mereka, suaranya penuh arti.
Langit siang itu biru bersih, awan putih menggantung malas. Angin semilir membawa aroma daun segar dan tanah basah yang baru disiram.
Aldi mempercepat langkahnya, lalu tanpa ragu meraih tangan Keira. Genggamannya hangat, mantap, dan membuat Keira terhenti. Pipinya bersemu merah, matanya membelalak sebentar sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. Jantungnya berdegup tak beraturan.
“Mas… itu ibu-ibu pada ngomongin kita, loh,” ucapnya pelan, bibirnya terangkat sedikit menahan senyum malu sambil mencoba menarik tangannya.
Aldi hanya menatapnya dengan mata yang teduh, senyum kecil mengembang di wajahnya. “Biarin aja. Yuk, ikut aku. Ada sesuatu yang pengen aku tunjukan ke kamu.”
Tanpa menunggu jawaban, Aldi menariknya perlahan namun pasti, meninggalkan hiruk pikuk perkebunan. Langkah mereka menapaki jalan setapak yang dipagari pohon-pohon tinggi. Daun-daun berdesir saat diterpa angin sore, memantulkan cahaya keemasan yang menari di wajah mereka.
Keira hanya bisa mengikuti, masih menggenggam erat tangan Aldi—entah karena ditarik, atau karena kini ia tak ingin melepaskannya.
_____
Cukup jauh mereka berjalan, hingga Keira mulai mengeluh, napasnya tersengal.
“Mas, ini kamu mau bawa aku ke mana sih? Aku udah nggak kuat. Capek banget…” ujarnya sambil berhenti, memegangi lututnya.
Aldi menoleh, wajahnya tetap tenang. “Dikit lagi, Key. Tapi kalau kamu beneran nggak kuat... ya udah, aku gendong aja.”
“Eh, nggak usah, Mas! Aku masih bisa jalan.” Tapi ucapannya terlambat. Aldi sudah membungkuk di depannya.
“Ayok. Nggak usah nolak.” Suaranya ringan, tapi penuh keyakinan.
Keira pun pasrah. Ia naik ke punggung Aldi dengan malu-malu, dan Aldi membawanya melintasi bukit kecil. Tak lama, mereka sampai di sebuah tempat yang tersembunyi di balik rimbun pepohonan: rumah pohon kayu sederhana yang berdiri kokoh di atas batang besar, lengkap dengan danau buatan yang jernih dan menenangkan di hadapannya.
Aldi menurunkannya perlahan.
Keira melangkah pelan, menatap takjub.
“Mas… ini bagus banget…” bisiknya terpesona.
Rumah pohon itu tampak seperti mimpi masa kecil yang diwujudkan. Danau kecil memantulkan langit yang biru pucat, dedaunan yang berguguran perlahan, dan suara alam yang menenangkan hati.
“Kamu tahu... sejak kecil aku pengen banget punya rumah pohon. Pengen ngerasain duduk di atas, lihat pemandangan dari ketinggian...” ujar Keira dengan mata berbinar.
Aldi menatapnya, terdiam sejenak karena tak menyangka Keira menyukai tempat itu sedalam itu.
Keira tak bisa menahan antusiasmenya. Ia segera memanjat tangga rumah pohon, semangat seperti anak kecil yang menemukan tempat persembunyian rahasia.
“Ayok, Mas! Buruan naik!” teriaknya dari atas.
Aldi tertawa kecil, lalu menyusulnya.
Di atas rumah pohon, mereka duduk berdampingan, memandangi danau yang tenang dan langit yang mulai berubah warna menuju senja.
“Ini pertama kalinya aku lihat pemandangan seindah ini,” kata Keira, suaranya hampir seperti angin. “Pertama kalinya juga aku duduk di rumah pohon... Biasanya aku cuma lihat di TV atau YouTube.”
Aldi menoleh padanya. “Bukannya orang tua kamu kaya?”
Keira mengangguk pelan. “Iya. Tapi mereka nggak pernah peduli sama keinginanku.”
“Maksudnya?”
“Aku punya adik perempuan, delapan tahun di bawahku. Mama dan Papa selalu nurutin apa yang dia mau. Aku... selalu harus mengalah. Aku bisa dapat nilai sempurna, tapi nggak ada yang peduli. Tapi kalau adikku cuma menang lomba mewarnai… rumah langsung penuh pesta.”
Ia tertawa kecil, getir.
“Aku seperti nggak dianggap. Tapi... aku nggak benci adikku. Aku sayang banget sama dia. Aku cuma... capek ngerasa nggak dilihat. Nggak dianggap penting. Dan semua luka itu... akhirnya numpuk. Di rumah ini—di tempat ini—aku ngerasa jadi orang lain. Tapi juga... jadi diriku sendiri.”
Aldi menatapnya, hatinya remuk tanpa suara.
“Aku dapat perhatian di sini. Dari Bapak Mahendra, dari kamu... dari orang-orang yang bahkan nggak kenal aku siapa. Mereka lihat aku... sebagai manusia.”
Hening sejenak. Hanya angin yang menjawab.
“Kamu nggak punya teman?” tanya Aldi pelan.
Keira menarik napas.
“Dulu, di SMA... aku punya satu sahabat. Tapi dia bunuh diri. Setelah itu... aku balik lagi ke kesepian yang sama.”
Aldi mengepalkan jemari di pangkuannya, menahan emosi. “Key... kamu nggak sendiri lagi sekarang.”
Keira tersenyum. Tapi senyumnya tak sempat lama.
“Karena itu aku pengen rasain kebahagiaan ini sedikit lebih lama. Aku pengen tinggal di sini. Di tempat di mana aku dicintai, meskipun bukan di kehidupan yang seharusnya.”
Lalu Aldi bertanya... pertanyaan yang membekukan waktu.
“Tapi bagaimana dengan suamimu... Leo?”
Keira menoleh cepat. Wajahnya berubah pucat.
“Kau tahu tentang Leo?” suaranya gemetar. Mata membelalak, seolah barusan disambar petir.
Aldi hanya menatapnya—diam. Tak ada lagi senyum di bibirnya. Tak ada lagi nada bercanda di suaranya.
Keheningan rumah pohon itu berubah jadi ruang rahasia. Pertanyaan-pertanyaan lama mulai bangkit dari kuburannya. Keira menatap Aldi, napasnya memburu—takut, bingung, dan marah... semua menjadi satu.
.
.
.
Bersambung
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