NovelToon NovelToon
Menikah Dengan Sahabat

Menikah Dengan Sahabat

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.

Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.

Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.

Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 28

Pagi itu, rumah mungil mereka dipenuhi dengan aroma minyak kayu putih dan suara langkah kaki Devan yang panik bolak-balik dari kamar ke dapur. Nina sudah duduk di sofa dengan tangan mengelus perut besarnya, sementara wajahnya tampak tenang, sangat kontras dengan suaminya yang tampak seperti sedang menghadapi krisis dunia.

“Nina, kamu yakin itu cuma kontraksi palsu?” tanya Devan, menggenggam botol air panas di satu tangan dan ponsel di tangan lain. “Apa aku harus telepon bidan lagi? Atau langsung ke rumah sakit aja ya? Atau—”

“Devan… ini yang keempat kalinya kamu nanya hal yang sama dalam lima menit,” kata Nina sambil menahan tawa. “Tenang, aku cuma kram biasa. Bukan mules melahirkan.”

“Tapi kamu tadi meringis, terus kamu ngomong, ‘Aduh…’ Itu kode, ya kan? Itu biasanya di sinetron-sinetron tuh udah mau lahiran.”

Nina terbahak, lalu menarik tangan suaminya. “Sayang, aku nggak main sinetron. Dan bayi kita belum waktunya keluar minggu ini.”

Devan langsung duduk di lantai, memeluk kaki istrinya sambil berseru, “Tapi aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku takut kamu kesakitan. Aku bahkan belum siap mental lihat kamu teriak-teriak di ruang bersalin.”

Nina mencubit pipinya. “Justru kamu yang bakal teriak-teriak kalau lihat darah.”

Mereka berdua tertawa. Tapi di balik kelucuannya, ada ketulusan yang menyentuh. Sejak kehamilan Nina memasuki trimester akhir, Devan menjadi jauh lebih perhatian—dan jauh lebih panik. Dari mulai memastikan makanan Nina harus organik, vitamin harus lengkap, sampai menaruh daftar nomor darurat di tiap sudut rumah. Ia bahkan menyimpan kantong melahirkan di bagasi mobil, lengkap dengan pakaian ganti, selimut, dan snack.

Malam harinya, mereka memutuskan untuk berjalan santai di taman dekat rumah. Udara dingin, tapi tangan mereka saling menggenggam hangat.

“Devan,” ujar Nina dengan suara pelan, “kalau nanti aku… berjuang saat melahirkan, dan aku nggak bisa apa-apa… kamu tetap jagain anak kita, ya?”

Devan berhenti melangkah. Ia memandang Nina lama, lalu mengusap pipinya dengan lembut.

“Kamu ngomong apa sih, Sayang? Jangan pernah bilang hal yang aneh-aneh. Aku bakal ada di sana, di samping kamu, sampai kamu dan bayi kita dua-duanya sehat dan selamat. Aku janji.”

Nina tersenyum. Tangannya mengelus perutnya. “Aku percaya.”

Malam itu, Devan membuatkan Nina nasi goreng kampung—yang meski rasanya agak keasinan, tetap membuat Nina senyum karena masakan itu penuh cinta.

Ketika mereka tidur, Devan memeluk Nina dengan sangat erat dari belakang, tangannya berada di atas perut istrinya.

“Kamu tahu nggak, Nin,” bisiknya di telinga Nina. “Aku dulu nggak pernah bayangin nikah sama kamu. Aku pikir kita cuma akan jadi sahabat selamanya. Tapi sekarang, kamu adalah segalanya yang aku butuhkan. Istriku. Ibu dari anakku. Sahabat sejatiku. Rumahku.”

Nina menahan air mata yang hangat.

“Dan kamu, Devan… kamu juga rumahku. Tempat pulang paling nyaman.”

Keesokan harinya, ketika Nina tertidur siang, Devan mendapat telepon dari ibunya.

“Devan, bunda mau ke sana sore ini. Bunda bawa bubur kacang hijau buat Nina. Kata tetangga Bunda, bagus buat ibu hamil.”

Devan tersenyum. “Boleh banget, Bun. Nina pasti senang.”

