Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23_Karma Itu Ada
Sepasang manusia itu tengah berbincang dengan saling membelakangi. Sang wanita tengah menikmati teh pesanannya, sedangkan yang pria dia tengah memainkan ponselnya. Kondisi cafe saat ini lebih tenang karena hanya terdapat beberapa pengunjung, jarak mereka terbilang dekat karena sudah diatur sebelumnya.
" Semuanya melenceng dari rencana yang sudah kita rencanakan. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?" Wanita itu melihat kearah luar jendela, melihat pantulan pria yang berada di belakangnya.
" Kau harus tetap bertahan disana. Apapun yang terjadi kau harus tetap bertahan disana!"
" Tapi...
" Kau tidak perlu cemas. Aku selalu mengawasi mu. Sebentar lagi, tinggal sebentar lagi kita akan mencapai puncak apa yang kita inginkan." Sang wanita terdiam. Enggan untuk membuka suara kembali. Matanya masih melihat kearah jendela, menatap hazel hitam yang juga tengah menatapnya.
" Semuanya akan berakhir dalam waktu yang dekat. Kau lakukan saja tugasmu biar aku yang menyelesaikan yang lainnya." Terlihat jelas pria itu tersenyum kearahnya. Sang wanita hanya bisa menurut, mengangguk patuh dengan senyuman tipis di bibirnya.
Di seberang cafe itu mereka tidak menyadari jika ada dua pasang mata yang juga tengah mengawasi mereka. Salah satu pria itu terkekeh pelan lalu menyesap kopinya " Dasar bodoh selalu saja memakai trik yang sama."
" Hanya itu yang bisa mereka lakukan saat ini. Dengan gadis kecil itu yang menjadi senjata mereka, rencana mereka selalu berjalan dengan lancar." Azka segera menoleh pada Darren yang duduk disampingnya. Senyumannya memudar saat dia teringat sesuatu " Bagaimana kabar Aya?"
" Kemarin dia sempat bertemu dengan Ramon. Ada Kavin, Mian, Zain dan juga Alex." Jawab Darren.
" Lalu?"
" Ramon menunda perceraian mereka karena Aya yang tengah hamil. Dia juga meminta Aya untuk kembali ke mansion tapi Aya menolak."
Azka menarik salah satu sudut bibirnya dia tersenyum sinis sambil membayangkan wajah Ramon yang kesal karena penolakan Aya " Apa dia kembali?" Darren menoleh, tidak mengerti maksud ucapan Azka.
" Dia, siapa?" Tanyanya dengan kening mengerut.
" Naraya adik kesayanganku juga," Jawabnya tersenyum " Aku yakin, dialah yang menolak ajakan Ramon untuk kembali ke mansion nya. Berbeda dengan Aya, adikku yang manis itu pasti tidak akan tega menolak karena dia terlalu baik dan lemah. Apalagi ada kehidupan lain di dalam perutnya aku yakin dia pasti menginginkan yang terbaik untuk calon anaknya itu."
Darren terdiam lalu tangannya memainkan bibir gelas minuman miliknya " Adikmu penuh dengan kejutan. Oh satu lagi, aku melihat Kavin terus mengawasi Aya setelah pertemuan mereka kemarin."
" Dia bukan Aya tapi Raya," koreksi Azka " Aku kenal baik seperti apa adikku itu, mendengar dari ceritamu aku benar-benar yakin jika dia adalah Raya bukan Aya."
" DID?" Azka mengangguk membenarkan dugaan Darren "sejak kapan?"
" Setahun setelah kepergian orang tua kami. Aya mengalami depresi yang cukup parah. Selain ingin melukai dirinya sendiri, Aya pun membentengi dirinya dengan sisi lainnya. Dialah Naraya, karakter yang diciptakan oleh Aya sendiri. Jika Aya lemah lembut dan baik maka berbeda dengan Raya. Dia wanita yang keras dan dingin. Meskipun mereka satu raga tapi jiwa mereka berbeda. Sifat dan kepribadian merekapun berbeda. Tapi mereka saling melengkapi satu sama lain."
