" Apa maksud dari keluarga mu bicara seperti itu mas? Apakah aku kalian anggap orang asing selama ini? Apa bakti ku pada suami serta keluarga ini tidak berarti apa apa?" Ria berkata dengan suara yang bergetar karena menahan tangis.
Selama ini ia hanya dianggap orang asing oleh keluarga suami nya sendiri padahal dia lah yang selalu ada untuk suaminya ketika sedang terpuruk bahkan dia rela menjadi tulang punggung mencari rezeki demi sesuap nasi karena suami yang dicintainya di PHK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maharanii Bahar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28
Langit mendung menaungi rumah Ria saat Andre tiba. Mobilnya berhenti tepat di depan pagar, dan ia segera turun begitu melihat Ria berdiri dengan map cokelat di tangan. Wajah perempuan itu pucat, dan ada kegelisahan dalam sorot matanya.
Andre menghampiri, menatap Ria dalam-dalam. “Apa yang terjadi?”
Ria tak langsung menjawab. Ia menyerahkan map itu dengan tangan bergetar. Andre membuka dan membaca lembar demi lembar. Sorot matanya berubah tajam. Diam.
“Dia gugat kamu…?” Andre bergumam. “Ini gila.”
“Gugatan perdata, Mas… soal hak atas harta gono-gini. Padahal kita sudah cerai secara sah. Aku nggak pernah minta apa-apa dari dia. Semua harta itu hasil keluarganya, aku nggak punya niat rebut apa pun…” suara Ria lirih, hampir tercekat.
Andre menutup map itu perlahan. “Ini bukan cuma soal harta, Sayang. Ini tekanan psikologis. Dia… atau orang di belakangnya, ingin kamu goyah. Supaya kamu lari. Supaya kamu terlihat bersalah.”
Ria menunduk. “Kalau ini sampai viral… gimana nasib Nayla, Mas? Gimana aku jelaskan ke semua orang kalau aku bukan perebut atau mata duitan seperti yang mereka tuduhkan?”
Andre meraih tangan Ria dan menggenggamnya erat. “Kita hadapi bareng-bareng. Kamu nggak sendiri.
Malam itu, di rumah mereka, Riyan duduk di ruang kerja, membaca ulang salinan gugatan untuk Ria. Kopi di tangannya sudah dingin. Wajahnya datar, seperti seseorang yang berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang ia lakukan adalah benar.
Pintu kamar diketuk. Winda masuk dengan langkah pelan, mengenakan daster hamil dan raut yang sulit ditebak.
“Kamu belum tidur?” tanyanya datar, memandang dokumen di tangan Riyan.
Riyan tidak menjawab.
Winda mendekat, melirik tumpukan kertas. Sekilas ia membaca, dan ekspresi wajahnya berubah sinis.
“Kamu akhirnya gugat juga dia? Huh… telat.”
Riyan menoleh, menatap Winda heran. “Kamu nggak kaget?”
Winda mengangkat bahu. “Buat apa? Aku udah tahu dari awal kamu belum selesai sama Ria. Tapi kalau kamu mau bener-bener mulai hidup baru, ya harus kamu potong masa lalu itu.”
Riyan menatap Winda, mencoba membaca maksudnya. Tapi seperti biasa, perempuan itu pandai menyembunyikan agenda.
“Kamu beneran nggak merasa bersalah, Win? Kita dulu… nyakitin dia.”
Winda menghela napas, matanya menatap kosong. “Kita semua bikin pilihan, Mas. Kamu pilih aku, dia pergi. Selesai. Sekarang dia mau nikah sama duda kaya, dan kamu baru panik?”
Nada bicara Winda mengandung kecemburuan terselubung. Ia tak lagi menyembunyikan rasa terancamnya.
“Kalau kamu masih cinta dia, bilang. Biar aku tahu harus bertahan atau pergi.”
Riyan terdiam. Ia bingung menjawab—bukan karena cintanya pada Ria masih besar, tapi karena Winda berhasil menyentuh luka yang belum sepenuhnya kering.
Winda menatap suaminya dalam-dalam, lalu mendekat. “Tapi ingat, Mas… sekarang kamu punya aku. Dan anak ini. Kalau kamu biarin Ria menang, aku nggak bakal diam.”
Nada bicaranya berubah dingin. Ancaman halus terselip di balik suara lembutnya.
Winda bangkit dari duduknya, berjalan pelan ke jendela. Malam di luar gelap, lampu jalan hanya memberi pantulan samar pada kaca. Ia menyentuh perutnya, lalu menatap bayangannya sendiri.
“Kamu tahu, Mas... aku nggak pernah nyesal milih kamu. Meski orang-orang nyebut aku perusak rumah tangga, aku tetap percaya... aku lebih cocok jadi istri kamu dibanding dia.”
Riyan masih diam, tidak memberi reaksi.
