Kehidupan Jansen, seorang pemuda biasa, berubah secara drastis ketika ia secara tak terduga mendapatkan sesuatu yang misterius bernama "System". Sistem ini memberinya kekuatan untuk mengubah takdir hidupnya dan membawanya ke jalan kesuksesan dan kebahagiaan.
Dengan bantuan sistem ini, Jansen berusaha untuk meraih impian dan cinta sejatinya, sambil menghadapi berbagai rintangan yang menguji keteguhan hatinya.
Akankah Jansen mampu mengatasi tantangan-tantangan ini dan mencapai kehidupan yang ia inginkan, ataukah ia akan terjebak dalam keputusasaan karena kekuatan baru yang ia miliki?
Jansen mendapatkan beberapa kemampuan dari sistem tersebut, seperti kemampuan bertarung, peningkatan kecepatan dan kekuatan, serta kemampuan untuk mempelajari teknik baru lebih cepat. Sistem tersebut juga memberikan Hansen akses ke pengetahuan yang luas tentang dunia, sejarah, dan berbagai aspek kehidupan, yang membantu Jansen dalam menghadapi berbagai tantangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jenos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28
Pada malam harinya, sekitar pukul
20.00, Mahendra akhirnya
menghubungi Jansen.
"Aku akan membagikan lokasinya
temui aku di sana," ucap Jansen tegas.
Sebagai respons, Mahendra
bergegas menuju tempat pertemuan. Namun, lalu lintas malam itu cakup padat, memakan waktu sekitar lima belas menit agar ia akhirnya tiba di tujuan. Dengan langkah tergesa-gesa, Mahendra turun dari mobil mewah
yang ia gunakan.
"Mobil ini sungguh memukau,
apakah milikmu?" tanya Jansen heran.
Pada dasarnya, Mahendra adalah
seorang anak orang kaya yang memiliki
segalanya. Akan tetapi, ia adalah sosok yang rendah hati dan tidak sombong. serta rela bekerja keras sebagai sales. Padahal, dengan kemampuan dan latar
belakangnya, ia bisa saja bekerja di perusahaan ayahnya jika ia mau. Mendengar pujian dari Jansen,
Mahendra tersenyum tipis.
"Orang kaya yang rendah hati pada
akhirnya menunjukkan juga
kekayaannya," komentar Jansen. menyadari bahwa Mahendra tidak suka menunjukkan kekayaannya. Meskipun tidak begitu dekat saat masih SMP, Jansen tahu siapa Mahendra
sebenarnya.
"Itu adalah milik Ayahku. Aku hanya meminjamnya saja. Aku masih belum mampu membelinya," ujar Mahendra dengan nada rendah.
Kemudian, mereka berbicara lebih
dalam tentang kehidupan mereka saat
ini. "Em, pernahkah kamu berpikir untuk membangun usaha sendiri?" tanya Jansen serius sambil mempersilahkan Mahendra untuk
masuk ke dalam kontrakan yang
sederhana.
"Sebenarnya aku suka dengan.
usaha warnet, namun Ayahku
mengatakan bahwa usaha itu akan
tenggelam tidak lama lagi. Di era
sekarang, zaman semuanya canggih.
Internet digunakan oleh setiap orang di
rumah dalam bermain game," terang
Mahendra dengan pandangan jauh ke
masa depan.
"Aku juga suka, dan ada banyak
kenangan di dalamnya. Bagaimana
kalau kita membangun usaha bersama,
mendirikan warnet besar?" usul
Jansen, bersemangat dan antusias
"Seperti yang aku katakan, ini
memang sudah ketinggalan. Tidak ada
untung besar di dalamnya!" Mahendra
bergeming, menampik ide Jansen
dengan tegas.
Jansen tidak menyerah,
Bagaimana kalau kita
memperkenalkan game yang luar biasa
atau bahkan kita membuat game itu
sendiri? Dimana hanya eksklusif di
warnet yang kita bangun katanya,
dengan percaya diri.
