Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan
Tengah malam.
Suasana di penginapan kecil itu begitu sunyi. Hanya suara jangkrik dan gelegak kayu yang terbakar di tungku dapur terdengar samar, bercampur dengan desah angin yang menelusup lewat celah jendela kayu. Di dalam kamar, Putri Minghua dan Putri Xiaolan sudah tertidur pulas, tubuh mereka benar-benar letih setelah perjalanan panjang dan teror yang tak henti-hentinya. Wei juga terlelap di kursi dekat pintu, kepalanya terkantuk berat meski pedangnya masih bersandar di lutut.
Namun, hanya satu orang yang tetap terjaga.
Sanghyun duduk di tepi ranjang tipisnya, mata tajamnya menatap jendela yang terbuka sedikit. Ia sudah terbiasa tidur dengan waspada. Malam adalah waktu paling berbahaya, ketika musuh bisa muncul kapan saja tanpa peringatan.
Dan benar saja—sebuah bayangan bergerak di luar.
Mata Sanghyun langsung menyipit. Ia tak mendengar suara langkah, tapi ia melihat jelas sosok itu. Tingginya hampir sama dengannya, seluruh tubuhnya tertutup jubah hitam panjang, wajahnya tidak terlihat karena ditutupi kain. Bayangan itu berdiri diam, seakan sedang mengamati penginapan dari kejauhan.
Hawa dingin merayap di tengkuk Sanghyun. Nalurinya berteriak, sosok itu bukan orang biasa.
Perlahan, Sanghyun bangkit. Ia melirik sekilas ke arah kamar lain, memastikan Putri Minghua dan yang lain tidak terbangun. Lalu, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, ia mengambil pedang pendeknya dan keluar lewat pintu belakang.
Udara malam menyambutnya, menusuk kulit dengan dingin yang menggigit. Langkah Sanghyun ringan, hampir tidak terdengar ketika ia bergerak melewati semak-semak rendah. Bayangan itu sudah beranjak pergi, melangkah cepat ke arah hutan di belakang penginapan.
Sanghyun mengejarnya.
Ia harus menahan napas, menyesuaikan langkahnya agar tak menginjak ranting kering yang bisa menimbulkan suara. Sesekali, bayangan itu berhenti, menoleh ke belakang, tapi Sanghyun lebih gesit bersembunyi di balik batang pohon besar. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena penasaran bercampur waspada.
Namun semakin lama ia mengikuti, semakin aneh perasaan yang muncul. Bayangan itu berjalan dengan langkah ringan, hampir melayang di atas tanah, tidak meninggalkan jejak sama sekali. Dan saat Sanghyun hampir mempercepat langkah untuk mengejarnya—
Bayangan itu hilang.
Begitu saja.
Sanghyun menghentikan langkahnya, napasnya teratur tapi sorot matanya tajam penuh tanda tanya. Ia berdiri di tengah hutan gelap, hanya ditemani cahaya redup bulan yang menembus celah ranting. Udara terasa lebih dingin, lebih berat, seakan ada sesuatu yang bersembunyi di balik kegelapan.
“Ke mana dia pergi…?” gumamnya, nyaris tak terdengar.
Ia menoleh ke kanan dan kiri, berusaha menangkap jejak. Namun tiba-tiba—
Shhhrring!
Dingin logam menyentuh kulit lehernya. Sanghyun membeku. Pedang tipis namun tajam kini menempel tepat di kulitnya, ujungnya mengkilap diterpa sinar bulan.
“Jangan bergerak.”
Sebuah suara rendah, serak namun penuh wibawa terdengar dari belakangnya.
Sanghyun mengerutkan kening. Ia bisa merasakan hembusan napas orang itu begitu dekat di tengkuknya. Tubuhnya otomatis menegang, tapi pikirannya tetap tenang, mencoba mencari celah untuk membalikkan keadaan.
“Siapa kau?” tanya Sanghyun datar, meski dadanya berdegup kencang.
Orang itu tertawa lirih, suaranya menyerupai bisikan yang menyusup ke dalam kegelapan.
“Kau terlalu berani, keluar sendirian hanya karena melihat bayangan. Apa kau tidak takut kehilangan kepala, Siluman?”
Mata Sanghyun melebar sedikit. Orang ini tahu siapa dirinya—atau setidaknya menebak dengan tepat.
Ia meremas gagang pedangnya perlahan, meski gerakan sekecil itu pun bisa memancing lawan menebas lehernya.
“Kalau kau ingin membunuhku, lakukan sekarang. Tapi jangan kira aku akan mati begitu saja.”
Ujung pedang itu semakin menekan, dinginnya menusuk kulitnya.
“Tch… berani sekali mulutmu. Kau memang berbeda dari siluman biasa.”
Ada jeda singkat. Lalu sosok itu berbisik lebih dekat, nyaris menyentuh telinganya.
“Sampaikan pada Putri Minghua… naga bermahkota tidak hanya simbol. Itu kunci.”
Sebelum Sanghyun sempat merespons, tekanan di lehernya hilang. Ia segera memutar tubuh dengan cepat, pedangnya terhunus, siap menebas. Namun yang dilihatnya hanyalah bayangan hitam melompat ke cabang pohon tertinggi, lalu lenyap dalam sekali gerakan, meninggalkan daun yang beterbangan.
Sanghyun berdiri di tanah lapang itu, dadanya naik-turun. Tatapannya menajam, mencoba mencerna kata-kata misterius itu.
“Naga bermahkota… kunci apa yang kau maksud?”
Ia mengepalkan tangan, lalu kembali menyarungkan pedang. Dalam hati, ia tahu satu hal pasti—malam ini bukan sekadar ujian, melainkan awal dari misteri yang jauh lebih besar.