NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 28 Meski Tanpa Mencintainya

Eve terbaring lemas di atas brankar. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan kulitnya sedingin es saat Alex menggenggam tangannya—seolah tubuh itu baru saja diangkat dari danau yang membeku.

Tanpa sepatah kata pun, Alex menarik selimut hingga menutupi tubuhnya sampai dada, lalu mengatur suhu ruangan agar lebih hangat.

"Baru kali ini aku melihatmu setakut itu, Alex," gumam Nic, menyandarkan punggung di dinding sambil menyilangkan tangan.

"Diamlah. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya," sahut Alex cepat, tanpa menoleh.

Nic tersenyum miring, nada suaranya menggoda. "Kalau kau butuh istirahat, tidur saja. Biar aku yang menjaganya di sini."

"Tidak perlu. Kau bisa pergi."

Nyatanya, mata Alex tak juga terpejam. Ia duduk gelisah di kursi samping ranjang. Nic memahami sikap keras kepala sahabatnya, hanya menemani dengan secangkir kopi.

Waktu berlalu lambat, hingga akhirnya, dua jam kemudian, kelopak mata Eve mulai bergerak. Ia membuka mata perlahan, seperti baru bangun dari mimpi buruk.

Kepalanya berat. Pandangannya buram sebelum akhirnya bisa menangkap sosok Alex yang duduk di sisinya.

“Alex ...?”

Pria itu membalas dengan amarah yang meledak seketika. “Apa kau sudah bosan hidup, hah?!”

“A-aku tidak—”

“Apa kau sebodoh itu sampai bisa menenggelamkan dirimu sendiri? Kalau aku terlambat datang beberapa menit saja, kau pasti sudah jadi mayat sekarang! Bahkan anak kecil pun tahu cara bertahan di situ!”

Eve terdiam. Tatapannya kosong, melayang di langit-langit ruangan seakan tengah mencoba mengingat sesuatu yang penting. Suara Alex menggema, tapi tak menyentuh kesadarannya.

“Hei! Kau tidak mendengarku?” Alex melipat kening.

Eve menoleh perlahan, mata sayunya mengerjap pelan sebelum tersenyum tipis. “Terima kasih ... kau datang tepat waktu.”

Ucapan itu menghantam Alex lebih keras dari teriakannya sendiri. Dia menggertakkan gigi.

Jadi ... Eve tidak sengaja? Tapi bagaimana mungkin orang sepertinya bisa tenggelam hanya di bathtub?

“Sudahlah, Alex. Jangan dimarahi terus,” sela Nic sambil melangkah mendekat dan mengenakan stetoskop ke telinganya. Ia memeriksa tekanan napas Eve dengan tenang. “Bagaimana? Apa kau merasa lebih baik sekarang?”

“Aku … ya. Sudah lebih baik. Tapi … bisakah kalian keluar sebentar? Aku ingin sendiri.”

Alex memicingkan mata.

“Ada apa? Apa kau ada masalah?” Nic melihat ke arahnya dengan serius.

“Tidak … hanya ... masih lelah. Aku rasa ... aku ingin tidur lagi.”

“Tidur lagi? Kau sudah tidak sadar berjam-jam.” Nada suara Alex tetap keras, tapi kini dibumbui kekhawatiran yang tak bisa disembunyikannya.

Namun, Eve tetap diam. Tatapannya hampa, seperti seseorang yang kehilangan pegangan.

Nic menarik lengan Alex pelan, menuntunnya keluar ruangan. “Alex, mengalahlah sedikit! Mungkin dia punya masalahnya sendiri.”

“Satu-satunya masalah dia adalah dirinya sendiri.”

“Jangan seperti itu! Kau juga belum mengenalnya dengan benar. Biarkan saja dia sendiri. Apa susahnya?”

Sebenarnya, Eve tidak benar-benar tidur. Ia hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri—jauh dari pandangan siapa pun, terutama Alex. Dengan punggung membelakangi pintu, ia menarik selimut hingga ke dagu dan menggigit bibirnya rapat-rapat agar isaknya tidak terdengar.

Air matanya mengalir diam-diam, membasahi bantal yang kini mulai lembap.

Di saat yang hampir bersamaan, Darren—yang masih belum pulih sepenuhnya setelah bentrok dengan Alex—juga berada di rumah sakit itu. Tubuhnya masih terasa nyeri, tapi pagi yang dingin membuatnya ingin menghirup udara segar.

Saat melangkah keluar dari bangsal, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.

“Alex? Dan ... Nic?” Alis Darren bertaut tajam. Perasaan tidak enak langsung mencuat dalam dadanya. Hatinya berdegup keras saat satu nama terlintas di benaknya.