Dan benar saja, ketika Bundanya datang, ia langsung memeluk Nina seperti memeluk anak perempuannya sendiri. Mereka duduk di ruang tamu sambil makan bubur, sementara Devan menyiapkan teh hangat.

“Nina makin cantik aja, ya, hamilnya,” puji Bunda. “Wajahnya adem. Anak bunda pasti makin cinta.”

Nina tersipu malu. Devan di dapur ikut senyum-senyum sendiri, merasa hatinya dipenuhi syukur. Ia punya istri yang lembut, ibu yang suportif, dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah.

Saat malam datang, Nina berbaring lebih dulu, lelah karena gerakan si kecil di perutnya semakin aktif. Devan mengecup dahinya, lalu berbisik pelan di sampingnya.

“Kalau besok kamu beneran mules, aku udah siap. Aku udah nonton 5 video persalinan. Aku udah hafal cara bantu napas. Dan yang paling penting…”

Nina membuka satu matanya. “Apa?”

Devan tersenyum lebar. “Aku siap jatuh cinta lagi… sama anak kita.”

Nina meneteskan air mata. Malam itu, ia tidur dalam pelukan cinta yang begitu hangat.

*

Pagi itu, suasana rumah terasa sedikit berbeda. Udara terasa lebih dingin, sepi, dan penuh ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Devan bangun lebih dulu dari Nina dan seperti biasa, ia menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Tapi baru saja mengaduk teh hangat, terdengar suara lirih dari kamar.

“Van… Devan…”

Suara itu terdengar pelan, nyaris seperti bisikan, namun cukup untuk membuat Raka menjatuhkan sendok di lantai.

Ia segera berlari ke kamar, dan saat membuka pintu, ia melihat Nina menggenggam perutnya, matanya terpejam menahan rasa sakit.

“Sayang? Kamu kenapa? Kontraksi?!” tanya Devan panik.

Nina mengangguk pelan. “Iya… kayaknya beda dari kemarin. Lebih sakit, lebih teratur…”

Devan langsung mengaktifkan mode “Suami Siaga Super Panik 9000”.

Ia membuka tas perlengkapan melahirkan yang sudah ia siapkan sebulan lalu, merogoh sana-sini, bahkan sempat salah ambil helm motor.

“Devan, itu… buat apa kamu bawa helm?” tanya Nina lirih, masih meringis.

“Lho… siapa tahu kalau macet aku harus nyopir motor darurat!”

Nina hampir tertawa, tapi rasa mulas itu membuatnya mencengkeram selimut lebih kuat. “Tapi kita kan punya mobil, Van!”

“Oh iya ya! Oke! Mobil! Mobil! Oke, tenang, Devan… tenang…”

Namun jelas Devan jauh dari kata tenang. Ia bahkan sempat salah pakai sepatu: kaki kanan pakai sandal rumah, kaki kiri pakai sepatu sneakers.

Setelah berhasil membantu Nina berdiri, ia menggendong tas perlengkapan dan membopong istrinya sampai ke mobil, meski Nina sudah bilang bisa jalan sendiri.

Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, suasana mobil dipenuhi suara doanya yang setengah panik, setengah lucu,

“Ya Allah, tolong jaga istriku… Ya Allah, kalau ini waktunya, tolong lancarkan semuanya… Jangan bikin dia kesakitan lama-lama, ya Allah, nanti aku bisa pingsan juga…”

Nina di kursi penumpang hanya bisa tertawa lirih di sela rasa nyeri. “Kamu yang panik, aku yang sakit.”

“Karena aku nggak kuat lihat kamu kesakitan,” sahut Devan sambil menyalakan lampu hazard padahal jalanan masih kosong.

Sampai di IGD, bidan menyambut mereka dan segera membawa Nina masuk ruang observasi. Devan masih sibuk menandatangani formulir, wajahnya pucat, bahkan sempat hampir menandatangani kertas BPJS pakai stempel parkir.

“Kamu bisa tunggu di sini, ya Pak,” kata bidan dengan ramah.