Sebelumnya, Jansen telah
mendapatkan sebuah hadiah misterius
dari misi yang tuntas. Saat itu ia juga
tak menduga bahwa misi mencium
Larissa ternyata selesai. ia jelas
bingung, namun sistem tidak
menjelaskan detailnya, sehingga ia
tidak paham. Namun, itu Harga sebuah
kartu tentang permainan. Awalnya dia
skeptis, namun setelah bertemu
dengan Mahendra dan berbincang.
muncul ide di kepalanya untuk
menggunakan kartu Permainan
tesebut.
"Memang merekrut seorang
programmer ahli bukanlah pekerjaan
yang mudah, terlebih lagi karena harus
menghadapi banyak persoalan, tidak
hanya soal biaya, tetapi juga hal-hal
lain.
Mahendra menghela nafas
panjang, merasakan beban yang mulai
menumpuk di pikirannya.
"Sudahlah, ayo kita berangkat
sebelum terlambat."
Dia berusaha keras untuk tidak
terlalu meratapi keadaannya.
Terbersit dalam benaknya bahwa
dia punya ide bagaimana mencari
programmer handal, tapi semua
terhalang oleh biaya dan ketiadaan ahli
yang tepat.
Inilah salah satu alasan mengapa
dia memutuskan untuk menjadi sales
terlebih dulu, menjalani hidup mandiri
sambil membiayai pendidikannya
sendiri dan tak lagi bergantung kepada
orangtuanya.
Jansen hanya mengangguk,
merasakan kekecewaan Mahendra
dalam suaranya
"Baiklah," katanya sambil menelan
keinginannya untuk mengatakan
bahwa dia memiliki potensi besar di
balik hasratnya yang terpendam untuk
membangun sebuah permainan di
warnet.
Setelah Jansen duduk di dalam.
mobil, mereka melaju dengan nyaman.
"Di mana kamu tinggal sekarang,
Mahendra?" tanya Jansen.
"Aku sedang menyewa rumah
kontrak, jawab Mahendra. "Kamu tau
kan aku adalah anak laki-laki satu-
satunya. Namun aku ingin
membuktikan pada Orang Tuaku,
bahwa aku juga mampu."
Tak lama kemudian, mereka tiba di
sebuah klub mewah. Mahendra
memarkir mobilnya dengan anggun.
Melirik sekeliling. Jansen
menyadari bahwa tempat ini bukanlah
untuk orang kebanyakan, melainkan
bagi mereka yang berkecukupan
Namun, kini ia pun menjadi bagian dari
golongan tersebut, walaupun
menyesuaikan diri tentu tak mudah.
"Ada lima orang teman sekelas kita
di dalam yang sudah menunggu. Aku
sudah beri tahu mereka kalau kamu
ada di sini," kata Mahendra sambil
tersenyum
Mahendra mengetuk pintu ruang
VIP yang telah dipesan. Setelah
memastikan nomor ruangannya benar.
is pun mendorong pintu perlahan. Di
dalam ruangan itu, tak hanya ada lima
orang seperti yang diharapkan,
melainkan sebelas orang, empat pria
dan tujuh wanita, semua tampak
bergembira.
"Hei, apakah aku terlambat?" tanya
Mahendra dengan nada ramah.
"Enggak kok," sahut seorang wanita
cantik yang tiba-tiba berdiri dan
mendekati mereka berdua sambil
membawa gelas berisi alkohol
berkekuatan tinggi di tangan, seraya
Tersenyum manis.
Dia adalah Anggun, sesuai dengan
namanya, keanggunan itu tampak jelas
dari setiap langkahnya. Senyum
mempesona merekah di wajahnya,
serasa menyihir setiap mata yang
melihat. Anggun mengenakan gaun.
pendek berwarna merah yang
menyoroti keindahan kaki jenjang dan
bentuk tubuh proporsionalnya,
membuat para lelaki tak bisa berhenti
memandang
"Kamu selalu tampil cantik, puji
Mahendra kepada Anggun, matanya
tak bisa berpaling.