" Jika Raya menguasai raga Aya lalu bagaimana nasib Aya? Apa dia akan menghilang?" Azka menahan cangkir kopinya di udara. Dia terdiam sesaat sebelum akhirnya dia tidak jadi untuk meminum kopinya itu " Aku tidak ingin kehilangan Aya. Akupun tidak ingin kehilangan Raya. Jika mereka bisa hidup bersama, kenapa salah satu diantara mereka harus pergi?"
" Tentu saja salah satu diantara mereka harus pergi. Karena mereka terdiri dari dua jiwa yang berbeda." Ucapan Darren membuat Azka sedikit cemas. Dia melihat kearah ponselnya dimana terdapat foto Aya dan dirinya yang menjadi wallpaper.
" Aku menyayanginya, tapi jika salah satu dari mereka harus pergi maka aku akan mempertahankan Aya. Aku yakin Aya akan bertahan disana, dan dia akan segera kembali pada kita."
" Syukurlah jika itu keputusanmu. Aku ikut bahagia mendengarnya," Wanita itu tersenyum manis kearah Rai yang tengah menggenggam tangannya. Saat ini Raya dan Rai tengah berada di sebuah pesisir pantai dengan kaki yang polos meninggalkan jejak di hamparan pasir.
Langit mulai berubah warna menjadi orange. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di ujung barat sana. Angin menerjang tubuh keduanya dengan lembut, sorak gembira terdengar nyaring dari daun kelapa yang bersentuhan. Keduanya berjalan beriringan menikmati kebersamaan mereka.
" Terimakasih!" Raya tersenyum tulus. Hatinya merasa hangat saat Rai memakaikan jas miliknya untuk melindungi tubuh Raya dari angin laut.
" Bagaimana, udah puas belum?" Ahh rasanya Raya sangat bahagia bisa merasakan moment kebersamaan bersama Rai seperti saat ini. Pria itu sedikit mencondongkan tubuhnya mendekat kearah perut Raya sambil berbisik entah membicarakan apa dengan calon anaknya itu.
Ada keuntungan yang dia dapatkan karena calon anak Aya. Tiba tiba dia ingin pergi ke pantai melihat matahari tenggelam. Dan dengan sigap Rai bersedia menemaninya. Dan berakhirlah mereka disini, di sebuah pantai dengan langit jingga yang memanjakan mata " Kita pulang ya, angin laut nggak baik untuk kesehatan kamu. Dedek bayinya udah puas kayaknya liat matahari tenggelamnya, noh liat udah mau gelap. Pulang yuk."
Raya hanya bisa menurut dengan perlakuan manis dari Rai. Pria itu benar-benar memperlakukannya dengan baik " bagaimana bisa kau menikah dengan Ramon disaat hatimu memilih Rai Kanaya? See, dia lebih pantas menjadi seorang ayah dibandingkan dengan Ramon bukan? Aku yakin kau sangat menyesal bukan? Kau tau aku sangat membencimu karena kau lemah, tapi aku tidak suka jika ada orang yang melukaimu apalagi Ramon suamimu sendiri. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Memberinya perhitungan?" Batin Raya. Tangannya kembali hangat saat tangan Rai menggenggamnya erat. Kakinya melangkah pelan mengikuti langkah Rai yang berjalan di sampingnya.
" Rai,"
" Ya." Rai menahan langkahnya saat Raya terlebih dulu berhenti. Surai hitamnya melambai mengikuti arah angin saat angin menerpa wajahnya yang cantik. Untuk sesaat keduanya terdiam, menatap satu sama lain dan saling temu pandang membat kedua mata itu terpikat dan tenggelam semakin dalam.
" Bisakah kau memanggilku Raya?"
