Pemuda 18 tahun yang hidup sebatang kara kedua orangtuanya dan adeknya meninggal dunia akibat kecelakaan, hanya dia yang berhasil selamat tapi pemuda itu harus merelakan lengan kanannya yang telah tiada
Di suatu kejadian tiba-tiba dia mempunyai tangan ajaib dari langit, para dewa menyebutnya golden Hands arm sehingga dia mempunyai dua tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarunai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sekitar lima belas menit setelah Klara menutup telepon, suara interkom dari gerbang depan terdengar. Han melangkah santai ke monitor kecil di dekat pintu, dan dalam waktu singkat, penjaga gerbang muncul di layar.
"Tuan, ada keluarga Kardi di depan. Mereka bilang ingin bertemu," lapor Jono, penjaga yang bertugas hari itu.
"Biarkan mereka masuk," jawab Han singkat, namun tegas.
"Cepat juga mereka datang," gumamnya sambil melangkah ke ruang tamu.
Tak lama, seorang pria paruh baya dengan penampilan yang gagah datang memasuki ruang tamu, bersama istrinya yang terlihat anggun namun tampak kelelahan. Di belakang mereka, berdiri seorang pemuda yang wajahnya masih membekas jejak kesombongan.
"Silakan duduk," ucap Han, datar namun tetap sopan.
Setelah ketiganya duduk, pria paruh baya itu mulai memperkenalkan diri.
"Sebelum semuanya, perkenalkan nak Han, saya Yadi Kardi dari keluarga Kardi, ini istri saya Maya, dan anak kami... tentu kamu sudah mengenalnya," katanya sambil berusaha tersenyum, meski ada rasa tak Terima karena Han sempat mengancam mereka jika tidak datang dalam waktu satu jam.
Han mengangguk ringan, membalas dengan senyuman kecil. Dia tahu batas antara sikap hormat dan ketegasan, dan tahu kapan harus bersikap lunak atau keras.
Bu Maya kemudian berbicara dengan suara penuh harap.
"Nak Han... kami datang bukan untuk menuntut, hanya memohon... Zek, anak kami... dia kehilangan suaranya, dan tak satu pun dokter bisa menemukan penyebabnya. Bahkan hasil medis menyebut pita suaranya baik-baik saja."
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Kami dengar Nak Han mampu menyembuhkan penyakit Tuan Jaja—ayah Klara. Jika benar, kami mohon, tolong bantu anak kami. Kami akan bayar berapa pun, jika itu masih dalam batas kemampuan kami."
Han memandang mereka sejenak, kemudian menatap Zek, yang masih menunduk.
"Saya bisa menyembuhkan Zek."
Kalimat itu membuat ketiganya menegang.
"Tapi ada syarat."
Yadi dan Maya saling menatap, lalu kembali menatap Han penuh harap.
"Saya tak butuh bayaran. Saya tak kekurangan uang."
Nada suara Han mulai berubah, lebih berat dan penuh makna.
"Saya hanya ingin satu hal: Zek berjanji... tidak akan lagi bersikap arogan, tidak menindas orang lemah, dan tidak menggunakan kekuatannya untuk menyakiti sesama."
Han menatap Zek dengan tajam.
"Kalau dia setuju, dalam waktu kurang dari satu menit... dia bisa bicara kembali."
Zek menggertakkan giginya, wajahnya memerah menahan emosi. Tangannya mengepal di atas lutut. Ia ingin berteriak, ingin membentak, namun hanya udara yang keluar dari mulutnya. Tak ada suara. Dan itu membuat kemarahannya semakin memuncak.
Pak Yadi yang duduk di sebelahnya menangkap perubahan ekspresi itu. Instingnya sebagai ayah langsung bereaksi.
"Kenapa, Nak Han? Apa kamu tahu siapa yang sudah melakukan semua ini ke anak saya?" tanyanya dengan nada berat, suaranya dipenuhi kemarahan dan dendam yang mulai tumbuh.