Anggun hanya mengangguk seraya
tersenyum, kemudian memandang
Jansen dengan tajam. "Sudah lama
sekali ya, kita tidak berjumpa. Aku
bahkan sempat pangling dan tak
percaya bahwa itu kamu, Jansen!"
ungkap Anggun seraya menyodorkan
gelas di tangannya
Jelas bau menyengat alkohol tidak
terbiasa tercium di hidung Jansen. Dia
menolak dengan melambaikan tangan
seraya menjawab, "Aku juga begitu. Tak
menduga.
Anggun tertawa kecil, suaranya
berderih dengan tajam, "Namun, Jansen,
kegantengan saja tak cukup hidup di
kota Jakarta. Kecuali kamu jadi
Seorang Sugar Mommy," ujarnya seraya
terkekeh sinis.
Orang-orang di dalam ruangan itu
tertawa terbahak-bahak, tawa yang
mewakili kemunafikan. Mereka
menertawakan candaan Anggun yang
seolah melukai harga diri Jansen.
Dalam ingatan mereka, Jansen
hanyalah seorang miskin yang tak
berarti, meskipun ia berhasil masuk
sekolah bergengsi berkat beasiswa. Bagi
mereka, status sosial miskin tak lebih
dari sekedar lelucon belaka.
Jansen merasakan pedihnya
makna tersembunyi di balik kata-kata
Anggun. Setetes air mata hampir saja
jatuh, namun dengan beraninya ia
menelan kesedihan itu. Haha kamu
memang pandai bercanda, Anggun,"
ujar Jansen, berusaha menahan marah
dan pahitnya perasaan yang
menggumpal di dadanya.
Mahendra, teman yang paling
dekat dengan Jansen, mencoba
meredam ketegangan dengan bijak.
"Anggun, sudahlah. Kita kan teman
sekelas, tidak perlu mengejek satu
sama lain. Kita harus saling
mendukung
Senyum kecil terukir di wajah
Jansen, senyum yang mengungkapkan
terima kasih. Ia memandang
Mahendra, Jansen lega bahwa
setidaknya ada satu orang yang
berpihak padanya.
Anggun merasa tak enak, ia
menyibakkan rambutnya lalu berbalik
badan dengan gaya anggunnya.
Tubuhnya gemulai bagai ranting yang
diterpa angin sepoi.
"Hallo Jansen, jangan terlalu
peduli dengan Anggun. Memang dia
begitu, tapi dia sebenarnya gadis baik."
Sahut Evandro hangat. "Hallo juga, aku
ingat kama itu Evandro kan? Ketua
kelas dulu, Wah, sekarang tampaknya
waktu telah membuatmu berubah
banyak, ya Ujar Jansen dengan tulus.
Jansen masih ingat, Evandro
adalah seorang ketua geng di sekolah
dulu. Saat itu, dia tak pernah berani
bicara lebih banyak dan cenderung
menghindar dari tatapan Evandro.
Kini, pemuda tersebut tumbuh
menjadi sosok tampan dengan darah
ningrat yang terlihat dari pakaian dan
aksesoris yang selalu ia kenakan.
"Haha. Kamu juga telah berubah
banyak, Jansen. Aku ingat dulu kamu
sampai terkencing-kencing
ketakutan
saat melihatku. Tapi sekarang.
tampaknya kama sudah lebih berani
untuk menatap mataku dan bicara
langsung, goda Evandro
"Dunia yang kejam telah melahirkan keberanian itu," jawab Jansen santai.
Ia mengambil sebuah kursi, namun ketika hendak duduk, seseorang tiba-tiba mengaitkan kakinya pada kursi tersebut sehingga kursi menjauh.