" Raya?" Raya mengangguk senang saat Rai merafakan nama aslinya. Dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat ini.
" Bisakah kau terus memanggilku Raya seperti tadi?"
" Akan ku lakukan jika itu membuatmu senang, Raya!" Usapan lembut di kepalanya, senyuman manis yang terukir manis untuknya membuat Raya yakin jika cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Raya yakin Rai juga memiliki perasan yang sama seperti dirinya. Tapi Raya melupakan sesuatu, dia lupa jika di dalam tubuhnya terdapat dua jiwa. Lalu untuk siapa perasaan yang Rai miliki? Untuk Aya atau Raya?
" Pemandangan yang indah untuk dilewatkan. Apa kau senang huh?" Kavin tersenyum sinis dengan tangan melipat di dada. Hatinya bersorak gembira melihat Ramon yang terlihat kesal karena melihat kedekatan Raya dan Rai. Keduanya berada tak jauh dari posisi Raya saat ini " itulah perasaanku dulu saat kau bersama Zahra di saat Zahra masih berstatus istriku. Kau membawanya dan memanjakannya layaknya suami idaman untuk para wanita diluar sana. Dan sekarang, posisimu tergantikan oleh pria itu. Bagaimana, menyakitkan bukan? Moment yang kau tunggu-tunggu direbut paksa dari tanganmu sendiri. Aku tidak pernah menyangka apa yang aku rasakan kau pun merasakannya juga. Tuhan memang adil, dan aku berterimakasih karena dia memihak padaku."
Kavin tidak takut saat Ramon menatap tajam kearahnya justru dia semakin bersemangat untuk membakar emosi Ramon " Kau yang menyia nyiakannya. Kau yang membuangnya dan kau juga yang ingin membawanya kembali. Hei Ramon, dia bukan barang yang bisa kau perlakukan semau mu, ada beberapa hal yang tidak bisa kau lakukan sesuai dengan keinginanmu. Seperti sekarang, kau tidak bisa membawa Aya kembali kedalam genggamanmu."
" Tidak ada gunanya untuk menyesali perbuatanmu. Semuanya sudah berakhir. Lepaskan, biarkan dia bahagia." Kavin meninggalkan Ramon yang masih menyaksikan kedekatan Rai dan Raya. Di dalam hatinya Kavin merasa bersalah karena sudah memperlakukan Ramon seperti tadi, tapi egonya terlalu besar untuk melupakan masa lalu yang terus menghantuinya.
Ramon masih membisu. Perkataan Kavin terekam jelas dalam ingatannya. Rasa ini, rasa yang pernah Kavin rasakan dulu. Dan sekarang Ramon merasakannya sendiri. Menyesal? Benar kata Kavin semuanya sudah terlambat. Dengan menyesali semuanya pun tidak dapat mengubah apa-apa.
Ramon kembali mengangkat kepalanya, menatap lurus kedepan dimana Rai dan Raya tengah tertawa bersama. Keduanya terlihat bahagia, layaknya sepasang suami istri yang tengah menghabiskan waktu bersama. Menikmati matahari tenggelam dengan tangan yang saling menggenggam.
" Apa aku harus melepaskan mu?"
" Tentu. Kau harus melepaskannya jika kau tidak ingin melihatnya kembali terluka." Ramon menoleh cepat saat seseorang ikut berdiri di sampingnya. Wanita itu membuka kacamatanya membuat Ramon merubah ekspresinya menjadi dingin dan datar.
" Kau?"
" Ya. Ini aku, kenapa kau terkejut seperti itu heum?"
" Apa kau suka hadiah yang kuberikan? Pasti sangat menyakitkan bukan?" Wanita itu tersenyum mencibir kearah Ramon. Dia merasa puas saat melihat ekspresi Ramon yang menahan amarah seperti tadi. Menurutnya ini belum seberapa karena Ramon harus merasakan sakit lebih dari ini.