Bu Maya yang duduk di sampingnya hanya menunduk. Hatinya remuk, tapi wajahnya tetap tenang dan pasrah. Ia berbeda dari suaminya — lebih lembut, lebih bisa menerima kenyataan.
Han menatap mereka dengan pandangan dingin tapi jujur.
"Saya."
Satu kata itu membuat ruangan seketika sunyi.
"Apa...?" Pak Yadi berdiri, matanya melebar, rahangnya mengeras. "Kamu yang membuat anak saya bisu!? Apa kamu gila!?"
Zek tersentak. Matanya membelalak, menatap Han dengan kebencian membara. Di dalam hatinya, ia sudah bersumpah, satu hari akan membalas semuanya — jika bukan sekarang, maka nanti.
Namun sebelum emosi Pak Yadi meledak lebih jauh, Bu Maya cepat-cepat berdiri, menarik lengan suaminya.
"Pah! Duduk! Tolong tenang..."
Pak Yadi mencoba menahan emosinya. Giginya bergemeletuk, wajahnya menahan malu dan marah. Tapi ia akhirnya duduk kembali, meskipun tubuhnya masih menegang.
Bu Maya lalu berlutut di depan Han.
"Nak Han... saya mohon... sembuhkan anak saya. Saya tahu dia banyak salah. Tapi dia masih muda, dia bisa berubah... Saya yang akan mendidiknya. Tolong... sebagai seorang ibu, saya mohon..."
Air mata menetes membasahi lantai, mengguncang sisi lembut dari hati Han.
Han menarik napas pelan. Sorot matanya melembut.
"Baiklah... karena Anda."
Ia menatap Bu Maya dalam.
"Tapi jika dia—bahkan sekali saja—berani menyakiti saya, Klara, atau siapapun yang tak bersalah, saya tidak akan segan untuk bertindak lebih dari ini."
Tangannya perlahan mengalirkan energi melalui udara, seperti benang tipis tak kasat mata yang melayang ke arah Zek. Tanpa menyentuhnya, Han menarik jarum energi yang ia tanam di dalam tubuh Zek — halus, presisi, tak kasat mata.
"Sekarang... Zek sudah bisa bicara," ucap Han dengan tenang, tanpa gerakan besar, tanpa pertunjukan kekuatan.
Zek mendengus.
"Omong kosong! apa yang kau laku–"
Suara itu keluar. Jelas. Nyaring.
Zek langsung terdiam. Tangannya refleks menutup mulutnya. Kedua orang tuanya menoleh serentak, wajah mereka tampak terkejut dan tidak percaya.
"Zek... suaramu...!" bisik Bu Maya.
Pak Yadi menatap dengan mata yang tak berkedip. dia juga terkejut mendengar suara anaknya yang kembali normal.
Zek perlahan menurunkan tangannya, lalu menatap Han. Kali ini, tidak ada kemarahan di matanya—hanya keterkejutan.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya... Zek merasa kecil.
Bu Maya langsung memeluk Zek erat sambil menangis haru.
“syukurlah kamu bisa bicara kembali… kamu harus berterima kasih pada Nak Han, dia yang menyembuhkan kamu,” ucapnya lembut namun tegas.
“Hah? Tapi, Bu—” Zek berusaha membantah, masih menahan egonya.
“Tidak ada tapi-tapian! Cepat minta maaf!” bentak Bu Maya sambil menatap Zek tajam.
Zek mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Tapi melihat ibunya yang menangis dan ayahnya yang hanya diam, ia pun menunduk.
“Maaf…” ucapnya lirih kepada Han.
Han hanya mengangguk acuh tak acuh. Ia tidak butuh permintaan maaf—ia hanya ingin melihat perubahan.
“Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Nak Han,” ujar Bu Maya. Ia melirik suaminya dan memberi kode halus.
