Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Cinta
Wei kembali memejamkan matanya, meski dadanya masih terasa sesak dan tubuhnya lemah tak berdaya. Namun dalam diamnya, satu tekad tetap menyala dalam relung hatinya, ia ingin sembuh, secepat mungkin. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi perempuan yang begitu ia cintai. Ia ingin bisa berdiri kembali, agar bisa melindungi kekasihnya, dengan segenap jiwa dan seluruh kekuatan yang ia miliki.
Perlahan-lahan, napasnya mulai teratur. Jemarinya yang pucat menggenggam bajunya yang dingin, seakan menahan rasa sakit dan kerinduan sekaligus. Di sisi lain, Putri Xiaolan menatapnya dalam diam, ia tak mampu lagi menahan air matanya.
Dengan mata yang basah, ia memandang wajah Wei yang tertidur. Wajah yang selalu tersenyum padanya, kini tampak begitu lemah namun tetap menenangkan. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi punggung tangannya sendiri.
“Maafkan aku…,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Hatinya terasa remuk. Melihat pria yang ia cintai terbaring tak berdaya membuatnya merasa hampa, seolah dunia ikut berhenti berputar. Namun di balik kesedihan itu, ada rasa hangat yang tak bisa ia jelaskan, sebuah perasaan bahwa cinta mereka terlalu dalam untuk disangkal oleh waktu ataupun luka.
Putri Xiaolan perlahan memejamkan matanya juga, mencoba menahan isak di tenggorokannya. Ia membaringkan kepalanya di atas alas daun. Detik itu juga, dunia seakan melunak. Waktu menjadi perlahan. Napas Wei yang tenang menjadi nyanyian pengantar tidur baginya.
Dalam lelapnya, ia memasuki dunia mimpi yang indah. Sebuah dunia di mana Wei tersenyum hangat, berdiri gagah di hadapannya sambil mengulurkan tangan. Mereka tertawa bersama di bawah langit biru, seakan semua luka dan kesedihan hanyalah kabut tipis yang perlahan menghilang.
****************
Hari mulai pagi. Cahaya matahari menembus celah-celah gua, menyelinap lembut melalui tirai dedaunan yang menggantung di mulut goa, menyapu perlahan wajah Putri Minghua yang masih terlelap. Kehangatan sinar itu membelai kulitnya, mengusir sisa-sisa dingin malam yang melekat di tubuh.
Kelopak matanya perlahan bergerak, dan akhirnya terbuka dengan pelan. Sekilas, dunia masih tampak buram, namun saat pandangannya mulai jelas, hatinya seketika tersentak.
Sanghyun.
Pria itu terbaring tak jauh darinya. Wajahnya masih pucat, tubuhnya masih tampak lemah, namun... matanya terbuka. Ia sadar. Ia hidup.
Putri Minghua segera bangkit dari tempatnya, mendekat dengan langkah cepat namun penuh kehati-hatian. Suara degup jantungnya terdengar begitu keras di telinganya sendiri.
"Sanghyun…" bisiknya, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia berlutut di samping tubuh Sanghyun, memandangi pria yang begitu berarti baginya dengan mata berkaca-kaca.
Sanghyun menoleh perlahan ke arahnya. Pandangannya masih samar, tapi senyum tipis terukir di sudut bibirnya begitu ia mengenali wajah Putri Minghua.
Putri Minghua menggenggam tangan Sanghyun, menggenggamnya erat seolah takut pria itu akan kembali menghilang dari sisinya.
Dengan suara bergetar, Putri Minghua bertanya padanya. "Sanghyun, apa yang kau rasakan? Kau... kau membuatku hampir kehilangan akal."
Wajahnya dipenuhi kecemasan yang begitu nyata. Ia mengusap rambut Sanghyun dengan lembut, seperti mencoba menghapus semua penderitaan yang baru saja mereka lewati.
Sanghyun memejamkan matanya sejenak, mengatur napasnya yang masih lemah. "Tubuhku… terasa berat. Tapi… melihatmu di sini, aku merasa lebih ringan."
Air mata menetes begitu saja dari mata Putri Minghua, jatuh tepat di tangan Sanghyun yang masih tergenggam olehnya.
"Kau benar-benar membuatku takut, Sanghyun… Aku pikir aku akan kehilanganmu…"
Sanghyun mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat sedikit tangannya, dan dengan gemetar ia menyentuh pipi Putri Minghua yang basah. "Jangan menangis… Aku ada di sini… bersamamu."