“Tunggu? Oh, nggak. Aku harus ikut. Aku udah hafal prosesnya. Aku juga udah nonton video napas perut!”

Bidan tertawa, “Baik, Pak. Tapi sekarang kita ukur dulu pembukaannya. Kalau sudah cukup, baru kita bawa ke ruang bersalin.”

Devan duduk gelisah di depan ruangan, memeluk tas besar di pangkuannya, matanya tak lepas dari pintu. Ia terus mengecek jam, lalu ponselnya, lalu jam lagi.

“Bismillah… Bismillah…”

Setelah setengah jam menunggu, bidan keluar dengan senyum lebar. “Sudah pembukaan enam, Pak. Doanya ya, sebentar lagi masuk proses aktif.”

Devan berdiri dengan cepat. “Boleh saya temani?”

“Silakan.”

Di ruang bersalin, suasana jauh lebih intens. Nina sudah berbaring dengan infus di tangan, napasnya memburu menahan sakit yang makin terasa. Devan berdiri di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat, tak pernah melepaskan.

“Nina, kamu kuat. Tarik napas panjang… buang… ayo, kita napas bareng. Kayak latihan…”

Nina memejamkan mata. Tangannya menggenggam lebih erat.

“Devan…” ucapnya lirih. “Aku takut…”

Devan langsung mengecup keningnya. “Aku juga takut, tapi kita bareng-bareng. Kamu nggak sendiri. Aku ada di sini.”

Satu jam berlalu. Lalu dua jam. Lalu masuk jam ketiga.

Devan sudah kehilangan jejak waktu. Tapi ia terus berdiri, menggenggam, menyeka keringat Nina, memeluk bahunya, bahkan membacakan doa yang ia hafal saat Nina yang mulai lemas.

Lalu…

Tangisan itu terdengar.

Tangisan kecil, nyaring, seperti merobek keheningan ruangan.

Tangisan kehidupan.

Devan membeku. Air matanya langsung jatuh begitu mendengar suara itu.

“Selamat ya, Pak… bayinya laki-laki. Sehat dan kuat,” kata bidan sambil tersenyum dan memperlihatkan bayi mungil yang masih merah itu.

Devan menatapnya tak percaya. Dunia seperti berhenti sejenak.

“Ini… anakku?”

“Ini anak kita, Devan…” ucap Nina lemah, tapi senyumnya begitu lembut.

Devan mencium kening istrinya dengan penuh haru. Ia lalu menerima bayi mungil itu dalam pelukannya.

Tangannya gemetar. Tapi hatinya dipenuhi cinta yang tak terbendung.

Ia menatap wajah anaknya, yang matanya sedikit terbuka, bibir mungilnya bergerak-gerak.

“Halo, Nak… Selamat datang di dunia…”

Malam itu, di ruang perawatan, Devan duduk di samping Nina yang tertidur dengan senyum damai, sementara bayi mereka meringkuk dalam bed kecil di sampingnya.

Devan memotret mereka diam-diam.

Lalu menuliskan sesuatu di ponselnya.

"Tanggal ini akan aku kenang selamanya. Hari saat aku jadi Ayah. Dan hari saat istriku jadi pahlawan paling hebat di dunia."

1
Eva Karmita
masyaallah bahagia selalu untuk kalian berdua, pacaran saat sudah sah itu mengasikan ❤️😍🥰
Julia and'Marian: sabar ya kak, aku kemarin liburan gak sempat up...🙏
total 1 replies
Eva Karmita
semangat semoga semu yg kau ucapkan bisa terkabul mempunyai anak" yg manis ganteng baik hati dan sopan ya Nina
Eva Karmita
semoga kebahagiaan menyertai kalian berdua 😍❤️🥰
Eva Karmita
lanjut thoooorr 🔥💪🥰
Herman Lim
selalu berjuang devan buat dptkan hati nana
Eva Karmita
percayalah Nina insyaallah Devan bisa membahagiakan kamu ❤️
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
Julia and'Marian: hihihi buku sebelumnya Hiatus ya kak, karena gak dapat reterensi, jadi males lanjut 🤣, makasih ya kak udah mampir 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!