Pak Yadi yang sejak tadi diam menyerahkan kartu ATM-nya kepada istrinya, lalu berpaling tanpa sepatah kata pun.
“Ini, Nak Han… mohon diterima. Hanya ini yang bisa kami berikan. Anggap saja sebagai permintaan maaf dari kami…” kata Bu Maya sambil menyodorkan kartu ATM ke Han.
Han awalnya enggan, tapi melihat wajah tulus Bu Maya, akhirnya ia menerimanya.
“Baik, saya terima... demi menghormati ketulusan Anda.”
Tak lama setelah keluarga Kardi pergi, Anya muncul dari pintu lift dengan rasa penasaran.
“Bang, tadi itu siapa?” tanyanya polos.
“Tadi itu orang minta tolong sama Abang buat nyembuhin anaknya,” jawab Han sambil duduk kembali di sofa.
“Abang dokter, ya? Kok mereka minta tolong sama Abang?” Anya tampak bingung.
Han tersenyum, mengusap kepala Anya lembut.
“Bisa dibilang Abang lebih hebat dari dokter.”
“Wah serius, Bang!? Berarti kalau Anya sakit, Abang dong yang rawat aku?” ucap Anya dengan mata berbinar.
“Iya, tapi kalau kamu sehat, kenapa harus pengen sakit?” Han mencubit pipi Anya gemas.
“Sekarang Abang keluar dulu.”
“Abang mau ke mana? Anya ikut yaa…” pinta Anya manja.
“Abang ada urusan penting sebentar. Anya mending belajar lagi, besok kan mulai sekolah,” kata Han sambil bangkit dari sofa dan mengambil jaketnya.
Anya manyun, tapi tetap mengangguk.
20 menit perjalanan...
Han akhirnya tiba di toko perhiasan milik Klara. Toko itu terletak di lantai satu, dengan lantai dua dan tiga yang berfungsi sebagai kantor utama sekaligus tempat produksi dan pengelolaan kerja sama.
Di dalam, suasananya sangat sibuk. Banyak pemilik toko perhiasan dari berbagai daerah tampak mengantre untuk memesan perhiasan berlian eksklusif yang sedang viral. Sejak Klara menetapkan kebijakan bahwa perhiasan ini hanya dijual kepada mitra kerja sama dan tidak untuk umum, permintaannya justru melonjak tajam.
Han hanya duduk santai di salah satu meja dekat pojok ruangan, memperhatikan aktivitas Klara dari kejauhan. Ia sempat berpikir untuk membantu, tapi jelas tak tahu apa-apa soal perhiasan.
Satu jam berlalu...
Toko mulai sepi. Pelanggan yang tadinya berdesakan mulai berkurang. Kini hanya tersisa beberapa staf yang membereskan dokumen pesanan. Klara yang melihat Han langsung tersenyum, lalu berjalan menghampirinya.
“Han, kamu ada di sini sejak kapan? Maaf ya, aku tidak sadar sama sekali.” sapanya ramah.
Han menoleh, lalu meletakkan ponselnya.
“dari tadi. Tapi tidak apa-apa, kamu terlihat sangat sibuk. lagian aku tidak bisa ikut membantu karena tidak mengerti soal beginian, yang ada malah bikin ribet."
Klara tertawa kecil.
“Ya itu kan memang tugasku. Kamu tinggal terima beres aja. Oh iya Han… keluarga aku mau ketemu kamu. Kita semua mau ngadain acara kecil-kecilan malam ini buat ngerayain keberhasilan toko ini. Dan mereka juga mau berterima kasih sama kamu karena udah nyuplai berlian berkualitas.”
Ia menatap Han penuh semangat.
“Berkat kamu, toko perhiasan keluarga Subyo sekarang menjadi yang terbaik di kota. Kamu mau kan datang?”
Han mengangguk ringan.
“Kapan?”
“Malam ini. Semua keluarga besar Subyo akan kumpul di rumah utama. Nanti aku akan share lokasi lengkapnya ke kamu"