Winda tersenyum miring, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Ria itu terlalu suci. Terlalu sempurna. Kamu butuh seseorang yang ngerti cara mainnya hidup. Yang nggak gampang nangis cuma karena dikhianati.”
Ia menoleh ke arah Riyan. “Dan aku itu, Mas. Aku tahu siapa kamu, dan aku tetap di sini. Jadi jangan bikin aku merasa bodoh karena sudah milih kamu, ya.”
Riyan mengusap wajahnya. Kepalanya pening, hatinya pun tak kalah kusut. Ia mulai melihat Winda dengan kacamata berbeda: bukan hanya sebagai korban, tapi juga bagian dari kehancuran yang mereka ciptakan bersama.
“Tapi kalau kamu mulai main hati sama Ria lagi, aku nggak bakal diem. Ini hidup aku juga, Mas. Aku berjuang untuk sampai titik ini.”
Winda menatap tajam, dengan mata yang kini tak lagi lemah, tapi berisi peringatan.
Pagi harinya, Ria dan Andre mendatangi sebuah kantor hukum di pusat kota. Mereka disambut oleh seorang wanita muda, berpakaian rapi dan berwajah cerdas.
“Selamat pagi. Saya Dira, pengacara yang akan mendampingi Ibu Ria,” ucapnya ramah.
Mereka duduk di ruang konsultasi, dan Ria menyerahkan semua dokumen yang ia terima. Dira membacanya cepat namun teliti. Ekspresinya netral, tapi nadanya tegas saat bicara.
“Gugatan ini kelihatan disusun terburu-buru. Mereka menuduh Ibu Ria mengambil sebagian harta suami secara tidak sah, padahal ada akta cerai dan surat pemisahan aset. Ini bisa kita patahkan.”
“Tapi kenapa mereka buat ini, Mbak Dira?” tanya Ria cemas. “Apa ini akan sampai ke media?”
“Kalau mereka sengaja menyebarkan untuk mencemarkan nama baik, kita bisa balik gugat. Tapi kita harus siap. Proses ini mungkin akan mengorek masa lalu Ibu.”
Ria menatap Andre. “Aku siap… asalkan kamu di sini.”
Andre tersenyum, dan menggenggam tangannya lebih erat dari sebelumnya.
---
Hari berganti. Di rumah Bu Lila, suasana justru sebaliknya. Putri duduk sambil memainkan ponselnya, sesekali cekikikan melihat tangkapan layar dari akun-akun gosip yang mulai membahas “wanita desa yang menjerat duda kaya.”
“Lihat, Ma. Udah mulai nyebar. Tinggal tunggu mereka panik.”
Bu Lila tersenyum sinis. “Bagus. Biar dia tahu, dunia ini nggak semudah cinta-cintaan murahan. Kita lihat seberapa kuat dia bertahan.”
Putri menyeringai. “Kita bisa dorong dia mundur sebelum hari pernikahan.”
Namun mereka tak sadar, diam-diam seseorang dari dalam rumah merekam percakapan mereka. Seorang ART muda, baru beberapa bulan bekerja, mencatat semuanya dalam diam—dengan niat yang belum tentu mereka duga.
Sore itu, Ria duduk sendiri di ruang tamu. Ia menatap luar jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Hatinya masih getir, tapi kini ada amarah yang mulai tumbuh—bukan untuk membalas, tapi untuk bertahan.
Ibu duduk di sampingnya, menepuk lembut punggungnya. “Kamu sudah terlalu lama takut, Nduk. Mungkin ini saatnya kamu berdiri.”
Ria menoleh, bibirnya mengukir senyum lemah. “Aku nggak mau anak-anak perempuan di luar sana pikir mereka harus diam waktu disakiti. Aku mau Nayla lihat mamanya berani.”
“Lalu, apa langkahmu?”
Ria mengambil ponsel, lalu membuka rekaman suara. Ia mulai berbicara, lantang tapi jernih. Rekaman itu akan jadi bagian dari video klarifikasinya.
“Nama saya Ria Dewi Ayuningtyas. Saya bukan wanita sempurna. Saya pernah salah mencintai. Tapi saya tidak pernah mencuri, tidak pernah menjebak siapa pun. Dan saya tidak akan lari lagi.”
Di waktu yang sama, Andre bertemu dengan sahabat lamanya yang bekerja di bidang media. Mereka duduk di kafe, membahas isu yang mulai ramai.
“Aku cuma minta satu hal,” kata Andre serius. “Jangan biarkan Ria diframing sebagai penjahat. Kalau bisa, bantu kami buka kebenaran.”
Sahabatnya mengangguk. “Tenang. Aku di pihak yang benar.”
Dan malam itu, satu per satu kebenaran mulai menyeruak ke permukaan. Di balik luka, ada kekuatan. Di balik ancaman, ada tekad. Dan di balik cinta yang tulus, ada keberanian untuk melawan.
Perang ini belum selesai. Tapi Ria tak lagi sendiri.