Eve.

Tanpa pikir panjang, Darren menyeret langkah tertatih ke arah bangsal tempat mereka berdiri. Namun belum sempat masuk, Alex langsung menghadang di depan pintu, berdiri tegak seperti tembok baja.

“Untuk apa kau ke sini?” desisnya tajam.

“Alex, jangan main-main. Eve di dalam, kan?” Darren menatap lurus ke matanya, napasnya memburu karena emosi.

“Itu bukan urusanmu.” Nada suara Alex dingin.

“Kau pikir aku bodoh?” Darren balas menggertak. “Apa yang kau lakukan padanya? Apa dia baik-baik saja?”

Wajah Darren benar-benar dipenuhi kekhawatiran. Dia tahu betul apa yang terjadi semalam. Ibunya—Laureen—telah mencampurkan sesuatu ke dalam makanan Eve. Dan dia juga tahu sifat Alex ... dia bisa kehilangan kendali. Lebih dari itu.

“Sudah kubilang, enyahlah sebelum aku mematahkan kakimu,” ancam Alex, matanya berkilat marah.

“Brengsek!” Darren mencengkeram kerah Alex, dan meskipun tubuhnya masih sakit, dia tidak peduli.

“Cukup!” Nic segera melerai, berdiri di antara keduanya. “Kalian pikir ini tempat apa? Jangan buat keributan di rumah sakit!”

Nic mendorong Alex ke samping lalu menatap Darren. “Kalau kau hanya ingin memastikan keadaannya, masuklah. Tapi satu langkah membuat keributan, aku sendiri yang akan melemparmu ke luar.”

Tanpa menjawab, Darren melesak masuk ke kamar rawat Eve. “Eve! Eve, kau dengar aku?” panggilnya cemas.

Eve tersentak dan langsung membalikkan tubuh. Saat melihat wajah Darren yang penuh luka memar, ia langsung duduk dengan panik. “Astaga, Darren! Apa yang terjadi padamu?”

“Jawab aku dulu. Apa yang terjadi denganmu?” Darren langsung meraih tangan Eve dan memeriksanya seolah memastikan tak ada bekas luka sedikit pun.

“Aku tidak apa-apa! Kau kenapa jadi panik begitu?” Eve mencoba menenangkan, tapi Darren tak puas. Dia bahkan memeriksa kaki Eve, telapak tangannya, lehernya. Ketika tidak menemukan luka satu pun, barulah bahunya sedikit mengendur.

“Darren, kau kenapa sih?” tanya Eve bingung.

“Apa Alex melakukan sesuatu padamu? Apa dia menyakitimu? Atau menyiksamu?” tanya Darren dengan mata menatap tajam ke arah Eve.

Eve terkekeh pelan, nyaris tidak percaya dengan tuduhan itu. “Darren, aku berada di sini karena aku pingsan, dan Alex yang menolongku. Kau pikir aku menikahi pria seperti apa?”

“Kau tidak pernah tahu. Kau tidak tahu kau sedang bersama dengan pria—“

Pintu kembali terbuka, dan ucapan Darren terpotong ketika Alex masuk bersama Nic. Ketegangan di ruangan langsung membeku. Alex hanya menatap Darren tanpa kata, pandangannya dingin seperti ujung pisau.

“Alex ... kenalkan, ini Darren. Temanku,” ucap Eve canggung, mencoba mencairkan suasana. Tapi tidak ada satu pun dari keduanya yang menyahut. Mereka hanya saling memandang, seperti dua petarung yang menilai lawan sebelum bertarung ulang.

Eve mengernyit, lalu berdehem. “Darren, kenapa kau bisa ada di sini? Dan ... kenapa wajahmu?”

“Hanya urusan sepele dengan preman jalanan,” jawab Darren cepat, tanpa menoleh padanya. Tapi sikapnya justru memperkuat kecurigaan Eve—mereka saling mengenal. Dan mungkin, saling menyimpan dendam.

Melihat keadaan memanas lagi, Nic segera ambil alih.

“Maaf, tapi pasienku butuh istirahat. Kunjungan selesai. Kau sudah tahu dia baik-baik saja, sekarang pergilah.”

Darren tidak membantah. Pandangannya berpindah ke Eve sejenak, memastikan untuk terakhir kali. Setelah yakin tak ada luka di tubuh wanita itu, hatinya sedikit lega. Tapi bukan berarti dia akan tinggal diam. Dia tahu, selama Eve berada di sisi Alex, selamanya dia dalam bahaya.

Dan apa pun risikonya, Darren bersumpah—dia akan memisahkan mereka. Bahkan meskipun tanpa Eve yang mencintainya.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!