Putri Minghua tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa menunduk, membiarkan air matanya mengalir tanpa suara, meluapkan seluruh ketakutan dan rasa syukur yang bercampur menjadi satu. Ia bersyukur. Sangat bersyukur.
Angin pagi berhembus lembut ke dalam gua, membawa aroma tanah basah dan daun-daun yang tertimpa embun. Di tengah sunyi dan damainya pagi itu, dua jiwa yang pernah nyaris terpisah kini kembali menyatu, dalam diam yang penuh makna.
Dan Putri Minghua tahu… selama Sanghyun masih membuka matanya, selama napasnya masih ada… ia akan terus bertahan. Bersama. Dalam luka, dalam harapan, dan dalam cinta.
Putri Minghua tiba-tiba memukul lengan Sanghyun... bukan dengan keras, melainkan dengan pukulan ringan yang lebih terasa seperti sentuhan protes. Namun di balik gerakan kecil itu, ada luapan emosi yang tidak bisa ia sembunyikan. Wajahnya cemberut, mata indahnya menyiratkan kekecewaan dan kekesalan yang telah lama dipendam.
"Aku tidak mengerti… mengapa sifatmu selalu berubah-ubah seperti angin?" ucapnya dengan nada kesal, tapi terdengar jelas ada rasa terluka di dalamnya. "Kadang kau dingin seperti salju di utara, lalu tiba-tiba kau hangat seperti matahari pagi. Aku tidak bisa menebak apa yang kau rasakan… dan itu menyakitiku."
Sanghyun menatapnya. Matanya yang semula tampak lemah kini menyala pelan, seperti menemukan kembali cahaya yang nyaris padam. Ia mengangkat sedikit tubuhnya, bersandar dengan susah payah, lalu menatap Putri Minghua dalam-dalam, seakan ingin menyerap setiap emosi yang terpancar dari wajah wanita itu.
Perlahan, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang lembut, senyum yang hanya ia tunjukkan pada satu orang di dunia ini, Putri Minghua.
"Aku kira…" ujarnya pelan, suaranya masih serak namun jelas. "Aku kira kau tidak akan peduli padaku… kalau aku tidak peduli padamu."
Putri Minghua tertegun. Matanya melebar sedikit. Kata-kata itu seperti menampar hatinya yang lembut, namun menghujam tepat di titik rapuh.
Sanghyun mengangkat tangan kirinya, dengan gerakan yang masih lemah ia menyentuh rambut panjang Putri Minghua yang terurai indah di bahunya. Jari-jarinya menyusuri helaian rambut itu dengan hati-hati, seakan ia sedang menyentuh sesuatu yang paling berharga di dunia ini.
"Aku bukan orang yang pandai menunjukkan perasaan," lanjutnya lirih, tatapannya tak lepas dari mata Putri Minghua. "Tapi ketika aku memandangmu, saat kau tertawa, saat kau marah, bahkan saat kau menangis seperti semalam… aku merasa hidup kembali."
Putri Minghua menggigit bibir bawahnya. Ia ingin tetap marah, tetap kesal… tapi hatinya sudah kalah sebelum ia sempat membentengi dirinya.
"Jadi kau menyakitiku hanya untuk memastikan aku peduli padamu?" tanyanya pelan, suaranya gemetar. "Itu jahat, Sanghyun…"
Sanghyun mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi aku takut… Takut kalau aku terlalu jujur, kau akan menjauh. Aku tidak ingin kehilanganmu, Minghua."
Hening.
Angin kembali berhembus masuk ke dalam gua, membawa aroma pagi yang bersih. Di antara detik-detik sunyi itu, Putri Minghua hanya bisa menatap Sanghyun, lelaki keras kepala, penuh luka, namun hatinya ternyata begitu rapuh dan dalam.
Ia akhirnya menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Sanghyun yang masih menyentuh rambutnya.
"Aku tidak akan pergi… meski kau terus membuatku menangis," bisiknya pelan. "Tapi jangan lagi kau berpikir aku tidak peduli. Karena sejak hari itu, aku tak pernah berhenti memikirkanmu."
Mata Sanghyun berkaca-kaca. Ia menarik tangan Putri Minghua ke dadanya yang masih terasa sakit, dan berkata pelan, "Kalau begitu… biarkan aku tetap berada di sisimu. Meski aku sulit diatur. Meski aku keras kepala. Biarkan aku tetap di sisimu… sebagai pria yang akan mencintaimu dengan cara yang mungkin tak selalu benar, tapi tulus."
Putri Minghua mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya pagi itu, ia tersenyum, senyum yang muncul dari luka yang perlahan mulai sembuh.